Pemerintah Indonesia mengeklaim masyarakat di Pulau Rempang "setuju" untuk "digeser" sepanjang tidak dipindahkan ke luar pulau itu. Namun, sejumlah warga terdampak justru menyatakan "tetap menolak" dipaksa pindah dari kampung mereka saat ini.
Pada Rabu (20/09), Menteri Investasi Bahlil Lahadiala mengatakan bahwa masyarakat terdampak proyek investasi tahap pertama "bukan direlokasi" ke Pulau Galang, melainkan "akan digeser" ke area yang masih ada di dalam Pulau Rempang.
Bahlil juga menyebut bahwa rencana itu telah "diteken" oleh tokoh masyarakat yang ditemuinya ketika berkunjung ke Pulau Rempang awal pekan lalu.
Tetapi bagi Fauziah, warga dari Kampung Sembulang Pasir Merah, penolakannya terhadap relokasi atau apa yang kini diistilahkan pemerintah sebagai "pergeseran", tidak berubah.
"Digeser itu berarti sama saja harus meninggalkan kampung, kami semua tidak setuju dipindah atau digeser," kata Fauziah kepada BBC News Indonesia, Kamis (21/09).
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan pemerintah untuk tidak "mengeklaim sepihak" persetujuan masyarakat tanpa benar-benar mendengarkan aspirasi mereka yang terdampak. Sikap itu dikhawatirkan dapat memicu saling curiga dan konflik horizontal.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM AMAN, Muhammad Arman, menyatakan klaim-klaim semacam itu berulang kali menjadi “taktik” penguasaan lahan untuk PSN.
Pola yang sama juga ditemukan AMAN dalam pembangunan bendungan Wadas di Jawa Tengah, waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur, Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur, dan lain-lain.
“Dibenturkan antar-masyarakat, lalu diklaim masyarakat setuju padahal yang terdampak langsung tidak setuju. Itu pola lama yang dilakukan di proyek-proyek PSN lainnya, dan itu juga dilakukan di Rempang,” kata Arman ketika dihubungi.
'Satu menit pun tak diberi kesempatan ngomong'
Fauziah adalah salah satu warga yang berharap bisa menyuarakan penolakannya secara langsung ketika Bahlil mengunjungi Pulau Rempang pada Senin lalu.
"Kami, ibu-ibu datang untuk menyampaikan penolakan. Tapi satu menit pun saya tidak diberi kesempatan ngomong, dibilang pesawat sudah mau berangkat. Tahu-tahu mereka singgah ke sebuah hotel, di situ dibikin kesepakatan," kata Fauziah.
Dalam kunjungan itu, Bahlil memang berdialog dengan perwakilan Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat).
Dia lalu berbicara di hadapan warga yang berkumpul di Kampung Pantai Melayu pada Senin (18/09) siang. Di situ, Bahlil mengaku ada usulan masyarakat agar mereka "tidak dipindahkan ke luar Pulau Rempang".
Dari 16 kampung tua yang awalnya hendak direlokasi pun, akan ada empat kampung yang diprioritaskan untuk dibangun pada tahap awal.
Tetapi Fauziah merasa tak puas dengan apa yang diutarakan Bahlil dan ingin menyuarakan aspirasinya.
"Enggak bisa ngomong saya, enggak dikasih kesempatan, apa memang tidak mau mendengar suara masyarakat, enggak tahu lah," katanya.
Perasaan tak didengar itu juga dirasakan Azwir dari Kampung Tanjung Banun, salah satu dari 16 kampung tua yang terdampak penataan Pulau Rempang.
“Kemarin itu tidak ada dialog, Pak Bahlil cuma menyampaikan apa yang jadi keputusan mereka. Warga tidak diberikan [kesempatan] untuk bertanya, kemudian dialog. Jadi seolah-olah warga itu menerima langsung keputusan itu. Warga ndak mau,” kata Azwir.
Meski kampungnya tidak termasuk empat kampung prioritas yang akan direlokasi pada tahap pertama, Azwir mengatakan penolakan dan kekhawatiran warga di kampung-kampung lainnya juga masih kuat.
Dia khawatir apabila relokasi tahap pertama itu terwujud, maka cepat atau lambat kampungnya pun juga akan bernasib sama.
Bahlil: 'Digeser, bukan direlokasi'
Setelah pertemuan dengan warga pada Senin itu, Bahlil didampingi oleh Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Gerisman dan juru bicaranya, Suardi, mengumumkan apa yang mereka sepakati di hadapan pers.
"Hari ini kesepakatan untuk pergeseran tempatnya kita cari yang win-win, kita cari yang jalan tengah, sudah ditandatangani oleh ketua-ketua RT, oleh tokoh-tokoh tadi, kita ambil jalan tengah," kata Bahlil.
