Konflik Proyek Investasi, Mau Sampai Kapan Pemerintah Mengulangi Kesalahan? -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Konflik Proyek Investasi, Mau Sampai Kapan Pemerintah Mengulangi Kesalahan?

Minggu, 24 September 2023 | September 24, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-09-24T13:37:26Z

“Hanya seekor keledai yang jatuh di lubang yang sama.” 
Pepatah yang dipopulerkan oleh penulis asal Yunani pada era sebelum Masehi, Homer dan Aesop, berpesan, janganlah seperti keledai yang tidak mau belajar dari kesalahan sehingga terulang kembali.

Tidak ada seorang pun yang mau disamakan seperti keledai. Tapi justru urusan mengulangi kesalahan seringkali dilakukan banyak orang bahkan lembaga. Seperti konflik di proyek investasi, yang berulang kali terjadi karena dipicu buruknya cara komunikasi.

Konflik yang membenturkan aparat dengan warga Pulau Rempang semestinya tak terjadi jika komunikasi dan pendekatan secara humanis dilekatkan dalam penuntasan segala persoalan di Pulau Rempang. Pundi-pundi investasi bikin pemerintah gelap mata hingga tega membekukan sejumlah pelayanan kesehatan dan pendidikan agar bisa mengusir paksa warga.

Cara ini ditempuh Pemkot dan BP Batam agar warga Rempang setuju untuk relokasi, meninggalkan kampung halaman demi kelancaran proyek Rempang Eco City. Mengutip laman BP Batam, Rempang Eco City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam PSN 2023 yang pembangunannya diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023, disahkan pada 28 Agustus lalu.

Proyek Rempang Eco City merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura dan Malaysia. Proyek tersebut akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dengan target investasi mencapai Rp381 triliun pada 2080. 

Untuk menggarap Rempang Eco City, PT MEG diberi lahan sekitar 17.000 hektare yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Ironisnya, menurut penuturan salah satu tokoh masyarakat Riau dan Kepulauan Riau, Azlaini Agus, belum lama ini, warga Rempang baru mengetahui adanya rencana proyek itu justru dari media sosial, bukan dari kegiatan sosialisasi resmi pemerintah.

Komunikasi yang dibangun oleh pemerintah, terutama Pemkot dan BP Batam, sangat buruk. Warga tidak diajak bicara terlebih dahulu mengenai rencana relokasi dan kompensasi yang diberikan. Alih-alih mengirimkan tim untuk mengkomunikasikan dan membicarakan rencana tersebut dengan baik kepada warga, yang terjadi pemerintah mengirim aparat gabungan dalam jumlah yang berlebihan dan langsung meminta warga mengosongkan rumahnya.

Sejak awal Agustus 2023 pihak Pemkot dan BP Batam berulang kali memaksa masuk ke Pulau Rempang untuk memasang patok tanah yang sudah diberikan kepada investor. Selanjutnya, tanggal 23 Agustus 2023, seluruh warga masyarakat Rempang dan pulau-pulau sekitarnya dengan 6.000 massa menggelar aksi unjuk rasa menolak relokasi. 

Bentrokan tak terhindarkan dan pecah pada Kamis (7/9/2023), mengakibatkan banyak korban luka-luka bahkan trauma pada anak-anak. Selain pemaksaan relokasi, Azliani mengatakan, pemerintah seolah-olah ingin membuang para warga. Sebab, sarana prasarana relokasi sama sekali belum dibangun.

"Warga Rempang tidak menolak masuknya investasi jika memang negara membutuhkan investasi tersebut. Mereka hanya menolak digusur dari tanah leluhurnya. Mereka menolak dipindahkan dari kampung-kampung tua yang sudah mereka huni secara turun temurun," ucap dia.

Pantauan tim Inilah.com di Sembulang, salah satu kampung di Pulau Rempang, Kamis (21/9/2023), suasana masih mencekam usai bentrokan terjadi. Meski aktivitas sudah normal lagi, tetapi perasaan warga tidak tenang. Bila warga berkumpul akan dicurigai aparat karena masih mencari-cari kemungkinan ada provokator dari warga.

Mereka khawatir ada petugas datang ke rumah, memaksa daftar relokasi. Kalau ikut daftar pun, tidak jelas nasibnya karena tidak bisa lagi melaut. Perahu serta peralatan nelayan yang dimiliki tidak bisa dibawa bila ikut relokasi. 

Tak jauh berbeda dengan Pemkot dan BP Batam, banyak pernyataan ngawur dari pemerintah pusat, cenderung memaksa warga untuk terima saja relokasi tersebut. Bahkan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia telah menetapkan, Pulau Rempang sudah harus dikosongkan pada 28 September mendatang.

Bahlil menjelaskan investasi yang akan masuk di Pulau Rempang merupakan Foreign Direct Investment (FDI), yakni penanaman modal atau investasi langsung dari pihak asing. Semua negara, kata dia, saling berkompetisi merebut investasi langsung itu dari luar negeri ke dalam negeri, untuk penciptaan lapangan pekerjaan baru.

