Wacana duet Ganjar-Anies atau Anies-Ganjar mencuat belakangan ini. Mungkin ini sengaja dihembuskan untuk test the wave (tes ombak) untuk melihat reaksi masyarakat, atau sebuah pilihan keterpaksaan, atau ada rasa tidak puas dengan pilihan Anies, atau sebuah strategi melawan “musuh” ? Waktulah yang akan menjawabnya.
Memang dalam politik (praktis) kadang nilai-nilai tidak penting, yang penting adalah “keuntungan” duniawi. Ada istilah dalam politik (praktis) : “tidak ada lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan abadi (dalam urusan keuntungan duniawi”
Duet Anies – Ganjar atau Ganjar – Anies jika dipaksakan tidak akan menambah kekuatan apa pun selain keterpurukan. Akan terjadi kekacauan dan frustrasi berat para pendukung Anies. Mungkin juga pendukung Ganjar “ogah” dukung Anies. Faktanya, Ganjar itu cuma unggul di hasil survey-survey “pelacur”, tapi di lapangan dan survey yang real, rakyat tidak mau pilih Ganjar.
Bahkan jika Anies berpasangan dengan Ganjar kemungkinan pertolongan Allah akan dicabut, karena “kesempurnaan” Anies telah dikotori oleh orang yang “anti Islam” seperti Jokowi. Anies tanpa pertolongan Allah tidak akan memenangkan apa pun.
Ada sebuah fakta baru bahwa Jokowi sepertinya telah mantap akan sepenuhnya mendukung Prabowo dengan meninggalkan Megawati (PDIP). Dengan demikian di Pilpres 2024 Jokowi akan melawan Megawati.
Memang PDIP saat ini sedang galau karena ditinggalkan (hampir) semua partai politik. Tapi PDIP sulit untuk berkoalisi dengan Koalisi Perubahan dengan banyak pertimbangan.
Baca juga: Loyalis Ahok: Selamatkan Pembajakan Demokrasi Kelompok Radikal dengan Gagalkan Pelantikan Anies-Sandi
Ada rencana besar di balik dukungan Jokowi kepada Prabowo. Karena Jokowi sangat takut jika tidak “menanamkan” keluarganya (orang kepercayaannya) setelah lengser nanti.
Hampir dipastikan skenario capres-cawapres pilihan Jokowi adalah Prabowo-Gibran. Dan untuk meluluskan dan memuluskan rencana itu, semua langkah (busuk) sudah dipersiapkan : MK yang akan mengubah batas minimal usia capres/cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun, partai-partai koalisi pemerintah yang “dipaksa” untuk berkoalisi dengan Gerindra, KPU dan Bawaslu yang telah diatur sedemikian rupa untuk memenangkan calon Jokowi, demikian juga semua lembaga Negara dan Aparat Kepolisian disetting untuk mensukseskan rencana itu.
Sebegitu mudah dan muluskah skenario itu ? Belum tentu.
Berkaca dari pengalaman 2019 sepertinya Jokowi akan bermain curang lagi. Tapi saat ini mereka akan banyak menghadapi banyak hambatan dan ganjalan dari berbagai sisi :
Pertama, Tidak semua lembaga negara dalam penguasaan Jokowi, sebagiannya dalam penguasaan Megawati
Kepolisian, Kejaksaan, KPU dan BIN adalah orang-orang Megawati. Sedangkan hakim-hakim MK ada orang-orang Jokowi dan sebagian orang-orang Megawati. Mungkin Jokowi akan sulit mengendalikan sepenuhnya lembaga-lembaga itu.
Kedua, Media massa mainstream saat ini tidak semua di pihak Jokowi
Ketika pemilu 2019 semua media massa dikuasai Jokowi, sehingga mereka koor untuk membalikkan perolehan suara hasil hitung cepat (quick count). Saat ini tidak semua media massa dalam penguasaan rezim Jokowi.
Ketiga, Jika capres tetap 3 calon, KPU akan kesulitan untuk memutarbalikkan hasil perhitungan suara
Baca juga: Serang Anies, Ahok: 5 Tahun Tuhan Kasih Pemimpin Jakarta Hanya Pinter Ngomong
Kasus kecurangan yang terjadi di Pemilu 2019 adalah perolehan suara di hasil quick count tiba-tiba bisa dibalik, yang menang jadi kalah (Prabowo-Sandi) dan yang kalah jadi menang (Jokowi-Ma’ruf Amin). Dengan majunya 3 capres KPU akan kesulitan untuk mensinkronkan seluruh data yang masuk dalam waktu singkat, berbeda jika capresnya hanya 2 calon.
Keempat, Jika selisih suara antara Anies dan Prabowo/Ganjar sangat signifikan, sangat sulit dimanipulasi*
Sampai saat ini, lembaga-lembaga survey kredibel, seperti ILC, Google Trend, CNBC, dll selalu menempatkan Anies di urutan teratas dengan perolehan suara dari 61-83%, dibandingkan Prabowo dan Ganjar yang di bawah dua digit. Bahkan hasil survey litbang Kompas terbaru, jumlah pilihan pemilih terhadap capres dukungan Jokowi cuma 18%, meningkat yang semula cuma 15%. Perbedaan suara yang sangat signifikan akan sangat sulit dimanupulasi (disubsidi).
Kelima, Rakyat dan TNI tidak akan membiarkan kecurangan terulang lagi
Rakyat telah bersiap untuk menghentikan segala bentuk kecurangan dan siap fight jika keadaan memaksa. Para relawan Anies telah bersiap untuk menghentikan kecuramgan mulai dari pengawasan ketat di TPS-TPS, penghantaran, sampai penghitungan di KPU.
Jika Jokowi nekad mencurangi hasil pilihan rakyat, rakyat siap berperang melawan kezaliman. Tahun 2024 adalah kesempatan terakhir bagi Bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekasn dari tangan China komunis.
Now or Never
Bandung, 7 Muharram 1445
Oleh : Sholihin MS
Pemerhati Sosial dan Politik