Interseksi Agama dan Sains menjadi kajian pertama Limited Group Discussion yang diangkat oleh Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) bekerjasama dengan Yayasan Persada Hati. Program ini akan membahas isu-isu kontroversi terkini di beragam bidang dengan menghadirkan tokoh yang mempunyai kepakaran terkait, agar tidak menjadi pembahasan yang populis.
Demikian disampaikan oleh Ketua PIEC Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D., pada diskusi terbatas yang diselenggarakan di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina, Selasa (19/09/2023).
Hadir sebagai narasumber Akademisi Universitas Paramadina, Luthfi Assyaukanie, Ph.D, yang menguraikan menguraikan isu interseksi agama dan sains.
Lutfi membuka dengan pernyataan apakah memang ada ada persentuhan antara sains dan agama? “Sebab selama ini kita mengalami kesulitan dalam memetakan interseksi sains dan agama karena (1) absennya perspektif historis dalam melihat hubungan agama dan sains dan (2) tidak ada definisi yang tetap tentang agama.” Katanya.
Pada pernyataan pertama, Luthfi menganggap penelusuran secara historis mengenai fungsi agama dan sains penting dilakukan agar dapat ditemukan keterhubungan keduanya. Sementara pada pernyataan kedua, Luthfi menilai terlalu lenturnya definisi mengenai agama, membuat kita tidak mempunyai ketetapan terhadap rujukan agama tertentu ketika mempersoalkan relasinya dengan sains. Hal ini disebabkan oleh fakta historis yang berbeda pada setiap agama.
Namun, relasi agama dan sains bukannya tidak dapat dipetakan. Luthfi menguraikan empat macam tipologi relasi agama dan sains menurut Ian Barbour: (1) konflik, (2) dialog, (3) independen, dan (4) integrasi.
Ia menjelaskan tipologi pertama adalah relasi konflik terjadi sebab agama tidak menemukan keselarasan dalam sains, dan demikian juga sebaliknya, sains menghadirkan temuan-temuan yang bertentangan dengan agama. Pada tipologi konflik, sains dan agama saling bertentangan.
“Kedua, tipologi dialog terjadi sebab antara agama dan sains dapat berdialektika dalam menemukan jawaban-jawaban atas persoalan dunia. Ketiga, relasi saling independen antara agama dan sains terjadi karena keduanya mempersoalkan hal-hal dengan cara yang berbeda, mempunyai wilayah pembahasan, otoritas, dan bahasa yang berbeda, sehingga tidak ditemukan keterkaitan antara domain sains dengan agama. Terakhir, relasi integrasi artinya terdapat interseksi dalam agama dan sains yang saling menunjang kebenaran.” Paparnya.
Luthfi mempertajam uraiannya dengan mengungkapkan bahwa untuk menemukan interseksi agama dan sains, perlu meninjau aspek fungsional keduanya secara kronologis. Tokoh yang melakukan penelusuran historis terhadap agama, misalnya Ina Wunn.
“Ia menulis tentang spesiasi agama-agama dari perspektif evolusi untuk melihat kelahiran spesiasi agama-agama. Menurutnya, agama bermula dari sesuatu yang sederhana dan berfungsi untuk bertanya mengenai misteri yang dihadapi. Agama pada waktu itu bukan berupa ritual-ritual melainkan lebih mendasarkan pada pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai kehidupan.” Terangnya.
Kemudian dalam perkembangannya, agama melahirkan konsep-konsep ketuhanan yang dinilai sebagai sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut. Sehingga, berdasarkan Ina Wunn, Luthfi melihat bahwa fungsi agama pada mulanya adalah sebagai upaya manusia menemukan jawaban atas misteri yang terjadi dalam kehidupan, sebab dengan adanya agama, manusia mengetahui segala hal dan seluruh kehidupannya telah ditetapkan.
Selanjutnya menurut Luthfi, gerak evolusi agama sampai pada munculnya kesadaran bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui apa-apa. Ignorance atau ketidaktahuan inilah yang menjadi awal mula kelahiran sains.
“Kesadaran saintifik dilandasi oleh sikap ignorance, yakni kesadaran bahwa manusia pada dasarnya tidak mengetahui segalanya. Pada momen ini sains telah mengambil alih fungsi agama sebagai penyingkap kebenaran. Di era saat ini, agama tidak lagi berfungsi sebagai penjawab misteri, sebagaimana yang dilakukan oleh sains.” Ujarnya.
Namun demikian, Luthfi berpendapat bahwa terdapat fungsi agama yang tidak dapat digantikan oleh sains, yakni sebagai konsolasi atau memberikan efek penenang bagi para penganutnya. Selain itu, fungsi agama dan Tuhan di era perkembangan sains adalah sebagai God of the Gap, yakni pengisi ruang-ruang kosong ketidaktahuan manusia yang tidak dapat dijawab oleh sains.