Ramalan Jayabaya Notonegoro adalah salah satu ramalan yang paling populer di kalangan masyarakat Indonesia.
Ramalan ini mengandung prediksi tentang sosok pemimpin Indonesia yang akan membawa kemakmuran dan kejayaan bagi bangsa.
Namun, apakah ramalan ini benar-benar terbukti? Dan siapakah sebenarnya Notonegoro itu?
Ramalan Jayabaya Notonegoro berasal dari kitab ramalan yang ditulis oleh Sunan Giri Prapen dan Pangeran Wijil I, dua tokoh dari Kerajaan Demak pada abad ke-16.
Mereka menggunakan nama Jayabaya, raja Kerajaan Kediri yang hidup pada abad ke-12, sebagai merek dagang untuk menarik popularitas.
Jayabaya sendiri tidak pernah membuat ramalan, tetapi dikenal sebagai raja dan pujangga yang berhasil menerjemahkan kisah Mahabharata dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa.
Notonegoro adalah gabungan dari lima suku kata, yaitu no, to, ne, go, dan ro. Masing-masing suku kata ini memiliki arti tersendiri, yaitu:
- No: singkatan dari Noto, yang berarti menata atau mengatur.
- To: singkatan dari Toto, yang berarti benar atau tepat.
- Ne: singkatan dari Nego, yang berarti negara atau bangsa.
- Go: singkatan dari Goro, yang berarti kerja atau usaha.
- Ro: singkatan dari Roro, yang berarti wanita atau perempuan.
Jadi, Notonegoro berarti orang yang menata negara dengan benar dan kerja keras, serta didampingi oleh wanita.
Ramalan ini juga menyebutkan bahwa Notonegoro akan memiliki hubungan dengan Kerajaan Kediri, tempat asal Jayabaya.
Berdasarkan pengertian ini, banyak orang yang mencoba mencocokkan sosok Notonegoro dengan para pemimpin Indonesia sejak kemerdekaan. Beberapa nama yang sering disebut-sebut adalah:
- Soekarno: Presiden pertama Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dia memiliki nama lengkap Kusno Sosrodihardjo, yang mengandung suku kata no dan ro.
Dia juga berasal dari Blitar, Jawa Timur, yang dekat dengan Kediri. Dia didampingi oleh Fatmawati, wanita asal Bengkulu yang menjadi ibu negara pertama.
- Soeharto: Presiden kedua Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun (1967-1998). Dia memiliki nama lengkap Haji Muhammad Soeharto, yang mengandung suku kata to dan ro.
Advertisement by
Dia juga berasal dari Yogyakarta, Jawa Tengah, yang merupakan bagian dari wilayah Majapahit, kerajaan penerus Kediri.
Dia didampingi oleh Siti Hartinah, wanita asal Solo yang dikenal sebagai Ibu Tien.
- Megawati Soekarnoputri: Presiden kelima Indonesia yang menjabat pada 2001-2004. Dia adalah putri dari Soekarno dan Fatmawati, sehingga memiliki nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, yang mengandung suku kata ne dan ro.
Dia juga merupakan wanita pertama yang menjadi presiden di Indonesia.
- Susilo Bambang Yudhoyono: Presiden keenam Indonesia yang menjabat selama dua periode (2004-2014).
Dia memiliki nama lengkap Susilo Bambang Yudhoyono, yang mengandung suku kata no dan yo.
Yo adalah singkatan dari Yogyakarta, tempat kelahirannya. Dia didampingi oleh Kristiani Herawati, wanita asal Yogyakarta yang dikenal sebagai Ibu Ani.
- Joko Widodo: Presiden ketujuh Indonesia yang menjabat sejak 2014 hingga sekarang.
Dia memiliki nama lengkap Joko Widodo, yang mengandung suku kata no dan do. Do adalah singkatan dari Solo, tempat kelahirannya.
Dia didampingi oleh Iriana Joko Widodo, wanita asal Solo yang dikenal sebagai Ibu Iriana.
Dari kelima nama di atas, tidak ada yang memiliki semua suku kata Notonegoro secara lengkap. Namun, ada beberapa kesamaan dan keterkaitan antara mereka, seperti:
- Mereka semua berasal dari Pulau Jawa, yang merupakan pusat peradaban dan kebudayaan Indonesia sejak zaman kerajaan.
- Mereka semua memiliki latar belakang pendidikan, karier, dan organisasi yang beragam, yang mencerminkan keragaman dan kemajemukan Indonesia.
- Mereka semua memiliki prestasi dan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan dan kemajuan Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pertahanan dan keamanan.
- Mereka semua menghadapi tantangan dan masalah yang berat selama masa pemerintahannya, baik dari dalam maupun luar negeri, yang menguji ketangguhan dan kebijaksanaannya.
- Mereka semua mendapat dukungan dan kritik dari berbagai pihak, baik dari rakyat, partai politik, lembaga negara, maupun mitra internasional, yang menunjukkan dinamika dan demokrasi Indonesia.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ramalan Jayabaya Notonegoro tidak dapat dipastikan kebenarannya secara ilmiah.
Ramalan ini lebih bersifat simbolis dan interpretatif, yang dapat ditafsirkan sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing orang.
Namun, ramalan ini tetap memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi, karena mencerminkan harapan dan cita-cita bangsa Indonesia akan adanya pemimpin yang ideal dan visioner.
Sumber: grid
Foto: Ramalan Jayabaya/Net