Penegasan terkait "pergeseran kampung" kembali dia utarakan di sela-sela kunjungannya ke Nusa Dua, Bali pada Rabu (20/09).
Dia juga kembali menekankan bahwa masyarakat "setuju" atas itu.
"Jadi kita geser kampung mereka yang beberapa kampung itu kita geser ke satu kampung tapi masih di Rempang, dan setuju mereka sudah teken," tuturnya.
Esok harinya, secara terpisah di Jakarta pada Selasa (19/09), giliran Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan masyarakat Pulau Rempang “pada umumnya mau” untuk direlokasi.
“Karena kalau kita identifikasi, rakyat itu pada umumnya mau, mereka mau. Tidak ada masalah,” kata Luhut dikutip dari Tempo.co.
Menurut Luhut, pendekatan yang sebelumnya dilakukan terhadap masyarakat “kurang pas”, dan pemerintah tengah mengupayakan pendekatan yang lebih baik.
Dia juga mengatakan bahwa pengalamannya mengatakan berdasarkan pengalamannya menangani pembebasan lahan, dia tidak menemukan masalah apabila diidentifikasi secara menyeluruh.
"Karena kalau direlokasi ada yang mau dikasih rumah, pekerjaan, sekolahnya, dan sebagainya, ada juga yang mau uang saja cash (tunai)," terang Luhut.
Luhut juga menyinggung soal provokator yang dia sebut “pasti ada” dalam pembebasan lahan.
“Itu [provokator] yang kita pisah-pisahkan. Saya kira nggak ada masalah,” tutur Luhut.
Selain itu, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP) Batam mengeklaim sudah lebih dari 100 kepala keluarga yang mendaftar untuk direlokasi.
“Lebih dari 100. Maaf kami tidak bisa memberikan angka pastinya, karena menjaga privasi para pendaftar,” kata Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait dikutip dari kantor berita Antara.
Selain itu, mereka juga memperpanjang masa pendaftaran relokasi warga Rempang tahap pertama hingga 28 September 2023.
'Kami kompak tidak mau dipindah'
Fauziah membantah klaim-klaim itu.
"Kami kompak tidak mau dipindah," katanya.
Keluarganya telah tinggal turun temurun selama enam generasi di Pulau Rempang.
"Ini bukan masalah ganti untung ganti rugi, tapi ini marwah, kenangan kami di sini, makam leluhur kami, masa dibongkar kami tak tega. Hati kami hancur betul dibuat pemerintah ini," kata Fauziah.
Saat ini, setiap hari petugas dari BP Batam dan aparat masih berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengajak warga mendaftar untuk direlokasi.
Tetapi setidaknya di kampungnya, Fauziah menuturkan warga "tak ada yang setuju direlokasi."
"Kalau ada yang bilang begitu, itu bohong," tuturnya sambil menangis.
Fauziah mengaku stres dengan situasi di Pulau Rempang belakangan ini.
"Sedikit-sedikit kami menangis, tapi kami tidak tahu mau mengadu ke siapa lagi?"
"Presiden saja secara enggak langsung mengusir kami dari kampung kami sendiri," katanya.
Dihubungi terpisah, Juru bicara Keramat, Suardi, juga mengatakan bahwa masyarakat sejauh ini memang masih menolak rencana relokasi dan perpindahan.
Namun sebagai pihak yang turut berdialog dengan Bahlil, Keramat menyatakan akan berupaya mencari solusi dan melakukan konsolidasi dengan masyarakat.
"Kalau masyarakat menolak itu kan keputusan mereka," kata Suardi.
"Keramat dalam hal ini memfasilitasi beberapa pertemuan, terus kita sampaikan kepada warga, setelah itu nanti akan kami sampaikan, laporkan kepada kementerian," ujarnya.
Potensi maladministrasi di Rempang
Arman dari AMAN mengatakan pernyataan Bahlil soal "pergeseran kampung" adalah permainan kata-kata yang tidak bisa menghilangkan fakta bahwa masyarakat "dipaksa untuk pindah".
"Pergeseran itu sama saja. Yang terjadi itu pemindahan secara paksa. Masyarakat adat Rempang tidak diberi pilihan kecuali harus pindah," tuturnya.
"Seharusnya sebelum lokasi ditunjuk menjadi PSN, dikonsultasikan dengan warganya dulu. Setuju tidak tanahnya dilepas? Ini kan tidak, ditunjuk dulu baru ditanya ke warga, itu namanya dipaksa supaya mau."
Arman menuturkan pemerintah semestinya menghormati eksistensi mereka berdasarkan hukum adat.
Apalagi masyarakat adat Tempatan disebut telah menempati Pulau Rempang sejak 1834.
