Oleh: Mayjen TNI (Purn) Prijanto Soemantri*
"Donald Super dalam Teori Perkembangan Karier berpendapat bahwa individu di usia 35-44 tahun berada di tahap establishment, dimana individu di rentang usia tersebut masih melakukan uji coba terkait pilihan kariernya, dengan tujuan menemukan yang paling sesuai dengan konsep dirinya.”
(Wikan Putri Larasati, M.Psi., Psikolog).
OPINI-Pasca UUD 1945 diamandemen, hasilnya suka disebut UUD 2002, praktis setiap menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden selalu terjadi perbedaan dan pembelahan tajam di masyarakat. Segala cara, halal dan haram untuk berebut kekuasaan.
Sebagai negara hukum, logikanya hukum determinan politik, namun berubah politik determinan hukum, dengan dalih hukum produk politik, sehingga aturan dengan segala cara dan alasan, logis tidak logis, dicoba untuk diubahnya.
Menjelang Pemilu 2024, judicial review (JR) atas Pasal 222 UU 7/2017, tentang Presidential Threshold (PT) dari tinjauan keadilan dan hak, dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pasal tersebut merupakan open legal policy, yang membuat Yusril Ketum PBB, mengatakan: “Mahkamah Konstitusi bukan lagi ‘the guardian of constitution' dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi ‘the guardian of oligarchy.’ Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa Indonesia.”
Judicial review Presiden Threshold dengan dalih keadilan dan hak, mengingat tujuan hukum salah satunya adalah keadilan, yang sudah ada sejak ratusan tahun sebelum Masehi.
Teori keadilan Socrates, Aristoteles, Thomas Aquinas, John Rawls, dan lain-lain sering digunakan sebagai pisau analisis menulis skripsi, tesis, dan disertasi, namun dalam praktek pembentukan undang-undang, keadilan sering ditinggalkan.
Kini, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Garuda mengajukan judicial review batas usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun, dengan alasan warga negara usia antara 35-39 tahun kehilangan haknya.
Alasan lain, karena perubahan setting politik, walau tidak jelas apa maksudnya. Apa karena ada calon yang akan diusung usianya belum 40 tahun? Itulah tafsir netizen. Selain itu, bonus demografi 2020-2030, sehingga penduduk usia produktif puluhan juta jumlahnya.
Pertanyaan kritisnya, apakah di usia produktif tersebut, pengabdiannya harus menduduki jabatan Presiden atau Wakil Presiden? Pemohon mengatakan mencontoh negara lain, tanpa mempertimbangkan faktor sosial budaya, yang tentu berbeda.
Artinya, pemohon hanya berpikir tentang hak kelompok usia tersebut. Padahal, hak dan kebebasan individu bisa dibatasi dengan undang-undang, Pasal 28 J UUD 2002.
Batas minimal 40 tahun oleh pembentuk undang-undang masa lalu tentu sudah melewati kajian dari berbagai macam aspek. Lucunya, beberapa anggota DPR dan pemerintah ada yang memberi sinyal setuju.
Sinyal tersebut disikapi MK; jika pembentuk undang-undang setuju, ubah saja tidak perlu lewat MK. Patut diduga, judicial review tersebut akan kandas seperti permohonan JR Pasal 222 UU 7/2017, bahwa Pasal 169 huruf q UU 7/2017 (batas usia Capres-Cawapres) hak pembentuk undang-undang (open legal policy).
Andaikan putusan sama sebagai open legal policy, namun nilainya beda. Putusan atas Pasal 222 dinilai tidak memenuhi rasa keadilan. Sedang terhadap Pasal 169 huruf q, dinilai tepat karena syarat usia untuk Capres dan Cawapres memiliki keterkaitan dengan banyak faktor, yang mesti menjadi ukuran dan kalkulasi, misal dari sisi psikologi.
Para calon harus memiliki rekam jejak, karakter dan profesionalisme yang jelas; memiliki dan memenuhi kompetensi leadership dan manajerial yang dipersyaratkan.
Sewaktu Wagub DKI, untuk menentukan siapa yang pantas duduk di jabatan ASN saja memerlukan saringan ketat, tidak hanya kesehatan, ilmu pengetahuan namun juga uji kompetensi melalui tes psikologi. Psikotes dalam dunia tentara dan lain-lain jabatan yang harus memiliki kompetensi tertentu pun dilakukan.
