Sayuti Melik nyaris dihabisi oleh kaum Nasionalis Pekalongan. Saat itu kemerdekaan Republik Indonesia baru saja diproklamirkan Soekarno atau Bung Karno dan Mohammad Hatta atau Bung Hatta di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
Sayuti Melik merupakan pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Suami tokoh pejuang perempuan S.K Trimurti itu juga menjabat sebagai sekertaris Partai Nasional Indonesia (PNI).
Di awal kemerdekaan Sayuti Melik bekerja sebagai pembantu Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro. Ia menangani bidang kerakyatan. Sesuai tugasnya, Sayuti diutus memantau wilayah karesidenan Pekalongan yang saat itu tengah bergolak.
Pergolakan sosial politik dipicu adanya pro kontra antara kaum nasionalis dengan pejabat pangreh praja Pekalongan yang memilih tetap patuh kepada penjajah Jepang.
Kabar kemerdekaan Indonesia baru didengar rakyat Pekalongan pada 18 Agustus 1945. Terdengarnya kabar kemerdekaan mendorong kaum nasionalis langsung bergerak, termasuk mengibarkan bendera merah putih.
Namun oleh pejabat pangreh praja, langkah itu dihalangi. Sejumlah bendera yang sempat berkibar diturunkan paksa dengan alasan belum mendapat perintah dari Dai Nippon (Jepang).
Benturan sosial pun tak terhindarkan. Sayuti Melik diperintah memastikan situasi sosial politik yang terjadi.
“Sayuti Melik bersama Subandrio dan Hugeng kemudian mendapat tugas dari Gubernur Jawa Tengah untuk mengunjungi karesidenan Pekalongan,” demikian dikutip dari buku S.K Trimurti Pejuang Perempuan Indonesia (2016).
Nahas, saat bersama KH Iskandar Idris, yakni komandan resimen 17 TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan Kiai Bisri untuk menemui Kutil, seorang jagoan di Tegal, mobil yang ditumpangi Sayuti Melik diadang sekelompok pemuda.
Sayuti dan kedua rekannya diseret keluar dari mobil dengan mata tertutup. Dengan tangan terikat, mereka digelandang menuju kantor bekas BKR Ujung Rusi dan diperlakukan kasar.
Para pemuda mengira Sayuti Melik dan dua rekannya yang kemudian dibawa ke AMRI Slawi merupakan petugas pangreh praja yang hendak kabur.
Dalam waktu cukup lama, orang dekat Soekarno atau Bung Karno itu dipaksa duduk di tepi jalan. Dari percakapan yang terlontar, Sayuti mendengar dirinya tinggal menunggu waktu untuk dieksekusi.
Beruntung, di bekas pabrik gula di Slawi, Sayuti Melik bertemu dengan Suwignyo, yakni seorang kawan perjuangan saat masih sama-sama menjalani hukuman penjara di Boven Digul.
Suwignyo merupakan bagian dari gerombolan pemuda nasionalis yang menyergapnya. Suwignyo lantas membebaskan Sayuti Melik yang sebelumnya menjelaskan dirinya hanya menjalankan perintah Gubernur Jawa Tengah.
Atas bantuan Suwignyo juga Sayuti bisa meminjam fasilitas telepon markas AMRI Slawi. Melalui saluran telepon Sayuti Melik melaporkan apa yang tejadi di Pekalongan kepada Markas Besar Tentara di Yogyakarta.
S.K Trimurti yang mendengar kabar suaminya berhasil bebas dari penangkapan gerombolan pemuda, menyusul ke wilayah karesidenan Pekalongan. Dengan kelihaiannya menyusup, yakni di antaranya selalu mengucap salam merdeka sembari mengepalkan tangan kiri ke atas udara, Trimurti berhasil masuk Pekalongan.
S.K Trimurti bertemu Sayuti Melik di rumah Kiai Abu Sujai di Tegal. Kiai Suaji merupakan tokoh muslim yang terkenal anti Belanda dan Jepang. Oleh istrinya, Sayuti Melik disarankan kembali ke Yogyakarta guna melaporkan peristiwa tiga daerah (Brebes, Tegal dan Pemalang).
Sebab S.K. Trimurti juga mendengar kabar gerombolan pemberontak tengah memburu Sayuti Melik. Kabar itu ternyata benar adanya. Untungnya Sayuti sudah bergegas ke Yogyakarta.
“Benar dugaan S.K Trimurti bahwa setelah kembali ke hotel, sudah ada banyak segerombolan orang yang menunggunya di sana untuk mencari Sayuti. Hati S.K Trimurti lebih tenang, dengan kepercayaan diri ia mengatakan bahwa Sayuti pergi ke Yogyakarta”.
Sayuti Melik yang terlahir dengan nama Mohammad Ibnu Sayuti 22 November 1908 di Sleman Yogyakarta, meninggal dunia pada 27 Februari 1989.
Sumber: okezone
Foto: Sayuti Melik/Net