Salah satu warga berinisial BT yang menolak direlokasi untuk proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City dipanggil oleh Polsek Galang. BT dituduh melanggar Pasal 28 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Surat pemanggilan itu dikeluarkan pada 25 September dengan nomor B/02/IX/2023/Reskrim. Pemanggilan BT dijadwalkan pada Rabu (27/9) di Ruang Unit Reskrim Polsek Galang.
“Guna kepentingan penyelidikan, dimohon kepada saudara untuk dapat hadir untuk memberikan keterangan yang akan dilaksanakan pada Rabu/27 September 2023,” demikian bunyi salinan surat pemanggilan tersebut.
BT dipanggil usai mengirim pesan di grup Whatsapp terkait penolakan relokasi. BT disebut menyerukan agar warga menolak sembako yang dibagikan aparat berseragam karena akan berujung permintaan persetujuan warga untuk relokasi.
“Saudari kirim melalui grup WhatsApp warga Sel Buluh, Kel Sembulang tentang ajakan/imbauan/hasutan saudari terhadap warga Sel Buluh agar jangan gampang menerima sembako gratis kalau tak ingin berujung diusir satu kampung,” tulis surat pemanggilan tersebut.
Polsek Galang menilai pesan tersebut mengandung unsur pidana, yakni mengacu pada Pasal 28 UU ITE yang berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Kasi Humas Polresta Barelang AKP Tigor Sidabariba membantah surat tersebut sebagai bentuk pemanggilan. Dia mengatakan surat itu hanya untuk klarifikasi.
“Itu klarifikasi saja bukan pemanggilan,” kata Tigor kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/7).
Bentuk kriminalisasi
Pengacara Publik LBH Pekanbaru Wilton Amos Panggabean menilai tuduhan tersebut merupakan salah satu bentuk kriminalisasi terhadap warga yang menolak direlokasi.
“Memang benar seperti itu [ada pemanggilan warga], tuduhannya sesuai pasal yang ada dalam surat sebagai wujud pembungkaman warga. Mereka coba dikriminalisasi,” kata Wilton saat dihubungi.
Wilton mengatakan hingga saat ini 43 warga yang jadi tersangka karena menolak di Rempang belum juga dilepaskan. Sebanyak 43 warga itu tidak hanya berasal dari Rempang, tapi juga Batam dan Tanjung Pinang yang bersolidaritas menolak proyek.
Wilton menuturkan tim advokasi Rempang belum bisa mengakses semua warga yang ditahan. Baru 24 warga yang berhasil didampingi, sisanya masih diusahakan.
“Tim advokasi masih belum bisa akses semua, sejauh ini yang kita dampingi sekitar 24 orang dan 2 orang didampingi yang lain, pendampingan terhadap 43 orang akan terus kita upayakan, termasuk yang baru ini,” jelas dia.
Wilton mengaku masih ada kendala untuk mendampingi 24 warga itu. Pasalnya, tim advokasi kesulitan menemui warga yang ditahan karena dalih masih dalam proses penyidikan.
Ribuan warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau terancam harus meninggalkan tempat tinggalnya karena akan ada pembangunan kawasan Rempang Eco City.
Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) itu akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luasan Pulau Rempang 16.500 hektare.
Ribuan warga itu tak terima harus angkat kaki dari tanah yang sudah ditinggalinya jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Mereka gigih mempertahankan tempat tinggalnya, meski aparat TNI-Polri dikerahkan agar warga Rempang setuju direlokasi.
Bentrok tak terelakan. Pada tanggal 7 dan 11 September 2023, bentrokan sempat pecah. Polisi menyemprotkan gas air mata hingga anak-anak dilarikan ke rumah sakit. Hingga saat ini, 43 orang yang menolak relokasi ditangkap dengan dituduh provokator.
Sumber: inionline
Foto: Bentrok Warga Pulau Rempang dengan Aparat/Net