SOSOK KH Maimoen Zubair, namanya termasyur sebagai ulama Tanah Air. Ia merupakan putra pertama dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah.
Lahir pada Kamis Legi bulan Sya'ban tahun 1347 H bertepatan tanggal 28 Oktober 1928 di Desa Karang Mangu Kecamatan Sarang, Jawa Tengah. Sebagaimana dilansir dari NU online.
Orangtua KH Maimoen Zubair bukan orang sembarangan, ibunya Nyai Mahmudah merupakan putri dari Kiai Ahmad bin Syu’aib, ulama kharismatik yang teguh memegang pendirian.
Sedangkan Kiai Zubair merupakan murid kinasih Syeikh Sa’id Al-Yamani serta Syeikh Hasan Al-Yamani Al- Makky.
Secara genealogi keilmuan, Mbah Zubair merupakan ulama yang cukup disegani. Kematangan ilmu KH Maimoen Zubair tidak ada satupun yang meragukan.
Sejak balitan, KH Maimoen Zubair sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Bahkan, ia diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Sharaf, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah, dan bermacam Ilmu Syara’ lainnya. Semua itu dilakukan KH Maimoen Zubair sebelum dirinya menginjak remaja.
Mbah Moen begitu biasa disapa memang memiliki kecerdasan dan daya ingat yang sangat luar biasa. Hal tersebut membawanya menuju pribadi yang dewasa. Bahkan, sampai usia ke 91 tahun daya ingatnya masih segar.
Pada usia sekitar 17 tahun, Mbah Moen sudah hafal di luar kepala nadzam Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq, serta Rohabiyyah fil Faroidl.
Seiring pula dengan kepiawaiannya membalah kitab-kitab fiqih madzhab Asy-Syafi’i, semisal Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, dan beberapa kitab jenis lainnya.
Pada tahun kemerdekaan, Mbah Moen memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, di bawah bimbingan KH Abdul Karim atau terkenal dengan sebutan Mbah Manaf.
Selain kepada Mbah Manaf, Kiai Maimoen juga menimba ilmu agama dari KH Mahrus Ali dan KH Marzuqi.
Di Lirboyo, Mbah Moen nyantri selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menenggak habis ilmu pengetahuan.
Tanpa kenal batas, Mbah Moen tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah.
Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH Ahmad bin Syu’aib. Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama di bidangnya, antara lain:
- Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki
- Syekh Al-Imam Hasan Al-Masysyath
- Sayyid Amin Al-Quthbi
- Syekh Yasin bin Isa Al- Fadani
- Syekh Abdul Qodir Almandily
Dirinya kemudian menetap Makkah Al- Mukarromah dua tahun lebih hingga kemudian kembali ke Tanah Air. Ia masih melanjutkan semangatnya untuk ngangsu kaweruh yang tak pernah surut.
Walau sudah dari Arab, Mbah Moen masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama besar tanah Jawa yang ada kala itu.
Mbah Moen menikah pada usia 25 tahun. Setelah menikah sosok yang dikenal sangat sederhana itu menjadi Kepala Pasar Sarang selama 10 tahun.
Mbah Moen adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, Kiai Maimoen meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan.
Dalam pribadi Mbah Moen, semua itu selaras dan seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir Kecamatan Sarang, Rembang tidak membuat sikap Mbah Moen ikut mengeras. Justru Mbah Moen menunjukkan sikap sebaliknya.
Mbah Moen menunjukkan sikap yang sopan kepada yang lebih muda. Ia adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang.
Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri.
Mbah Moen muda membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya. Pada 1965 Mbah Moen mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama.
Hal itu diiringi dengan berdirinya pesantren yang berada di sisi kediamannya. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang. Keharuman nama dan kebesaran beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis.
Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil karena ikut nyantri dalam pesantren yang kerap dikunjungi para pejabat di negeri ini.
Mbah Moen dianugerahi 10 putra dari tiga kali pernikahannya. Almarhum menikah tiga kali karena istri pertama dan keduannya meninggal dunia.
