WANHEARTNEWS.COM - Ekonom dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng kembali mengkritisi utang era Presiden Jokowi yang meroket hampir 300 persen. Layak masuk museum rekor Indonesia (MURI) karena tak pernah terjadi di era presiden sebelumnya.
Kata Salamuddin kepada Inilah.com, Jakarta, Rabu (9/8/2023), pemerintahan Jokowi gencar menerbitkan surat utang negara alias SUN. Awal menjabat pada November 2014, SUN bertengger di level Rp1.112 triliun. Sembilan tahun kemudian melejit menjadi Rp4.518 triliun. “Naiknya berapa? Sebesar Rp3.406 triliun, atau naik 289 persen. Belum pernah dalam sejarah pemimpin Indonesia, menambah utang segede selama berkuasa,” kata Salamuddin.
Sedangkan porsi utang luar negeri (ULN) di era Jokowi, kata Salamuddin, naiknya tak mau kalah. Saat ini, ULN mencapai US$203,4 miliar. Atau setara Rp3.051 triliun dengan kurs Rp15.000/US$. Bandingkan saat Jokowi awal berkuasa, posisi ULN sebesar US$129 miliar atau Rp1.935 triliun. “Artinya, ULN nambah Rp1.105 triliun, atau tumbuhnya 56,7 persen. Angka kenaikannya besar sekali,” kata Salamuddin.
Nah, sekarang utang saat Jokowi berkuasa, harus ditanggung APBN di masa-masa mendatang. Total dari SUN ditambah ULN mencapai Rp7.569 triliun. “Bagaimana cara bayarnya? Apalagi kalau nilai tukar rupiah semakin buruk. Sebelum Jokowi berkuasa kurs rata rata Rp8.000 per dolar AS. Sekarang Rp15.000 per dolar AS. Tahun depan bisa Rp20.000 per dolar AS. Ingat, Amerika Serikat sedang menarik uangnya sebesar 1,5 triliun dolar AS. Bisa gawat ini,” terangnya.
Selama Jokowi berkuasa, kata Salamuddin, terjadi kenaikan utang yang terdiri dari SUN dan ULN, sebesar Rp4.511 triliun. Jika diasumsikan, setahun pemerintahan Jokowi akan menumpuk utang baru sebesar Rp1.000 triliun, maka beban APBN bakal semakin sempoyongan.
“Kalau pemerintahan ini (Jokowi) bubar begitu saja tahun depan, bagaimana pemerintahan berikutnya membayar utang ini? Kalau pemerintahan sekarang tidak tanggung jawab atas penggunaanya,” kata dia.
Akan berbeda cerita bila masih ada lembaga yang menjalankan fungsi kontrol selugas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di masa lalu.
Kalau masih ada MPR tentu bisa dievaluasi. Utang dipakai untuk apa saja? Bentuk pertanggung- jawaban presiden seperti apa? Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintahan di masa depan. Jika utang ugal-ugalan lagi maka MPR bisa memecatnya,” pungkas Salamuddin.
Terkait utang, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlahnya bertambah Rp 5.125,1 triliun sepanjang 2015 hingga 2022.
Hal itu diungkapkan oleh Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo dari cuitannya di Twitter @prastow, Rabu (9/8/2023), yang membahas mengenai utang pemerintah. Ia menjelaskan, jumlah utang tersebut lebih rendah dibandingkan belanja negara untuk sejumlah keperluan prioritas. “Manfaat melebihi utang. Sepanjang 2015-2022, penambahan utang sebesar Rp 5.125,1 triliun masih lebih rendah dibandingkan belanja prioritas,” cuit Prastowo.
Adapun belanja negara yang lebih besar dari utang adalah untuk keperluan perlindungan sosial atau bansos, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, nilainya Rp 8.921 triliun. Jadi, saat utang bertambah tetapi dana yang digelontorkan untuk kepentingan masyarakat sangat tercukupi bahkan lebih.
Sumber: inilah.