Kondisi utang Indonesia kian mengkhawatirkan. Ruang fiskal negara dipandang mulai menyempit dan dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (7/6).
"Berbagai studi menunjukkan bahwa negara yang terus-menerus menambah utang secara agresif akan berujung pada overhang,” ujarnya.
Singkatnya, Bhima ingin membantah pernyataan Sri Mulyani bahwa kenaikan utang bisa membuat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Dalam ilustrasinya, Sri Mulyani mengurai bahwa setiap 1 dolar AS utang membuat pertumbuhan ekonomi naik 1,34 dolar AS.
Menurut Bhima, utang yang semakin meningkat tidak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Justru bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Utang negara yang membengkak justru akan menjadi beban tersendiri bagi presiden mendatang.
Pemimpin 2024 juga akan dibebani jebakan utang. Sebab proyek-proyek yang seolah adalah utang BUMN, tapi kemudian dilimpahkan menjadi kewajiban dari anggaran negara.
"Misalnya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan ini akan berakibat anggaran APBN semakin berat untuk membayar bunga utang yang dalam setahun bunga utang itu bisa mencapai lebih dari 440 triliun. Tahun depan bunga utang bisa 480 triliun," bebernya.
Ekonom muda itu melanjutkan, kondisi utang juga akan berakibat kepada Presiden 2024 yang kesulitan melakukan berbagai stimulus untuk menggerakkan ekonomi rakyat.
"Stimulus UMKM jadi terbatas, stimulus untuk industri semakin terbatas karena beban bunga utang sudah menyita sebagian dari pendapatan negara," tandas Bhima.
Presiden Joko Widodo mewariskan utang dengan jumlah fantastis mencapai Rp 7.879,07 triliun, dengan PDB 39,17 persen. Bila dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia terkini, setiap kepala memiliki utang masing-masing Rp 28,8 juta.
Sumber: rmol
Foto: Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira/Net