Dra. Mia Syabarniati Dewi, psikolog, konsultan assesment pejabat di Pemprov DKI, menyampaikan kualitas kepemimpinan pejabat publik dan pejabat negara pasca reformasi. Dari pengamatannya, Mia memiliki sinyalemen (penulis pernah sampaikan di tahun 2020):
a. Pembangunan karakter kader pemimpin nyaris tidak tampak. Calon pemimpin yang diusung dalam pemilihan nyaris jenjang pengalamannya tidak jelas. Namun, tiba-tiba bisa muncul sebagai kandidat.
b. Akibat tersebut di atas, figur pemimpin pada semua tingkat, walau tidak semua, kualitasnya memprihatinkan akibat ikut campur pemilik modal, dalam rekrutmen.
Secara empiris atau pengamatan, fenomena tersebut memang tampak, seperti adanya KKN, hukum tidak adil, antar elite beda keterangan terkait dengan kejujuran, sikap masyarakat terhadap pejabat, yang menunjukan adanya: (1) Krisis etika para elite, walau tidak semua (2) Krisis hukum (3) Krisis ketidakpercayaan antar elite (4) Krisis ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. (A.Qodri Azizy, Change Management Dalam Reformasi Birokrasi).
Menurut penulis, persoalan di atas akibat sistem UUD 2002, yang bernapaskan Demokrasi Liberal, adanya Pilpres secara langsung diikuti pula Pilkada langsung yang individualistis. Siapa kuat, berduit, menguasai kekuasaan, dialah pengendali dan pemenang.
Patut dinilai, sistem inilah yang membuat pemodal atau kapitalis bisa mendikte sesuai keinginannya, siapa calon yang harus maju. Pemodal lebih suka memilih individu yang tidak berkualitas sehingga mudah dimanfaatkan sebagai bonekanya. Akibatnya, menjamurlah dinasti politik pasca amandemen UUD 1945.
Ibaratnya, bapak, istri, anak, menantu, besan, dan kerabat lainnya maju menjadi kandidat. Dinasti politik inilah yang membuat politik determinan hukum, dan patut diduga termasuk keinginan mengubah batas minimal usia Capres dan Cawapres, sebagai kepentingan dinasti politik, yang sifatnya sesaat, dan tidak tidak komprehensif.
Menjamurnya dinasti politik ditengarai oleh kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Yoes C. Wenas, yang menyatakan fenomena dinasti politik meningkat tajam di Pilkada 2020 dibanding 2015. Pada 2015 ada 52 peserta Pilkada dan di Pilkada 2020 ada 158 calon. (CNN Indonesia, 17/12/2020).
Mia, sebagai psikolog menyatakan, benar usia 35-40 tahun usia produktif, namun harus dikaji dengan kompetensi yang diartikan sebagaimana pendapat L.M Spencer, Jr & S.M. Spencer: (1) sebagai karakteristik dasar seseorang yang memiliki kasual dengan kriteria referensi efektivitas dan/atau keunggulan dalam pekerjaan atau situasi tertentu, (2) karakter dasar yang mengindikasikan cara berpikir dan berperilaku dalam cakupan situasi yang sangat luas dan bertahan lama; maka akan ada 5 (lima) jenis kompetensi: (1) pengetahuan, (2) keterampilan, (3) konsep diri dan nilai-nilai, (4) karakteristik pribadi, dan (5) motif dan karakteristik yang menjadi dasar inisiator yang memprediksi apa-apa yang dilakukan. (R. Palan Ph.D, Competency Management dan Prof. Dr. Moeheriono, M.Si, Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi).
Dengan demikian, tidak sesederhana yang dipikirkan oleh kebanyakan orang, bahwa melihat rentang usia dari perspektif hak dengan serta-merta bisa menjadi pemimpin. Ada kemampuan dasar yang harus diperhitungkan, yaitu:
a. Thinking ability atau potensi berpikir, keleluasaan dan kedalaman pengetahuan taktis dan praktis,
b. Managing task, mencakup motivasi dan perencanaan kerja, pemberdayaan sumber daya dan orientasi pelayanan,
c. Managing people kemampuan membangun relasi kepemimpinan, dan
d. Managing one self atau aspek kepribadian: misi hidup, nilai-nilai kehidupan dan gaya hidup.
Bahwa keempat kemampuan tersebut merupakan dasar untuk menilai kompetensi kinerja. Sedang hal yang paling mendasar dan inti, yaitu yang berkaitan dengan output dan outcome kinerja adalah “motivasi”.
