WANHEARTNEWS.COM - Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Ridwan menjawab pertanyaan yang kerap muncul. Pertanyaan tersebut yakni apakah bisa pemerintah tidak menambah utang setiap tahunnya?
Dia menjawab bisa. “Tapi kita harus siap dengan konsekuensinya,” ujar dia dalam acara Money Talks CNBC di Penang Bistro, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada Rabu, 14 Juni 2023.
Deni mencontohkan pada 2022, belanja negara nilainya Rp 3.000 triliun, sedangkan defisitnya Rp 464 triliun—artinya tambahan utangnya Rp 464 triliun. Belanja negara senilai Rp 3.000 triliun itu dialokasikan ke beberapa hal, salah satunya adalah untuk subsidi energi.
Subsidi energi itu pada 2022 awalnya ditargetkan Rp 150 triliun yang kemudian dinaikkan menjadi Rp 500 triliun, sehingga secara hitungan, jika pemerintah tidak ingin menambah utang pada tahun lalu caranya mudah. Cukup hilangkan saja subsidi energi Rp 500 triliun itu.
“Jadi bisa saja tidak berutang, salah satunya dengan menghilangkan subsidi. Secara hitungan di atas kertas bisa, tapi praktiknya pasti luar biasa,” ucap Deni.
Deni melanjutkan, tahun lalu ketika ada penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, masyarakat banyak yang protes. Padahal, jika pemerintah tidak melakukan penyesuaikan harga BBM, maka subsidi energi bisa melonjak dari Rp 500 triliun menjadi Rp 700 triliun.
Belum lagi, kata Deni, ada subsidi lain-lain, seperti untuk kesehatan dan pendidikan. “Itu bisa kita lakukan pengurangan (subsidi) kalau mau melakukan kebijakan utangnya zero. Siap enggak konsekuensinya? Tidak ada subsidi, kemudian juga anggaran kesehatan dikurangi, itu yang perlu kita pertimbangkan,” tutur Deni.
Hingga 30 April 2023 lalu, Kemenkeu mencatat posisi utang mencapai Rp 7.849,89 triliun dengan rasio 38,15 persen dari Produk Domestik Bruto atau PDB. Posisi utang tersebut turun dibandingkan dengan periode akhir Maret 2023 yang mencapai Rp 7.879,07 triliun.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB per akhir bulan April 2023 itu, berada di batas aman (jauh di bawah 60 persen PDB), sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“Pemerintah melakukan pengelolaan utang secara baik dengan risiko yang terkendali, antara lain melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo,” tertulis dalam Buku APBN KiTA edisi Mei 2023.
Adapun komposisi utang pemerintah didominasi oleh utang domestik, yaitu 72,88 persen. Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah mayoritas berupa Surat Berharga Negara atau SBN yang mencapai 89,26 persen.
Sumber: tempo