Fenomena tutupnya toko-toko buku disebabkan berbagai faktor seperti tren digitalisasi sehingga perilaku membaca dari gawai daripada dari fisik/cetak dan faktor lainnya.
Misalnya toko buku Gunung Agung yang telah beroperasi selama 70 tahun di Indonesia, kini berencana menutup seluruh gerainya pada akhir 2023. Langkah serupa juga dilakukan sejumlah toko buku lainnya.
Melihat fenomena ini, Anies Baswedan menyampaikan pandangannya. Menurutnya, semua pihak di industri percetakan dan perbukuan dari hulu-hilir (end to end) harus duduk bersama untuk melihat permasalahan sesungguhnya. Dia menegaskan jangan sampai berpretensi seolah-olah tahu semua permasalahan.
Anies menilai, banyak faktor yang menyebabkan muncul fenomena toko-toko buku tutup, seperti tren digitalisasi yang luar biasa, kemudian generasi baru lebih menyukai media digital daripada media cetak.
Di sisi lain, menurut Anies, terdapat disinsentif yang cukup besar dihadapi oleh industri ini.
"Bayangkan saja, mereka [toko buku] harus berkompetisi dalam sewa mal dengan produk lain yang memiliki margin profit lebih tinggi dan perputaran cash flow lebih besar. Jadi, saya memandang industri buku end to end harus mendapatkan dukungan dari negara, tidak ada pilihan, harus ada dukungan dari negara," ujar Anies dalam acara Merajut Persatuan, Anies Baswedan Bicara Kebudayaan: Tentang Kini dan Nanti, di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Anies menceritakan ketika masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dia menanyakan apakah ada pasar buku di DKI Jakarta, kemudian tidak ada yang bisa menjawabnya. Padahal, di DKI Jakarta terdapat 130 pasar hingga ada pasar kambing, tapi tidak ada satu pun pasar buku. Sementara toko buku di Pasar Senen bukanlah pasar buku, dalam arti secara khusus tidak dikonsep sebagai pasar buku, bukan negara yang menyelenggarakan pasar buku.
"Karena itu, kita buat pasar buku pertama di Jakarta, di Jalan Kenari. Bagaimana mungkin Kota yang punya ratusan penerbit dan memiliki sejarah literasi terhadap seluruh perjalanan literasi di negeri ini, tidak memiliki pasar buku. Di Pasar Senen, Jakarta itu tempat para sastrawan. Sutan Takdir Alisjahbana mengajar bahasa Indonesia di Pasar Senen agar orang dari mana-mana bisa berbahasa Indonesia."
Selain membuat pasar buku, ketika bertugas di DKI, Anies juga mendorong semua pasar untuk menyiapkan outlet buku, sehingga bukan hanya bahan-bahan kebutuhan pokok. "Jadikan buku prioritas. Industri ini end to end harus dapat dukungan pemerintah."
Anies memberikan solusi atas fenomena toko buku yang berguguran.
Pertama, insentif pajak untuk kertas dan berbagai aktivitas cetak-mencetak terkait dengan literasi.
Kedua, membuat benchmark. Ini bisa dilakukan benchmark ke India. Pasalnya, produksi buku di India jauh lebih murah daripada di negara penghasil bukunnya itu sendiri.
Ketiga, distribusi buku. "Membawa buku itu seberat batu. Seperti saat Gerakan Indonesia Menyala, sebuah program bangun perpustakaan di desa-desa terpencil, yang paling mahal adalah ongkos kirim bukunya. Ada perusahaan logistik yang membantu pengiriman buku ini secara gratis. Jadi, negara harus memberikan insentif untuk pengiriman buku ke seluruh wilayah Indonesia. Kirim buku itu mahal."
Anies menambahkan agar ke depan semua kegiatan terkait dengan perbukuan tidak menjadi beban dengan dikenakan pajak, karena berbeda dengan kegiatan komersial lainnya. "Karena ini adalah tantangan dalam peningkatan pengetahuan, kebudayaan, dan kualitas manusia. Negara harus hadir. Indonesia tidak akan kekurangan uang dengan mengurangi pajak [di industri percetakan dan perbukuan dari hulu-hilir]. (Sepudin Zuhri)