Dari uraian di atas, penulis mengajak untuk berpikir; bahwa usia 35-39 tahun memang benar merupakan usia produktif, tetapi apa motivasi kerjanya? Untuk apa dia bekerja? Apakah pada usia tersebut telah tumbuh motivasi untuk mengabdikan hidupnya demi bangsa dan negara ataukah masih berpikir untuk dirinya sendiri?
Pada usia yang masih establishment, belum mapan, penulis punya hipotesis, motivasi kerja cenderung memilih untuk meraih mimpinya sebagai orang kaya raya, punya rumah dengan kolam renang baik di Jakarta maupun luar negeri Amerika, Belanda, Australia dan Singapura. Punya keluarga bahagia dan dihormati, tanpa kekurangan sesuatu apapun.
Bagaimana tidak, usia di atas 50 tahun saja, ketika akan selesai jabatannya masih owel untuk lengser. Apalagi, usia 35 tahun, bisa menjadi Presiden/Wapres, dua periode, selesai pada usia 45 tahun, sulit dibayangkan, apa yang akan terjadi terkait perilakunya?
Hipotesa penulis, jabatan dengan kekuasaan itu bagaikan “candu atau narkoba”, yang membuat orang ketagihan dan lupa daratan, seperti iklan Ligna: "kalau sudah duduk lupa berdiri."
Secara psikologis, keinginan individu menambah lagi periode jabatan dengan segala alasan dan cara, bisa saja terjadi. Oleh karena itu, di TNI, dalam 11 Asas Kepemimpinan Militer, nomor 11, disebut asas “Legowo”, yang selalu diajarkan dan diingatkan untuk dipedomani dalam kehidupannya.
Penulis ingin cocokan atas pendapat ini, dan teori "kepemimpinan melalui motivasi" dari Mia kepada Wikan Priadi Soemantri, seorang psikolog, pada Minggu, 6/8/2023.
Wikan Putri Larasati, M.Psi, sering dipanggil Wikan, penanggung jawab di CASTRA Konsultan Psikologi & SDM, sependapat pemikiran di atas, dan tidak menampik teori "kepemimpinan melalui motivasi" dari Mia.
Wikan Priadi, menambahkan dengan teori perkembangan karier dalam buku Brown, D, and Brooks, L (Eds), Career Choice and Development: Applying Contemporary Theories to Practice.
Dalam buku tersebut, menjelaskan Teori Perkembangan Karier dari Donald Super di tahun 1980-an, bahwa individu di usia 35-44 tahun berada di tahap establishment, dimana individu di rentang usia tersebut masih melakukan uji coba terkait pilihan kariernya, dengan tujuan menemukan yang paling sesuai dengan konsep dirinya.
Di tahap ini biasanya individu baru mulai mengembangkan kestabilan karier lewat pengalaman-pengalaman kerjanya. Sedang di usia 45-64 tahun, individu sudah lebih ajeg di dalam kariernya, dan motivasinya cenderung mempertahankan dan melakukan inovasi dalam menjalankan tugas-tugasnya, kata Wikan.
Penjelasan para psikolog tersebut meyakinkan penulis dan berpendapat, persoalan kompetensi kepemimpinan dan lain-lain di atas itulah yang seharusnya dipikirkan, bagaimana caranya untuk mendapatkan pemimpin, apakah Presiden atau Wapres dan pemimpin lainnya, yang berkualitas unggul; bukan di persoalan hak dan usia dalam perspektif politik.
Sebagai ilustrasi, selama mekanisme tes (formalitas) setelah terdaftar sebagai kandidat di KPU, di mana menuju ke tempat tes sudah dikawal bak raja, maka tidak menutup kemungkinan atau patut diduga hasil test akan baik-baik saja, bukan?
Bisakah dilakukan seperti dalam kehidupan militer? Maksudnya, individu belum bisa disebut sebagai Capratar (Calon Prajurit Taruna) atau siswa Sesko Angkatan, jika belum ikut serangkain tes, dan hasilnya disampaikan secara transparan untuk dinyatakan lulus/tidak lulus.
Inilah alternatif cara untuk mendapatkan pemimpin yang mumpuni dan handal. Semoga, persoalan memilih pemimpin tidak hanya dalam perspektif politik saja, namun hendaknya ada cawe-cawe yang serius dari para ahli psikologi atau psikolog, dan semua itu tidak perlu merasa risih, sehingga bangsa Indonesia memperoleh Presiden dan Wakil Presiden yang mumpuni dan andal. Insyaallah, amin. I rmol
____________
* Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012; Inisiator Gerakan Kebangkitan Indonesia