"Kita ini berkompetisi, FDI terbesar itu di negara tetangga, kita mau merebut investasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau kita terlalu lama, memang dia mau tunggu kita? Kita butuh mereka," kata Bahlil usai menggelar rapat teknis di Hotel Marriott, Harbourbay, Kota Batam, Minggu (17/9/2023).

Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Amin Ak, mengkritik komunikasi buruk yang dilakukan pemerintah. Selain terlalu menghamba pada investor, pemerintah juga lamban dalam merespons konflik ini.

Ia menyoroti soal informasi kompensasi berupa rumah dan lahan seluas 500 meter persegi untuk setiap Kepala Keluarga (KK). Amin heran informasi tersebut baru disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah kericuhan terjadi, usai banyaknya reaksi negatif dari masyarakat terhadap cara-cara pemerintah menangani rakyatnya.

“Kalau memang sudah mendesak waktunya, lantas mengapa komunikasi dan negosiasi tidak dilakukan jauh-jauh hari. Selain itu, siapkan dulu permukiman baru sebagai pengganti permukiman warga saat ini, lengkap dengan fasilitas sosial, umum, maupun akses perekonomian warga,” ucap dia kepada Inilah.com di Jakarta, Rabu (20/9/2023).

Setali tiga uang dengan pemerintah, TNI yang semestinya bisa menjadi benteng harapan terakhir sebagai pelindung, malah berlaku sebaliknya. Bahkan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono sempat menyatakan akan mengirimkan pasukan lebih banyak lagi bila aksi penolakan terus berlanjut. Yudo juga menginstruksikan pasukannya untuk memiting warga yang masih membandel menolak relokasi. 

Belakangan pernyataan itu dianulasi dengan kata ‘merangkul’ usai video pernyataan Yudo viral dan memantik banyak kritik. Rupanya TNI sudah mulai jago bersilat lidah, seakan 270 juta rakyat Indonesia adalah orang bodoh, cibiran pun mengalir deras hingga akhirnya Yudo meminta maaf atas semua perkataannya.

"Saya mohon maaf, sekali lagi mohon maaf atas pernyataan kemarin yang mungkin masyarakat menilai seolah dipiting, itu karena bahasa saya dipiting itu. Saya orang ndeso yang biasa waktu kecil sering piting-pitingan dengan teman saya," kata Yudo di Dermaga Batu Ampar, Kota Batam, Selasa (19/9/2023)

Ahli semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Acep Iwan Saidi menyayangkan diksi yang dipilih Yudo dalam menyampaikan permintaan maaf. Menurutnya, pemilihan kata ndeso untuk menganulasi kata piting malah menimbulkan persoalan lain, seolah-olah ada semacam perendahan terhadap sifat kedesaan.

“Ketika permintaan maaf diimbuhi berbagai alasan, secara semiotis itu menjadi tampak tidak ikhlas. Hemat saya, minta maaf tidak usah ditambahi dengan berbagai alasan susulan. Bersalah ya diakui saja khilaf,” kata dia kepada Inilah.com, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/9/2023).

Pakar linguistik forensik, Anhar Rabi Hamsah Tis'ah, mengingatkan apa yang terjadi terhadap Panglima Yudo harus jadi pelajaran bagi semua pejabat. Menurutnya, cara berkomunikasi di depan publik harus dijaga lebih baik, terlebih jika saat berkomunikasi direkam dan disebarluaskan ke media sosial.

“Karena bebas berbahasa dan berpendapat adalah dua hal yang berbeda. Bahasa di media sosial bersifat multimakna, akan banyak interpretasi atau tafsiran yang memaknai ujaran tersebut, sehingga menimbulkan polemik di masyarakat,” ucap dia kepada Inilah.com, Rabu (20/9/2023). 

Sementara pengamat militer, Connie Bakrie, meyakini apa yang disampaikan Yudo soal kata piting, bukan merepresentasikan makna sesungguhnya. Menurutnya, TNI dalam bertugas membantu menjaga ketertiban masyarakat tidak boleh bawa senjata, maka piting merupakan satu-satunya cara terbaik jika keadaan memaksa dan tidak kondusif lagi.

“Kalau ada massa yang ngaco lalu bagaimana dan apa yang harus dilakukan TNI? Ninju tidak boleh, mentung tidak boleh, mukul tidak boleh, ya sudah dipiting saja, aman tidak akan menyakiti massa hanya mengunci gerakannya,” tutur dia kepada Inilah.com di Jakarta.

Ke depannya, tutur Connie, sebaiknya pemerintah tidak usah lagi melibatkan TNI dalam persoalan sengketa lahan seperti ini. “Karena TNI jadi bingung kalau semua (tindakan) tidak boleh dilakukan, sementara harus menegakan ketertiban,” ucap dia tegas.

