PEMERINTAH resmi mewajibakan masyarakat membeli LPG 3 kg menggunakan KTP/KK per 1 Oktober 2023 mendatang. Data pembeli akan didaftarkan ke dalam data base Pertamina untuk penarapan skema subsidi LPG 3 Kg secara efektif per 1 Januari 2024.
Kebijakan yang pasti menyulitkan masyarakat ini, dijalankan Pertamina melalui Subholding Commercial & Trading, PT Pertamina Patra Niaga berdasarkan surat tugas yang diterbitkan Dirjen Migas kementrian ESDM.
Saat pembeli menunjukkan KTP/KK, agen penyalur resmi akan mencocokannya dengan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang dinput di website Subsidi Tepat milik Pertamina.
Jika data KTP/KK tidak termasuk dalam daftar P3KE, maka pembeli tidak terkategori miskin. Tidak boleh membeli LPG tabung melon. Sebaliknya, jika terdaftar sebagai masyarakat miskin, maka boleh membeli LPG 3 kg.
Pembelian menggunakan KTP dan KK hanya bisa dilakukan di pangkalan resmi. Tingkatan paling bawah adalah sub penyalur. Konsekuensinya, masyarakat, terutama ibu-ibu rumah tangga, tidak bisa lagi membeli di warung-warung pengecer dekat rumah.
Mau masak, gas habis, harus cari agen resmi, tunjukin KTP/KK baru bisa beli. Meskipun hanya berlaku satu kali, tapi cukup bikin repot masyarakat.
Di lain sisi, sulit membayangkan bagaimana caranya penjual di tingkat sub agen mencocokan KTP/KK setiap pembeli dengan data P3KE di website Pertamina. Koplak !!!
Masa agen penyalur disuruh main lepotop atau pegang hp sambil online, lalu nge-cek data identitas setiap pembeli di website Pertamina. Kan ngaco !!!
Bagaiamana juga dengan sistem pengawasannya ? Sejauh mana kesiapan pemerintah jamin efektifitas pelaksanaan di 243.852 penyalur resmi se-Indonesia ?
Di balik kerumitan masalah teknis tersebut, pemerintah ngotot berlakukan pendataan konsumen menggunakan KTP/KK untuk menjamin penyaluran subsidi jadi lebih akurat. Tidak bocor ke orang kaya.
Pandai sekali memutar kata. Namun dibalik bahasa pemerintah yang manis itu, sesungguhnya kebijakan ini adalah wujud pembatasan kuota LPG 3 Kg untuk kendalikan besarnya impor dan biaya subsidi LPG 3 Kg yang ditanggumg APBN.
Benar saja, subsidi LPG 3 Kg dalam APBN 2023 sudah dipangkas jadi Rp 113,27 triliun. Turun dari alokasi APBN 2023 Rp 117.84 T dan APBN 2022 Rp 134.78 T.
Sungguh langkah frustasi yg menegaskan: pemerintah dan DPR Indonesia malas dan tidak kreatif. Enjoy the power. Power and glory. Memalukan. Rakyat kembali dikorbankan.
Padahal sumber daya gas alam melimpah. Melampaui total kebutuhan nasional. Tapi karena pemerintah tidak becus mengelolah. Rakyat yang harus jadi korban.
SKK Migas menyebut, Produksi LPG nasional 2022 hanya1,9 juta meter kubik. Sementara kebutuhan Konsumsi 8 juta meter kubik. Mines-nya 6,1 juta meter kubik.
Untuk menutupi kekurangan pasokan tersebut, negara harus impor 6,4 juta meter kubik.
Pertamina beli impor di spot market dengan harga global. Dijual kembali ke masyarakat dalam negeri dengan harga rugi. Kerugian Pertamina itu selanjutnya dibayar pemerintah lewat tanggungan subsidi dari APBN.
Ditelusuri lebih dalam, masalah rendahnya produksi dan besarnya impor LPG adalah masalah klasik yang sengaja dipelihara kementrian ESDM, komisi VII DPR RI, mafia serta oligarki impor.
Kenapa saya sebut sengaja dipelihara ?
Karena ketika Kementerian ESDM menyatakan produksi LPG kita lemah, bagi saya, itu kalimat yg sangat tidak pantas.
Bukankah data Kementerian ESDM sendiri yang menyebut, per 31 Desember 2021, produksi Gas alam nasional tembus 59,29 juta meter kubik.
Lalu kenapa proses konversi ke LPG untuk memenuhi kebutuhan 8 juta meter kubik sebagaimana alokasi yg ditetapkan dalam APBN saja tidak bisa ?
