WANHEARTNEWS.COM - SUKABUMI - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kabupaten Sukabumi, mencatat sepanjang delapan tahun terakhir terdapat 13 perusahaan yang tersebar di wilayah Kabupaten Sukabumi, yang mengalami gulung tikar. Hal ini disebabkan oleh ketatnya persaingan dan kondisi perekonomian di dalam negeri yang tidak kondusif.
Ketua DPK Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kabupaten Sukabumi, Sudarno kepada Radar Sukabumi mengatakan, berdasarkan information yang tercatat sepanjang 2015 sampai 2023 ini, terdapat 13 perusahaan yang ada di wilayah Kabupaten Sukabumi yang melakukan penutupan aktivitas produksinya.
Ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu diantaranya, karena mereka tidak mampu bersaing dalam dunia indsutri. Khususnya pada sektor padat karya.
"Sebenarnya, sepanjang 2015 sampai 2019 itu, hanya ada 12 perusahaan yang tutup itu. Namun, pada 2022 kemarin ada satu perusahaan di wilayah Kecamatan Cidahu yang melakukan penutupan. Sehingga, jumlah totalnya ada 13 perusahaan," individualized structure Sudarno kepada Radar Sukabumi pada Jumat (24/02).
Untuk mengantisipasi kembali terjadinya penutupan perusahaan di wilayah Kabupaten Sukabumi, DPK APINDO Kabupaten Sukabumi, mengimbau kepada semua pengusaha yang masih berjalan, untuk menjaga kondusifitas hubungan kerja.
Karena, menurutnya apapun alasannya, kondisi saat ini harus tetap dijaga keberlangsungan perusahaan di Kabupaten Sukabumi. Begitu play on words, dengan para pekerja juga harus menjaga kondusifitas, supaya perusahaannya bisa tetap menjaga situasi dan kondsi yang hari ini dengan apa adanya, masih bisa berjalan.
"Kalau dengan pemerintah daerah, kami berharap jangan membuat satu kebijakan yang akan merugikan sektor dunia usaha dan industri ataupun membuat satu kebijakan yang tidak ada kepastian hukum. Karena, sudah jelas itu akan berdampak sangat buruk, terhadap dunia usaha dan industri di Kabupaten Sukabumi," imbuhnya.
Pihaknya juga membenarkan terkait adanya pengusaha, khususnya perusahaan industri padat karya yang membangun ataupun membuat usahanya relokasi atau berinvestasi baru di wilayah kota atau kabupaten maupun daerah provinsi yang nilai Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK) rendah, jika dibandingkan dengan UMK Kabupaten Sukabumi saat ini. Namun, demikian perusahaan yang melakukan relokasi atau hengkang dari Kabupaten Sukabumi tersebut, mayoritas hanya dilakukan bagi perusahaan yang masih memiliki modular besar.
"Jada mereka sudah membandingkan, di Sukabumi ini selain dengan UMK terus meningkat tinggi, juga tingkat kompetitifnya sudah kurang bagus. Makanya, perusahaan yang punya modular besar, mereka itu lebih baik berinvestasi ke wilayah kota ataupun kabupaten lain yang UMK-nya lebih rendah," tandasnya.
Munurutnya, sampai 2023 ini sudah ada sekitar lima perusahaan di Kabupaten Sukabumi yang sudah melakukan investasi di luar daerah Sukabumi.
Diantaranya, di daerah Garut Jawa Barat, Jawa Tengah dan daerah lainnya. Dari beberapa perusahaan yang melakukan investasi di luar daerah tersebut, kebanyakan mereka masih dalam satu bunch usaha yang ada di perusahaan Sukabumi, khususnya pada sektor padat karya yang membuat atau membangun investasi baru di wilayah kota dan kabupaten lain yang nilai UKM lebih rendah di Sukabumi.
Untuk itu, mereka telah membandingkan seperti perihal selisih upah Kubupaten Sukabumi dengan derah Jawa Tengah. Di Sukabumi upah buruh sebesar Rp3.351.884 per bulannya. Sementara, di Jawa Tengah, hanya sekitar Rp2 juta.
"Jadi, selisihnya Rp1,3 juta per bulan dari satu orang pekerja saja. Nah, kalau nilai itu dikalikan dengan jumlah karyawan semisal 3.000 buruh. Itu, bisa sampai Rp4 Miliyar dalam satu bulannya, untuk gaji pokoknya saja.
Belum lagi, nanti kewajiban perusahaan kalau bayar lembur, BPJS dan nilainya sudah sampai 10,5 persen dari upah itu.
Kalau misal anggap Rp5 Miliyar per bulan pengeluaran perusahaan di kali 12 bulan atau pertahun, maka perusahaan sudah mengeluarkan Rp 60 Miliyar. Ini cukup fantastis dan bisa buka pabrik baru," bebernya.
Untuk itu, pihaknya menilai dari selisih upah atau UMK antara Kabupaten Sukabumi dengan daerah lain yang lebih rendah, maka dalam kurun waktu satu tahun saja, mereka sudah bisa membuat industri baru.
Selain itu, faktor kompetisi apabila di Sukabumi harga request satu produk semisal dibandrol 1 dolar dengan harga ongkos dan pengerjaannya. Sementara, di wilayah kota lain yang UMK-nya masih rendah, bisa mencapai 0,8 dolar.
Otomatis, kondisi tersebut membuat daya saing dunia industri di Kabupaten Sukabumi, lebih sulit jika dibandingkan dengan daerah lain. Sehingga request akan lebih diberikan banyak dari purchaser ke wilayah atau daerah yang berani harganya lebih rendah.
"Kenapa perusahaan di Sukabumi ini, merasa keberatan. Karena, terkadang pihak purchaser yang memberikan request itu malah menekan dengan harga. Jadi, mereka presure-nya lebih rendah karena di kabupaten dan kota lain, ada yang berani lebih rendah. Jadi ini yang terkadang masyarakat umum, tidak memahami itu.
Makanya boleh di cek information statistik di Jabar, bahwa wilayah kota dan kabupaten yang UMK-nya tinggi, pasti angka penganggurannya, juga akan lebih tinggi," bebernya.
Sebab itu, DPK APINDO Kabupaten Sukabumi menilai, jika suatu kota atau kabupaten yang saat ini masih kondusif dan masih relatif nyaman. Maka, jangan sampai ada satu gerakan yang justru membuat pengusaha gerah.
Karena, dapat berpotensi dan bisa mengakibatkan perusahaan tersebut, melakukan relokasi untuk berinvestasi baru di wilayah lain yang mungkin dinilai lebih kondusif dan kompetitif. Sehingga, mereka bisa nyaman untuk melakukan usahanya.
"Memang, kondisi perekonomian dalam negeri yang tak menentu membuat sejumlah pabrik memilih untuk menghentikan kegiatan produksi dan merumahkan karyawannya.
Apalagi, sekarang pasca pademi Coronavirus, kita dihadang kembali oleh krisis ekonomi worldwide. Sehingga, tejadi penurunan kapasitas sampai 70 persen atau sisa karyawan tinggal 30 persen. Artinya industri padat karya di Sukabumi, sedang tdak baik saja," pungkasnya. RS