Peristiwa di Pulau Rempang bukan yang pertama, sebelumnya bentrokan juga dialami para warga Air Bangis, Pasaman Barat, Sumatra Barat (Sumbar). Penyebabnya, sami mawon, relokasi paksa untuk kelancaran PSN. Ribuan warga Jorong Pigoga, Air Bangis, sempat melakukan aksi demonstrasi berhari-hari di depan kantor gubernur Sumbar di Jalan Jenderal Sudirman Kota Padang. Mereka memulai aksi demo sejak Senin (31/7/2023) sampai Jumat (4/8/2023).

Masyarakat berdemo mengajak keluarga beserta anak-anaknya dan menginap di Kompleks Masjid Raya Sumatra Barat. Aspirasi yang disuarakan oleh warga Air Bangis ini adalah untuk meminta Gubernur Sumbar Mahyeldi menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah mereka.

Masyarakat Air Bangis yang tinggal di kawasan hutan dan menanam sawit tidak leluasa menjual hasil panen lantaran tanah mereka sudah menjadi kawasan hutan produksi dan masuk ke dalam rencana PSN. Konflik agraria di Air Bangis sudah berlangsung sejak 2016. Di mana sudah ada puluhan masyarakat ditahan karena melakukan aktivitas di hutan tempat mereka tinggal.

Sampailah pada Sabtu (5/8/2023) masyarakat Air Bangis yang menginap di Masjid Raya Sumbar dipulangkan secara paksa oleh aparat dari Polda Sumbar. Anggota DPRD Provinsi Sumbar, Albert Hendra Lukman, pada Selasa (8/8/2023), mengatakan, konflik agraria di Air Bangis disebabkan komunikasi antara pemda dan masyarakat tidak berjalan dengan baik. 

Menurut dia, harusnya pemda terlebih dahulu menyelesaikan konflik agraria dengan warga sebelum menerima investor dan menjadikan tanah tersebut sebagai PSN. "Di Sumbar ini setiap ada investasi yang masuk pasti muncul kemudian persoalan dan permasalahan. Salah satunya persoalan Air Bangis. Ini ada 21 ribu hektare tanah yang dikatakan milik negara," kata dia.

Konflik di Air Bangis masih menemui jalan buntu hingga saat ini. Sebab dalam pertemuan dengan perwakilan warga pada Selasa (19/9/2023) lalu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengaku belum bisa menentukan status kepemilikan lahan di Air Bangis.

Warga Air Bangis bersikukuh sudah turun temurun tinggal di lahan perkebunan di sana. Mereka mengeklaim baru mengetahui dalam beberapa tahun terakhir bahwa lahan yang mereka kelola ternyata masuk dalam kawasan hutan produksi. Di lokasi itu rencananya akan dibangun, kawasan industri yang mencakup kilang minyak, petrokimia, pesawat terbang, smelter nikel, dan lain-lain.

Sederet konflik agraria dalam PSN ini, membuktikan bahwa pemerintah menjalankan proyek secara serampangan. Pakar kebijakan publik Agus Pambagio menyayangkan pemerintah yang tidak punya data soal antropologi sosial dari masyarakat di mana proyek itu akan dikerjakan. 

Menurutnya, data antropologi sosial itu penting dipahami agar tahu karakter warga seperti apa, maunya bagaimana, bagaimananya cara yang pas untuk diterapkan ke mereka. “Agar tahu pasti yang tinggal di situ benar warga asli atau pendatang yang cari makan, atau pengacau? Nah dengan data antropologi bisa melakukan mitigasi dan antisipasi,” ucapnya kepada Inilah.com, Rabu (20/9/2023).

Ia mengaku sudah berulang kali mengingatkan hal ini kepada pemerintah agar mengumpulkan data antropologi sosial sebelum ada datangnya investor. Sehingga ketika investasi sudah di depan mata, pemerintah tidak mengulang kesalahan yang sama, memicu konflik agraria di lokasi yang akan dibangun sebuah PSN.

“Jadi kalau mau (solusi) yang baik, semua studi teknis dilakukan baik studi manusianya antropologi sosialnya harus ada. Saya sudah bilang berkali-kali pada menteri-menteri yang terkait dengan infrastruktur kok, sudah saya ingatkan, karena kejadiannya persis sama,” tutur dia. 

Sejatinya tidak ada warga yang menolak investasi jika memang negara membutuhkan investasi tersebut. Hanya saja mereka menolak dipindahkan secara paksa dari kampung-kampung tua yang sudah mereka huni secara turun temurun, tanpa adanya kesempatan duduk bersama untuk bernegosiasi.

Sumber: inilah
Foto: Ilustrasi buruknya cara komunikasi pemerintah dan aparat dalam menangani Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Rempang dan wilayah lainnya. (Foto: Inilah.com/Febri)
×
Berita Terbaru Update
close