Profesor Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, kembali melakukan serangan terhadap rezim pemerintahan Presiden Jokowi, khususnya kepada Presiden Jokowi. Setelah sebelumnya beberapa kali melakukan serangan, kini ahli hukum tata negara dan lawyer itu kembali mengunggah serangan, baik melalu tulisan maupun video pendek. Unggahan terbarunya itu diberi judul “Jokowi adalah (masalah) kita: wajib diberhentikan”.
Sepertinya judul tersebut adalah plesetan dari tagline kampanye Jokowi pada pilpres 2014 lalu, yaitu “Jokowi adalah kita” yang diplesetkan menjadi “Jokowi adalah (masalah) kita”. Meski demikian, Denny mengaku bahwa pada pilpres 2014 dia menjadi pendukung Presiden Joko Widodo.
Berikut adalah isi lengkap unggahan video Prof. Denny Indrayana:
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya sedang di Queenscliff, Melbourne, Victoria, sambil masih mancing, meskipun ini 2 dua derajat Celcius, dingin sekali, mari kita sama-sama kita melatih logika yang sehat, yang waras. Kenapa? Karena sekarang di negeri Konoha atau nggak perlu takut lah ya, di Indonesia, ada cara-cara berpikir yang aneh bin ajaib.
Dikatakan tidak ada dinasti ketika Kaesang ingin maju sebagai calon kepala daerah, karena apa? Katanya karena sudah beda kartu keluarga dengan Presiden Jokowi. Ada lagi yang mengatakan Presiden Jokowi tidak bisa di-impeach, tidak bisa dimakzulkan, karena dipilih langsung oleh rakyat. Ini logika-logika yang salah secara mendasar, dan karenanya harus diluruskan. Presiden Jokowi bukan hanya bisa dimakzulkan, bahkan seharusnya wajib dimakzulkan.
Ada tiga pelanggaran yang secara kasat mata dilakukan dengan logika-logika sederhana, simple, logic:
(1) Sebenarnya Presiden Jokowi patut diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dari mana cara berpikirnya? Lihat laporan Ubaedillah Badrun, 10 Januari 2022, lebih dari satu tahun yang lalu, dan belum ada perkembangan progresnya di KPK. Dalam laporan itu dijelaskan ada penyuntikan modal dari satu perusahaan Ventura di luar negeri ke perusahaan anak-anak presiden. Tidak boleh dikatakan ini adalah suntikan modal, logika sederhananya ini adalah upaya suap kepada Presiden melalui anak-anaknya. Konsepnya adalah trading influence, memperdagangkan pengaruh. Di dalam United Nations Against Convention, Konvensi PBB antikorupsi, perdagangan pengaruh ini sudah dinyatakan secara tegas dan jelas. Anak-anak Jokowi tidaklah mungkin mendapatkan suntikan modal hingga ratusan miliar, jika mereka bukan anak presiden. Karena itu, ini simple logic-nya bukan suntikan modal. Ini adalah suap, ini adalah korupsi, dan karenanya KPK mestinya mengusut ini secara tuntas. Jika terbukti, menjadi pintu masuk pemakzulan Presiden.
(2) Presiden Jokowi melakukan pelanggaran pasal 21 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Apa itu? Obstruction of justice, menghalang-halangi penegakan hukum pemberantasan korupsi. Dalam kasus apa? Dalam kasus ada elit yang seharusnya diproses, tapi tidak, karena ada dalam barisan-barisan koalisi. Seorang anggota kabinet didatangi para pimpinan KPK dan dijelaskan ada empat perkara, bukan hanya satu, yang menjerat seorang elit politik, dan karenanya meminta izin kepada presiden untuk diproses. Sampai saat ini, dugaan tindak pidana korupsi itu tidak berjalan di KPK, karena yang bersangkutan masih dalam barisan koalisi.
