WANHEARTNEWS.COM - Pondok Pesantren Al Zaytun yang terletak di Indramayu, Jawa Barat belakangan ramai disorot berbagai pihak.
Bukan cuma masyarakat, namun sejumlah organisasi Islam mainstream ikut mempersoalkan kembali keberadaan Pesantren Al Zaytun ini.
Adapun kasus Pesantren Al Zaytun muncul ke publik usai salat Idul Fitri dengan model shaf yang tak lazim viral di sosial media. Tak lama, banyak organisasi Islam kemudian menginginkan agar ponpes ini diberi label sesat.
Ponpes ini dicurigai karena pesantren ini dibangun dan diketuai oleh Panji Gumilang. Orang mengaitkan sosok Panji Gumilang dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII).
Makin menjadi-jadi, usai terdengar kabar kalau Pesantren Al Zaytun menyanyikan lagu Israel dan salam Yahudi. Panji Gumilang kemudian harus dipanggil Kemenag dan MUI untuk diminta klarifikasi.
Intelektual Muda NU Syafiq Hasyim menilai klarifikasi sebenarnya bisa saja dilakukan, apalagi oleh Kemenag sebagai wakil pemerintah. Namun andai klarifikasi itu dilakukan hanya untuk menentukan Pesantren Al Zaytun sebagai kelompok sesat atau tidak, itu hal yang mungkin dianggap bakal problematik dalam konteks kebebasan beragama.
Pemerintah yang seharusnya netral akan menjadi tidak netral untuk semua kelompok keagamaan. Padahal kata Syafiq, pemerintah seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk menghakimi ajaran menjadi melampaui wewenangnya.
"Jika Kemenag mau melakukan klarifikasi, maka cukup itu dilakukan dengan cara diskusi. Tidak perlu harus memanggil. Namun bisa melakukan penelitian, apalagi kini Kemenag juga konsen dengan persoalan moderasi beragama," kata Syafiq Hasyim di saluran Cokro TV, disitat Senin 22 Mei 2023.
Syafiq setuju jika Panji Gumilang atau Abu Toto memiliki latar belakang yang terkait dengan NII --terorisme. Akan tetapi apakah latar belakang Panji Gumilang yang demikian ini lalu bisa digunakan untuk menggugat kembali keberadaan pesantren ini, itulah yang dipertanyakan oleh Syafiq.
"Sebenarnya Kemenag pernah melakukan riset yang cukup intensif atas Al Zaytun. Dilihat dari keberadaannya yang ada sampai sekarang, nampaknya pesantren ini tidak apa-apa. Bahkan pada tahun 2011, Menag saat itu Suryadharma Ali merasa kesulitan untuk mengaitkan Al Zaytun dengan gerakan NII KW 9 yang identik dengan gerakan terorisme di Indonesia," kata dia.
Berikan Hak Bagi Pesantren Al Zaytun
Sementara itu soal salat Idul Fitri yang mencampurkan laki-laki dan perempuan dalam barisan satu salat yang tak terpisah, kata Syafiq, itupun oleh Kemenag setempat dianggap tidak menyimpang.
Bahkan pengakuan mereka, bahwa cara salat yang demikian sudah diberi jawaban oleh pengurus tetap MUI dan dianggap sah.
Selain itu, Panji Gumilang juga disebut sudah insaf dan hanya ingin membangun pesantren ini benar-benar untuk masyarakat.
"Kita juga tahu bahwa Panji Gumilang pernah menjadi ketua Ikatan Alumni UIN Jakarta. Bahkan dia menjabat selama 2 periode dari 2006 sampai 2013. Bahkan perguruan tinggi Islam milik Al Zaytun pernah secara rutin dibantu tenaga pengajar, bukan secara formal, namun secara individual dari para dosen UIN di Jakarta."
"Sekian dosen UIN Jakarta dijemput menuju komplek Al Zaytun di Indramayu untuk mengajar di sana. Kebanyakan mereka adalah mereka yang sudah memiliki hubungan ke pesantren dengan Panji Gumilang," kata dia.
Lantas, apakah ini bisa disebut UIN Jakarta kecolongan? Bagi Syafiq, dengan jabatan dua periode yang pernah diemban Panji Gumilang di UIN, pasti tidak menunjukkan adanya kecolongan di sana.
Syafiq berharap dalam perspektif HAM, dirinya melihat bahwa Pesantren Al Zaytun harus diberi hak untuk menjalankan keyakinan mereka. Sebagai insan pesantren, mereka mungkin ingin melakukan penafsiran dalam perspektif pengalaman mereka.
"Jika MUI akan melakukan peninjauan kembali atas ajaran-ajaran Pesantren Al-Zaytun maka hendaklah penelitian atas mereka bukan diletakkan dalam kerangka mencari kesesatan. Sebab cara seperti ini tidak terlalu efektif, karena tetap saja apa yang MUI definisikan sebagai aliran sesat mereka tetap akan selalu ada," katanya.
Selain itu, dalam konsepsi HAM, hal seperti itu juga diharap tidak memberlakukan Pesantren Al Zaytun sebagai kumpulan manusia otonom yang memiliki hak berkeyakinan dan beragama. Syafiq khawatir jika pengungkapan dari masalah Al-Zaytun ini terkait dengan persoalan politik 2024.
"Artinya Pesantren Al Zaytun hanya akan dijadikan sebagai komoditas politik. Sebab biar bagaimanapun Al Zaytun adalah komunitas yang cukup lumayan karena santri-santri keluarga santri jaringan mereka adalah cukup potensial untuk dijadikan sebagai tambahan dukungan," kata dia.
Sumber: poskota