Soeharto seperti kita tahu, menjadi presiden kedua Indonesia setelah kekuasaan Soekarno tumbang.
Perjalanan Soeharto untuk bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia saat itu, ternyata tidak mudah dan cukup panjang.
Semua berawal dari Gerakan 30 September 1965 atau G30S PKI, di mana gara-gara kejadian tersebut posisi Soekarno menjadi terancam.
Pasalnya, banyak rakyat yang mendesak sang proklamator untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hal tersebut berkaitan dengan dugaan kuat bahwa PKI menjadi dalang atas kematian enam jenderal dan satu perwira.
Akan tetapi, gelombang demonstrasi masyarakat tersebut tidak digubris oleh Bung Karno hingga kekuasaan sangat goyah.
Karena situasi yang tak stabil kala itu, Bung Karno pun mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar.
Supersemar ini merupakan surat mandat yang diberikan oleh Bung Karno kepada Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban.
Namun, siapa yang menyangka bahwa Supersemar ini justru menjadi penanda peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Surat mandat tersebut singkat cerita menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara atau Ketetapan MPRS dan menjadikan Soeharto menjadi presiden baru.
Di samping itu, ternyata sebenarnya ada sosok yang lebih berpeluang untuk menjadi presiden ketimbang Harto.
Sebagaimana dilansir Hops.ID dari kanal YouTube Indonesia Insider, sosok tersebut adalah Jenderal Abdul Haris Nasution.
Dari sisi pangkat dan pengalaman, Jenderal A.H. Nasution ini lebih senior ketimbang Soeharto.
Ketika itu, padahal Nasution memiliki sejumlah syarat yang menjadikannya layak untuk menggantikan Soekarno.
Sayangnya, kesempatannya untuk menjadi presiden ketika itu hilang karena dirinya merasa ragu-ragu.
Ditambah dengan dirinya yang baru kehilangan anak perempuannya yang bernama Ade Irma Suryani.
Juga ia tidak memiliki power untuk menggerakan kekuatan militer pada saat itu, jabatannya saat itu hanya mengkoordinir dan membina ABRI.
Jabatan yang diembannya tersebut, tidak lain merupakan cara Bung Karno untuk bisa mengendalikan sang jenderal.
Dalam perjalanannya, takdir ternyata lebih memilih Soeharto yang menjadi presiden ketimbang Nasution.***
Sumber: hops
Foto: Soekarno dan Soeharto/Net