WANHEARTNEWS.COM - Pakar hukum tata negara yang juga mantan wakil menteri hukum dan HAM (Wamenkumham), Denny Indrayana, menyebut hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dikondisikan sedemikian rupa.
Namun, ia tak mengungkap siapa pihak yang melakukan pengkondisian tersebut.
Pengondisian tersebut terlihat dari dicopotnya Aswanto sebagai hakim MK oleh DPR.
Aswanto sendiri menjadi satu dari lima hakim MK yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
"Itu dosa besar politiknya Pak Aswanto sehingga kemudian tiba-tiba diganti melalui cara yang menabrak prinsip dasar konstitusi kemerdekaan kekuasaan kehakiman," ujar Denny yang hadir secara virtual dalam diskusi yang digelar di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Pencopotan Aswanto yang digantikan Guntur Hamzah disebutnya menjadikan komposisi hakim MK sesuai dengan pengondisian tersebut.
Sebab, komposisi lima hakim MK saat ini ditudingnya sudah memenuhi pengondisian tersebut.
"Terakhir lima (banding) empat itu tidak sulit melihat dan komposisi hakim itu. Maka ini sangat berbahaya karena pada ujungnya sengketa hasil pemilu itu sebenarnya bisa jadi sudah merupakan hasil yang diatur dengan komposisi hakim ini," ujar Denny.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara yang juga mantan ketua MK, Jimly Asshiddiqie, menilai bahwa usulan revisi keempat terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK merupakan bentuk kemarahan dari eksekutif dan legislatif.
Khususnya, setelah MK menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
"Ini semua orang marah, kalau dulu waktu kami (masih di MK) memutus terkait anggaran pendidikan itu yang marah itu hanya eksekutif. Yang kemarin itu (putusan MK terkait UU Cipta Kerja) legislatif, eksekutif marah semua," ujar Jimly dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR terkait revisi UU MK, dikutip Jumat (31/3/2023).
Kemarahan tersebut juga berdampak kepada pemecatan Aswanto oleh DPR dari posisi hakim MK pada September 2022.
Akhirnya, Aswanto digantikan oleh Guntur Hamzah yang semula menjabat sebagai sekretaris jenderal MK.
Imbas dari kemarahan tersebut, Komisi III lewat fungsi legislasinya mengusulkan kembali revisi UU MK.
Padahal, DPR baru melakukan revisi ketiganya dan disahkan menjadi undang-undang pada September 2020.
Terdapat dua poin penting revisi UU MK yang merupakan imbas putusan yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pertama adalah evaluasi terhadap hakim yang sudah diusulkan DPR.
Kedua adalah recalling atau hakim MK dapat ditarik kembali jika dalam hasil evaluasinya dianggap buruk oleh DPR.
Dia menegaskan, dua hal tersebut belum pernah ada aturannya di negara manapun.
"Jadi, bab mengenai evaluasi dan recalling itu tidak bener itu. Jadi, saran saya dicoret lah itu. Ini bukan salahnya saudara-saudara Panja, ini kan saya tahu drafnya dari Baleg. Jadi, lumayan juga dosanya di Baleg sana," ujar anggota DPD itu. [Republika]