Sementara itu, Ombudsman RI justru menemukan ada potensi maladministrasi oleh BP Batam dan Pemeerintah Kota Batam terkait rencana relokasi warga kampung-kampung tua di Pulau Rempang.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro mengatakan BP Batam telah mencadangkan alokasi lahan Pulau Rempang sekitar 16.500 hektare untuk kawasan industri, perdagangan, hingga wisata.
Namun, Johanes menilai pencadangan alokasi lahan itu tidak sesuai ketentuan karena Kementerian Agraria dan Tata Ruang belum mengeluarkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada BP Batam.
"Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean)," kata Johanes.
"Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum," ujar Johanes.
Ombudsman akan meminta klarifikasi kepada BP Batam, Pemkot Batam, Kementerian Investasi/BKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang, dan pihak lainnya terkait hal ini.
Menurut Johanes, PSN semestinya memperhatikan tahapan pengadaan tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021.
"Untuk itu Ombudsman akan memeriksa apakah pembangunan Rempang Eco City sudah dilakukan sesuai dengan tahapan pada aturan tersebut atau tidak," ujar Johanes.
Selain itu, Ombudsman juga akan mendalami penguasaan fisik tanah-tanah masyarakat yang selama puluhan tahun sudah ditempati.
Hal itu, kata Johanes, mencakup apakah ada unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun temurun ditempati.
Hak-hak yang 'terampas'
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang P Wiratraman mengatakan ada banyak hak-hak masyarakat yang terampas dalam pelaksanaan PSN di berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam konteks ini, negara disebut telah "gagal menjamin hak hidup masyarakat" dan "membiarkan kekerasan terjadi pada anak-anak" seperti yang terjadi di Rempang ketika bentrokan antara warga dan aparat pecah pada 7 September 2023.
Herlambang juga mengatakan bahwa negara telah melumpuhkan upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga.
Masyarakat yang terdampak PSN juga tidak dijamin hak kolektifnya untuk mempertahankan wilayahnya. Hak milik pribadi masyarakat "diambil alih secara paksa".
Negara pun tidak menjamin pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dalam sistem hukum yang adil, kata Herlambang.
Dia juga menyoroti terjadinya serangan siber, kekerasan oleh aparat dan premanisme yang mewarnai konflik-konflik terkait PSN.
“Pelanggaran hak ini tidak hanya terjadi di Rempang saja, melainkan di wilayah lainnya seperti kasus PSN Bendungan Bener di Wadas. Hal ini sangat saya sayangkan karena seluruh hak yang diatur dalam konstitusi negara justru dilanggar oleh pemerintahnya sendiri," kata Herlambang.
Desakan untuk mengkaji PSN sebagai 'pelanggaran HAM'
Dengan pola yang berulang dan eskalasi konflik yang meningkat terkait PSN, sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak agar pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan ini.
Koalisi Nasional Untuk Solidaritas Rempang, yang merupakan gabungan dari sembilan organisasi sipil, telah meminta Komnas HAM mengkaji kemungkinan "untuk dapat menetapkan kebijakan PSN ini sebagai pelanggaran HAM berat" ketika berdialog pada Kamis.
Apa yang terjadi di Rempang dinilai memperkuat pola berulang atas pelanggaran hak-hak masyarakat demi terlaksananya PSN.
"Itu yang tadi kami coba dorong, pihak Komnas HAM mengatakan akan mengkaji proses keseluruhan dari kebijakan PSN," kata Dimas dari KontraS, yang turut hadir ke Komnas HAM.
Data Komnas HAM sendiri menunjukkan bahwa konflik agraria yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir terkait dengan PSN.
Lembaga ini mencatat telah terjadi 692 kasus konflik agraria dalam delapan bulan terakhir. Komnas HAM juga menyatakan bahwa eskalasi terjadi ketika suatu proyek dimasukkan ke dalam PSN.
Sementara itu, AMAN mencatat terdapat 21 kasus konflik masyarakat adat dengan PSN sepanjangJanuari hingga Juli 2023, meliputi pembangunan bendungan, geotermal, food estate, kawasan industri, dan lain-lain.
Arman dari AMAN mengibaratkan PSN sebagai "mahaproyek" yang bisa melabrak beragam aturan dan merampas hak-hak masyarakat begitu saja.
Dalam prosesnya pun, Arman mengatakan "tidak ada partisipasi bermakna" yang mempertimbangkan aspirasi masyarakat terdampak.
"Mereka tidak punya ruang, masih berjuang terus menerus, dan kami belum tahu ujungnya nanti akan seperti apa," kata Arman.
Sumber: bbc
Foto: Aksi Demo Rempang/Net