Politisi PDIP Budiman Sudjatmiko mulai blak-blakan memberikan dukungannya kepada bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto. Manuver politik ini mengejutkan banyak pihak lantaran Budiman Sudjatmiko punya kisah masa lalu yang cukup alot dengan Prabowo Subianto.
Budiman bisa dibilang sebagai salah satu aktivis 98 garis keras yang melawan rezim Soeharto di masa mudanya. Seperti diketahui, Soeharto saat itu punya banyak kaki tangan dari kalangan militer, termasuk Prabowo Subianto.
Kisah Masa Muda Budiman sebagai Aktivis
Budiman Sudjatmiko merupakan salah satu aktivis reformasi yang saat itu lantang menentang kepemimpinan Presiden Soeharto. Dulu ia sempat bertolak belakang dengan Prabowo yang diduga menjadi aktor militer di balik penculikan aktivis pada 1998.
Selain itu, Budiman juga sempat mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Partai ini lahir dari organisasi politik sekitar tahun 1994 yang mewadahi sejumlah mahasiswa, buruh, aktivis, hingga petani. Mereka memiliki cita-cita tentang sosialisme.
Dalam ceritanya, Budiman dan empat aktivis PRD lainnya, yakni Petrus Hari Hariyanto, Iwan, Ignatius Pranowo, dan Soeroso, pada 11 Agustus 1996 sedang bersantai. Mereka menonton liga Inggris di televisi dalam rumah kawasan Depok.
Lalu, sekitar pukul 21.00 WIB, suara gemuruh kendaraan besar terdengar berhenti di depan rumah itu. Benny kemudian terlibat cekcok dengan sekelompok aparat berpakaian preman yang datang untuk mencari keberadaan para aktivis PRD.
Mengetahui situasi tersebut, Budiman lantas mematikan televisi dan lampu serta bersembunyi di kamar tidur. Ia berharap situasi menjadi kondusif, namun yang terjadi justru kebalikannya. Saat itu, upaya Benny menghalau sekelompok aparat gagal.
Mereka tetap masuk dan menggeledah seisi rumah. Salah satu aparat meminta Benny untuk membujuk Budiman keluar dari kamar terakhir yang belum diperiksa. Setelahnya, kelima aktivis PRD itu dibawa oleh gerombolan aparat.
Saat ditangkap, tubuh para aktivis itu dicengkram keras oleh aparat. Lalu, mata Budiman langsung ditutup, pakaian atasnya dilucuti, hingga kedua tangannya diborgol. Kemudian, sekitar pukul 22.00 WIB, ia pun diseret ke dalam sebuah mobil truk.
Saat itu, Budiman berpikir ia dan empat rekannya akan dibawa ke tempat yang jauh dari keramaian untuk dieksekusi mati oleh aparat. Mereka ditangkap karena diduga menjadi dalang atas kerusuhan 27 Juli 1996 alias Kudatuli, di Kantor PDI.
Truk itu berhenti di kantor Badan Intelijen ABRI (BIA), yang kini bernama Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Di sana, Budiman dan empat aktivis lainnya diinterogasi selama satu minggu. Mereka dibawa ke sebuah aula besar yang dipenuhi oleh cahaya.
Tak lama, Kepala BIA saat itu, Zacky Anwar Makarim dan Komandan Satintel BIA, Slamet Kirbiantoro menghampiri Budiman. Zacky mengatakan revolusi Budiman gagal. Namun, aktivis ini menjawab bahwa hal tersebut baru permulaan.
Zacky hanya tersenyum sembari menepuk pundak Budiman dan meminta bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut. Budiman mengatakan bahwa kejadian itu bukan tanggung jawabnya, sehingga ia merasa tidak perlu melakukannya.
Slamet kemudian menyela dengan mengatakan bahwa aksi Budiman pada tanggal 27 Juli itu bisa membunuh banyak orang. Budiman lantas menjawab jika kejadian tersebut merupakan aksi spontan rakyat yang marah, bukan dipelopori oleh mereka.
Namun, Slamet tetap ingin Budiman bertanggung jawab. Budiman pun terdiam karena jika lanjut berdebat maka bisa membahayakan keselamatan dirinya dan keempat temannya. Setelah itu, mereka dibawa ke dalam ruang interogasi terpisah.
Budiman mengaku tidak pernah mengalami siksaan saat diinterogasi BIA. Namun, hal ini berbeda dengan rekannya yang bercerita turut disiksa ketika menjalani interogasi. Setelah itu, Budiman divonis 13 tahun penjara oleh pemerintah atas tuduhan makar.
Ia bersama delapan aktivis PRD lainnya yang tertangkap kemudian ditahan sekitar tiga tahun di LP Cipinang sampai 1999. Namun, ia diberikan amnesti oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk kembali berjuang di luar penjara.
Sumber: suara
Foto: Politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko, di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (17/1/2023). ANTARA/Gilang Galiartha