Istri pertama bernama Ibu Nyai Hj Fahima Baidhowi, yang merupakan putri dari KH Baidhowil Lasem Rembang. Dari pernikahannya, keduannya dikaruniai dua putra dan satu putri, masing-masing:
1. KH Abdullah Ubab (Gus Ubab)
2. KH Muhammad Najih (Gus Najih)
3. Ibu Nyai Hajah Shobihah (Neng Shobihah)
Dari istri kedua, yakni Ibu Nyai Hj Mastiah, Mbah Moen dikaruniai 6 putra dan satu putri, masing-masing:
1. KH Majid Kamil (Gus Kamil)
2. KH Abdul Goffur (Gus Ghofur)
3. KH Abdul Rouf (Gus Rouf)
4. KH Muhammad Wafi ( Gus Wafi )
5. Ibu Nyai Hj Rodhiah (Neng Yah)
6. KH Taj Yasin (Gus Yasin)
7. KH Muhammad Idror (Gus Idror)
Setelah istri pertama dan kedua wafat lebih dulu, Mbah Moen kembali menikah dengan istri ketiganya yaitu Ibu Nyai Hj Heni Maryam putri dari salah satu ulama dari Kabupaten Kudus. Dari pernikahan ini tidak dikaruniayai keturunan.
Dalam hal agama, 10 penerus KH Maimoen Zubair sangat mumpuni. Bersama dengan mereka Mbah Moen mengembangkan pondok pesantren Al Anwar 1, 2,3 dan 4. Pondok Pesantren 1 di asuh KH Maimoen Zubair sendiri sampai dengan sekarang. Pesantren ini berlokasi di Desa Karang Mangu, Kecamatan Sarang.
Sedangkan Pondok Pesantren Al Anwar 2, 3, dan 4 lokasinya berada di Dukuh Gondangrejo Desa Kalipang Kecamatang Sarang. Lokasinya berjarak sekitar 5 KM dari Ponpes Al Anwar 1 (Induk).
Hal yang membedakan pesantren ke empatnya adalah : Al-Anwar 1 murni pendidikan salaf, diasuh oleh KH Maimoen Zubair. Al-Anwar 2 ada pendidikan salaf dan formal, ada MI, MTs, yang dikelola KH Abdullah Ubab. Berdiri sekitar tahun 2003.
Al-Anwar 3 khusus untuk Sekolah Tinggi STAI yang diasuh oleh KH Abdul Ghofur sebagai rektornya. Al-Anwar 4 itu untuk SMK Al-Anwar yang diasuh oleh KH Taj Yasin, Wakil Gubernur Jawa Tengah berdiri pada 2016.
Di Pesantren Al-Anwar juga terdapat pendidikan Ma'had Aly. Semacam program pendidikan khusus salaf yang disetarakan S1. Program tersebut berjalan sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang.
Saat ini, ada sekitar 10 ribu santriwan-santriwati yang masih mondok di empat Pondok Pesantren. Sepeninggal Mbah Moen para santri diasuh oleh putra-putra Mbah Moen, sedangkan santri putri diasuh oleh Ibu Nyai Hj Heni Maryam, dan dibantu menantu-menantunya.
Kedelapan putra Mbah Moen semuanya diminta menetap di Sarang Rembang, untuk meneruskan mengelola pondok yang terus mengalami kemajuan. Kecuali kedua putrinya. Ibu Nyai Hj Shobihah (Neng Shobihah) di Cirebon menikah dengan KH Musthofa Aqil Siroj adik dari Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siroj, sedangkan Neng Diyah menjadi istri dari KH Zairul Anam (Gus Anam) Banyumas, Jawa Tengah.
Perjalanan hidup Mbah Moen ini disarikan dari cerita KH Zainul Umam (Gus Umam). Gus Umam termasuk orang dekat keluarga KH Maimoen Zubair. Dia juga pernah mondok selama 9 tahun di Ponpes Al-Anwar dan menjadi santri Mbah Moen sejak tahun 1997 – 2006.
Gus Umam adalah orang yang sering mendampingi Mbah Moen ketika bepergian. Terakhir, ia mendampingi Mbah Moen ke Bandara Soekarno Hatta saat pergi ke Tanah Suci untuk berhaji sebelum wafat.
Pemakaman Mbah Moen di Makkah juga menyisakan cerita. Jasadnya utuh setelah empat tahun dikubur. Hal tersebut diketahui saat Pemerintah Kerajaan Arab Saudi beberapa waktu lalu membongkar makam Mbah Moen bersama sejumlah makam yang lainnya di Ma’la Makkah.
Sumber: okezone
Foto: KH Maimoen Zubair (Foto: Ist)