Otak menteri ESDM taruh dimana, dari total produksi Gas alam 59,29 juta, yang berhasil dikonversi ke LPG hanya 1.9 juta meter kubik ?
Kalau 59,29 juta produksi digunakan untuk bayar konversi LPG 1.9 juta, masih menyisahkan 57,39 juta meter kubik.
Kalaupun digunakan lagi untuk membayar konversi ke LPG sesuai kebutuhan masyarakat 8 juta meter kubik, masih menyisahkan 51,29 juta meter kubik.
Artinya Indonesia surplus produksi dan pasokan Gas alam !!!
Surplusnya berapa ? 51,29 juta meter kubik !!!
Lalu kenapa Indonesia harus bergantung tinggi terhadap pasokan impor LPG?
Apa juga alasan pemerintah tidak mampu menyanggupi konversi produksi gas alam ke LPG sesuai kebutuhan yang hanya 8 juta kubik meter?
Jawaban pemerintah adalah: lemahnya konversi gas alam jadi LPG karena kita lemah dalam produksi kandungan campuran propane C3 dan butane C4.
Jawaban klasik ini selalu diulang-ulang setiap tahun. Padahal solusinya sederhana. Bangun kilang. Beres masalah. Kalau tidak mampu bangun kilang, upgread kapasitas kilang. Terutama kilang LPG Bontang yang potensial.
Mirisnya, bukannya di-upgread, di 2023 ini, pemerintah justru memutuskan menunda pembangunan proyek kilang Bontang dan menghapus proyek tersebut dari daftar proyek pembangunan kilang. Alasannya, Pertamina gagal melanjutkan kerja sama dengan Oman Overseas Oil and Gas (OOG).
Bukan cuma masalah kilang Bontang, sejauh ini, upaya tingkatkan produksi LPG berbasis pada bangun kilang dan akselerasi kapasitas kilang memang tidak menjadi orientasi pemerintah.
Kenapa?
Kalau negara berhasil tingkatkan produksi sesuai kebutuhan rakyat, lalu bagaimana caranya koruptor di Kementrian ESDM, Komisi VII DPR, SKK Migas serta mafia dan oligarki impor bisa mencuri keuntungan lewat perburuan rente impor ?
Indonesia kaya akan cadangan gas alam. Silahkan buka website kementrian ESDM atau SKK Migas lalu sharcing Proven Gas alam.
Akan muncul tulisan, per 31 Desember 2021, cadangan gas terbukti 34, 64 triliun meter kubik.
Kalau digabungkan dengan unproven atau potensial reserves, total cadangan capai 60,61 juta meter kubik. Sementara total produksi capai 59,29 juta meter kubik.
Lalu kenapa konversi ke konversi ke LPG cuma 1.9 juta meter kubik?
Memang sengaja dipelihara kelemahan itu. Biar Indonesia tetap bergantung pasokan impor. Mafia berbaju pejabat dan wakil rakyat, serta oligarki impor bisa terus mencuri keuntungan.
SKK Migas dan Kementrian ESDM kompak melaporkan, sampai saat ini, di tengah produksi gas alam yang capai 59,29 juta meter kubik itu, justru diikuti dengan rendahnya serapan gas domestik. Hanya mencapai 68.66% dari total produksi.
Mirisnya, jumlah produksi gas alam yg dikonversi ke LPG prosentasinya hanya 1.51% dari total produksi. Sementara mayoritas 31% diekspor negara ke pasar global untuk cari duit.
Dasar Bahlul !!!
Kejar ekspor tinggi, tapi kebutuhan dalam negeri diabaikan.
Mirisnya lagi, gas alam Indonesia yg diekspor keluar dengan jumlah mayoritas, diolah di luar jadi LPG, lalu diimpor kembali ke Indonesia dengan harga yg memiskinkan. Sehingga memicu lonjakan tanggungan subsidi untuk menutupi kerugian Pertamina.
Impor dan tanggungan subsidi yang tinggi, pada akhirnya bikin pemerintah teriak: Hai rakyat APBN tersandera, pertamina rugi. Tidak ada jalan lain, harus dilakukan pembatasan kuota LPG 3 Kg.
Lalu muncul wacana kebijakan KOPLAK: maksimalisasi alokasi subsidi tepat sasaran lewat pembelian LPG 3 Kg dengan menggunakan KTP/KK
Shame On You....
Oleh Faisal S Sallatalohy
Mahasiswa S3 Hukum Trisakti
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.