Menteri Investsi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia membeberkan, utang Indonesia ke Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF) sudah berhasil dilunasi di era pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bahlil mengatakan Indonesia telah berhasil melunasi seluruh utangnya kepada IMF. Ia menekankan, pencapaian ini merupakan hasil dari kebijakan yang bijaksana yang diterapkan pada masa pemerintahan SBY.
"Kita harus berterima kasih pada pemerintahan sebelum Pak Jokowi, yaitu di zamannya Pak SBY. Itu berhasil menyelesaikan utang kita ke IMF," jelas Bahlil dalam konferensi pers yang diadakan di Kantor Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, dikutip Sabtu (1/7/2023).
Tidak ragu, Bahlil bahkan secara gamblang menyebut IMF bak lintah darat saat memberikan utang ke Indonesia. Selama ini, kata Bahlil banyak paket kebijakan ekonomi yang disarankan IMF justru tidak sesuai dengan Indonesia.
"Menurut kajian mereka juga mengatakan, ini kayak lintah darat ibaratnya. Jadi banyak paket kebijakan ekonomi dari IMF yang tak cocok dengan negara kita," tambah Bahlil.
Pada kesempatan yang sama, Bahlil juga menceritakan kisah bagaimana salah diagnosa IMF kepada Indonesia saat dilanda krisis moneter pada 1998.
Saat krisis moneter 1998 tersebut, kata Bahlil IMF merekomendasikan sejumlah kebijakan, yang justru membawa dampak sangat besar terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Industri kita ditutup, contoh PT Dirgantara Indonesia. Banso-bansos (bantuan sosial) ditutup. Artinya daya beli masyarakat lemah di situ. Cikal-bakal deindustrilisasi," tutur Bahlil.
Bagai efek domino, Bahlil mengatakan, salah diagnosa dari IMF tersebut turut berdampak pada semua kebijakan yang dibuat saat itu. Bunga kredit ikut terkerek naik yang juga berimbas pada hampir seluruh pengusaha kolaps. Kemudian, banyak kredit macet dan aset-aset pun diambil.
Kondisi pada 1998 itu, kata Bahlil membuat Indonesia seolah menjadi pasien salah diagnosa.
Bicara saran IMF lebih lanjut lagi, Bahlil juga mengatakan, IMF baru saja melontarkan permintaan agar Indonesia tak memperluas kebijakan hilirisasi dengan larangan ekspor bahan mineral mentah. Dalam hal ini, jelas Bahlil menolak permintaan tersebut.
"Dia sudah pernah menjadikan kita pasien yang gagal diagnosa. Apakah kita akan mengikuti dokter yang sudah membawa kita ke ruang rawat inap, dia memasukan kita ke ruang ICU? Ibarat orang sakit harusnya nggak operasi total, kemudian operasi total terus gagal," ujarnya.
Di sisi lain, IMF sendiri juga telah menyatakan kondisi ekonomi RI dalam keadaan baik. Karenanya, permintaan menyangkut ekspor ini menuai tanda tanya besar.
Menurut Bahlil, IMF telah melakukan standar ganda mengingat negara-negara lain boleh melakukan hal serupa, sementara hanya Indonesia yang tak boleh melakukan langkah tersebut.
Selaras dengan hal ini pula, Bahlil pun menegaskan, tidak akan mengikuti permintaan yang dilayangkan oleh IMF untuk berhenti menyetop ekspor bahan-bahan baku mentah mineral lainnya.
"Langit mau runtuh pun, hilirisasi tetap akan jadi prioritas negara dalam pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Yang kedua, larangan ekspor tetap akan kita lakukan. Kalau mau gugat kita ke WTO, WTO aja. Masa orang lain boleh (setop ekspor), kita tidak? Yang bener aja, negara ini sudah merdeka," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, proyek hilirisasi menjadi program andalan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di mana, hilirisasi komoditas pertambangan menjadi satu-satunya cara untuk Indonesia meningkatkan nilai tambah dari hasil pertambangan.
Hilirisasi juga menjadi cara Indonesia untuk melompat menjadi negara maju. Karena kelak, dengan hilirisasi Indonesia tak hanya mengekspor barang mentah melainkan barang jadi seperti baterai kendaraan listrik yang saat ini dibutuhkan dunia.
Sebelumnya memang, IMF sempat meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.
Hal itu disampaikan IMF dalam Paparan yang diungkapkan di Article IV Consultation. IMF memberikan alasan, bahwa kebijakan hilirisasi perlu mempertimbangkan masalah analisa biaya dan manfaat. IMF mengingatkan agar kebijakan hilirisasi menimbulkan rambatan negatif bagi negara lain.
"Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil dan ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini," kata IMF dalam laporannya, dikutip Selasa (27/6/2023).
Oleh sebab itu, IMF mengimbau adanya analisa rutin mengenai biaya dan manfaat hilirisasi. Analisa ini harus diinformasikan secara berkala dengan menekankan pada keberhasilan hilirisasi dan perlu atau tidaknya perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.
Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan efek rambatan lintas batas yang negatif," tambahnya.
Dengan demikian, IMF menilai otoritas harus mempertimbangkan kebijakan hilirisasi dalam negeri yang lebih tepat untuk mencapai tujuannya dalam meningkatkan nilai tambah produksi.
"Meningkatkan nilai tambah dalam produksi, dengan menghapus secara bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan untuk komoditas lain," paparnya.
Sumber: cnbcindonesia
Foto: