PARAH! Faisal Basri Sebut Smelter Nikel Cina Dapat Karpet Merah di RI, 'idak Membayar Royalti' -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

PARAH! Faisal Basri Sebut Smelter Nikel Cina Dapat Karpet Merah di RI, 'idak Membayar Royalti'

Jumat, 11 Agustus 2023 | Agustus 11, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-08-11T15:24:31Z

WANHEARTNEWS.COM - Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menilai Cina menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam kebijakan hilirisasi di Tanah Air. Musababnya, perusahaan-perusahaan smelter Cina dianugerahi status proyek strategis nasional. 

"Apakah perusahaan smelter Cina tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional," kata Faisal Basri dalam keterangannya, Jumat, 11 Agustus 2023. 

Menurut Faisal basri, Kementerian Keuangan yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa tersebut. Kemudian belakangan fasilitas itu diberikan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM.

Dia berujar ketika Indonesia masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor. Sedangkan saat ini, ia menilai kebijakan hilirisasi nikel yang dijalankan pemerintah Indonesia justru mendukung industrialisasi di Cina.

Faisal Basri pun menggarisbawahi bahwa dirinya mendukung penuh industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel yang berlaku sekarang. "Karena hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional," ujarnya. 

Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi saat ini, tuturnya, hampir seluruhnya dinikmati oleh Cina, bukan di Indonesia. Ia menjelaskan kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1 persen pada 2014 menjadi hanya 18,3 persen pada 2022. Ini menjadi titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

Faisal Basri juga menilai keberadaan smelter nikel tidak memperdalam struktur industri nasional. Ia mengatakan produk smelter yang ada pun bukan dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. 

"Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit," kata dia. 

Sebab, produk besi dan baja dengan kode HS 72 yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis. Sedangkan yang kerap disebut oleh Presiden Joko Widodo sebagai hasil hilirisasi, menurutnya, adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.

Sementara itu, ia menuturkan hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Sedangkan hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke Cina. 

"Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi," ucapnya.

Lalu, kata Faisal Basri,  produk tersebut akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia dalam porsi yang jauh lebih rendah, yakni semi-finished products. Sejauh ini, ia menilai tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi batere untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat juga masih sepenuhnya diimpor dari Cina.

Dengan demikian, ia meyakini tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Faisal Basri menegaskan nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen.

"Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak China yang menikmatinya," tutur Faisal. 

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo mengatakan ada pemberian tarif royalti yang berbeda antara pemilik izin usaha pertambangan (IUP) yang hanya memproduksi atau menjual bijih nikel dibandingkan dengan IUP yang sekaligus memiliki smelter.

Hal itu, ujarnya, sesuai Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Berdasarkan beleid tersebut, Prastowo menuturkan bijih nikel diberikan tarof royalti 10 persen dan tarif untuk Feri Nikel atau Nikel Matte sebesar 2 persen.

"Kebijakan itu sejalan dengan amanat undang-undang bahwa pengelolaan mineral diarahkan untuk mendukung hilirisasi," kata Yustinus saat dihubungi Tempo, Jumat, 11 Agustus 2023. 

Sumber: tempo
×
Berita Terbaru Update
close