(3) Sudah sering saya jelaskan, ada kasus pembegalan Partai Demokrat, Moeldoko Gate, lebih parah dari water gate di Amerika Serikat, yang menyebabkan presiden Richard Nixon akhirnya mundur untuk menghindari pemecatan karena berusaha menyadap kantor Demokrat di masa kampanye pemilihan presiden tahun 1972. Pembegalan Partai Demokrat dikatakan adalah hak politik Moeldoko. Ini logika yang sangat keliru. Pembegalan atau dalam bahasa Romi adalah pencopetan partai, adalah kejahatan, bukan hak politik. Dalam konteks hak asasi manusia, ini adalah pelanggaran atas hak berserikat, hak berorganisasi, hak berpartai politik, dan karenanya Presiden Jokowi melakukan pembiaran atau by omission, membiarkan kejahatan, bukan memberikan hak untuk berpolitik kepada Moeldoko.
Jadi, hari ini kita belajar logika sederhana: (1) yang terjadi bukanlah penyertaan modal kepada anak-anak Presiden, tapi adalah suap kepada presiden yang memperdagangkan pengaruh, trading in influence; (2) yang terjadi bukan pemberantasan korupsi, tetapi justru adalah menghalangi pemberantasan korupsi terhadap teman koalisi dan itu melanggar pasal 21, obstruction of justice. Ini masuk korupsi, sebagaimana yang ketiga, Moeldoko gate, itu bukanlah hak berpolitik, tetapi adalah pelanggaran hak berserikat, hak berorganisasi, dan karenanya juga bisa menjadi pintu masuk pemakzulan.
Jadi, di negeri Konoha, ulangi di Indonesia, memang kita harus mulai lagi melatih logika-logika politik sederhana, simple logic, agar kita tetap menjadi orang yang berpikir sehat. Jokowi bukan hanya bisa dimakzulkan, tetapi sebenarnya wajib diberhentikan. DPR bukannya tidak mampu, unable, tapi sebenarnya DPR tidak mau, unwilling, untuk mulai proses pendakwaan, proses menyatakan pendapat, proses hak angket menyelidiki dugaan-dugaan pelanggaran pasal-pasal impeachment di konstitusi Indonesia.
Mudah-mudahan kita, rakyat Indonesia bisa melatih logika-logika sederhana ini dan merebut kembali kedaulatan dari elit-elit yang berpikir keliru, dari yang berpikir koruptif.
Saya Deni Indrayana, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Sebagai pakar hukum tata Negara, Denny Indrayana pasti tahu bahwa memakzulkan presiden adalah mekanisme yang diatur dalam konstitusi. Ketika seorang presiden melanggar konstitusi, undang-undang, dan sebagainya, kemudian DPR memandang bahwa presiden sudah memenuhi syarat pemakzulan maka presiden bisa dimakzulkan.
“Tetapi, sebagai seorang pengacara dia kemudian menyerukan agar Presiden Jokowi dimakzulkan dan hukumnya wajib, ini saya kira jadi ngeri-ngeri sedap,” ujar Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, dalam KanalYou Tube Hersubeno Point edisi Senin (26/6/23).
Akibat dari manuver-manuver dari Prof. Denny Indrayana terhadap penguasa sekarang ini, dia dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri. Bahkan, Mahfud MD juga sempat memerintahkan agar Polri mengusutnya terkait dengan soal pembocoran dokumen keputusan Mahkamah Konstitusi tentang sistem pemilu.
Walaupun kemudian hasilnya berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Denny, tapi dia tidak bisa dituntut karena memang dia tidak membocorkan, melainkan mendapat informasi dari sumber yang terpercaya.
“Bagaimana dengan kasus ini? Apakah Denny Indrayana akan kembali dilaporkan karena dianggap makar atau melanggar undang-undang ITE, karena dia menyerukan untuk melakukan pemakzulan, bahkan wajib untuk dimakzulkan Presiden Jokowi. Saya kira ini dia pasti sudah punya basis argumentasi yang kuat sebagai seorang pengacara dan juga seorang ahli hukum tata negara,” pungkas Hersu.
Sumber: fnn
Foto: Prof. Denny Indrayana/Net