Ketua Asosiasi Tambang Batuan Indonesia (ATBI) Jawa Tengah Supriyanto menyebut hasil tambang batuan di Jateng diduga mengalir ke sejumlah proyek strategis nasional (PSN). Hal itu akibat minimnya hasil tambang legal yang tersedia.
Hal itu disampaikannya saat diskusi ‘Tambang Ilegal, Tragedi Banyumas dan Pertambangan Jawa Tengah’ di Hotel Patra, Semarang, dikutip Harianindonesia.id dari Detikjateng, Minggu (23/9/2023).
Jumlah kebutuhan tersebut bisa meningkat jauh lebih besar jika melihat kebutuhan pembangunan lain baik oleh negara maupun swasta.
“Karena adanya antara supply and demand itu ada gap, gap itu kan membuka adanya pasar gelap. Maksud saya daripada pasar gelap ini dibiarkan kita bicara saja secara regulasi secara apa ada intervensi lah sedikit,” katanya.
Dia menyebut kebutuhan tambang tersebut sebenarnya sudah bisa dicukupi dari material yang berada di sekitar Gunung Merapi. Hanya saja, izin menambang di kawasan itu cukup sulit.
“Dengan kata lain izin sesuai, masuk L3 tapi secara teknis menurut BBWS tidak bisa,” tambahnya.
Hal itu menjadikan tambang ilegal kerap ditemukan di sekitar Merapi. Padahal aktivitas tambang ilegal tersebut merugikan negara.
Adapun soal data kebutuhan material hasil tambang itu juga diakui oleh Kepala Bidang Minerba ESDM Jawa Tengah Agus Sugiharto. Ada dugaan bahwa material hasil tambang ilegal masuk ke PSN.
“Bahwa kebutuhan untuk kegiatan konstruksi di lapangan itu tidak diperhitungkan dan tidak dipertimbangkan dulu sumbernya dari mana sehingga tidak ada sinkronisasi dari kabupaten sampai pemerintah pusat harusnya ada sinkronisasi dalam suatu perencanaan pembangunan itu secara komprehensif dari bawah sampai atas harus pasti kebutuhannya berapa diambil dari mana kan harus jelas, orang semuanya ada kok,” paparnya.
Dia menyebut bahwa dalam PSN material yang didapat terdata berasal dari mana dan harus jelas asalnya bukan dari tambang ilegal. Sayangnya, pemegang kontrak biasanya meminjamkan izinnya agar hasil tambang ilegal yang harganya jauh lebih murah bisa dijual.
“Dipinjamkan IUP-nya untuk kontrak padahal faktualnya yang pemilik IUP tidak ambil dari sana. Kemungkinan kan begitu (dari tambang ilegal) orang ditanyain produksinya, laporannya juga dicek tidak sesuai dengan kontrak, kan ketahuan laporan bayar pajak berapa, yang dikontrak bayar berapa kan enggak klop,” jelasnya
Agus menyebut kasus itu juga pernah terjadi dan ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Dirinya juga mengaku pernah dimintai keterangan terkait hal tersebut.
“Nanti akan ditindaklanjuti ya karena itu kan terkait tipikor ya. Nanti saya juga akan memperingatkan pemegang izin untuk tidak sembarangan memberikan izinnya untuk disewa-sewakan untuk kontrak yang sebetulnya tidak ngambil dari lokasinya, itu kita tunggu hasilnya saja,” pungkasnya.
Sumber; harianindonesia
Foto: Potret tambang ilegal di lereng Merapi Desa Kemiren Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Foto diambil, (16/4/2023). Foto: dok. Harian Indonesia.id