Patung Sukarno dan Politik Simbolik -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Patung Sukarno dan Politik Simbolik

Jumat, 29 September 2023 | September 29, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-09-29T15:29:25Z

Gubernur Jawa Barat (sebelum berakhir masa jabatannya pada 5 September) Ridwan Kamil (RK) membangun patung Sukarno di Bandung. Dengan tinggi 22,3 meter, patung dibuat seniman Yogya Gunadi dengan biaya Rp 15 miliar dari inisiatif warga yang dikoordinir Yayasan Putra Nasional Indonesia dan tidak menggunakan APBD itu disebut sebagai patung Sukarno tertinggi di Indonesia.

Membangun patung dan tugu peringatan memang sudah menjadi hal biasa di negeri ini. Patung dimaknai sebagai penghargaan kolektif untuk mengenang individu sebagai pahlawan, peristiwa penting, dan aktivitas unik masyarakat. Terlebih Indonesia merupakan negara yang memiliki pahlawan paling banyak di dunia. Lebih dari 175 tokoh-tokoh historis diberi porsi khusus dan menonjol dalam memori kolektif masyarakat.

Mereka tidak hanya menjadi subjek dalam pelajaran sejarah di kurikulum pendidikan, tapi juga hadir di sekitar kita. Di setiap kota hingga desa, jalanan (protokol, gang maupun jalan tembus) diberi nama seorang pahlawan. Banyak patung, monumen maupun memorabilia peringatan menjadi lanskap penanda identitas kota. Para pahlawan mendandani bentang lingkungan hidup Indonesia.

Pun Sukarno, ia diabadikan sebagai bagian penting dari historisitas bangsa ini. Bersama Bung Hatta, keduanya adalah proklamator yang tidak bisa dipisahkan sebagai pasangan founding fathers negara ini.

Maka, patung Bung Karno (BK) ada di mana-mana. Huda (2023) mencatat sejak 1980 sudah ada 33 patung BK di seluruh Indonesia. Di Kantor Kementerian Pertahanan, di Lemhannas, di Akademi Militer Magelang, di Stadion Gelora, di Gerbang Bandara Cengkareng, di Semarang, Blitar, Solo, Palu, Bandar Lampung, Ende, dan banyak tempat lainnya. Peresmian patungnya saban tahun terjadi dan kini lebih banyak lagi.

Melegitimasi Kekuasaan

Keberadaan patung juga bisa menjelaskan bagaimana sistem simbolik dilakukan untuk melegitimasi otoritas kekuasaan. Terlebih mendekati momen politik lima tahunan kali ini, anggapan publik langsung mengesankan bahwa tidak ada yang kebetulan dalam politik. Ada relasi kuasa simbolik politik yang dilakukan dalam pembangunan patung Sukarno.

Sebagian membacanya sebagai langkah politik taktis yang dilakukan RK mendekati Pemilu 2024. Seperti peletakan batu pertama pembangunan patung telah dilakukan pada 28 Juli lalu, dan dihadiri oleh Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Rencananya, peresmiannya nanti akan dihadiri dan dilakukan oleh Megawati Soekarnoputri.

Jika memang benar demikian, hal yang mengkhawatirkan adalah ketika tugu peringatan semakin banyak dibangun dengan tujuan ekspansi politik. Pembuat kebijakan membangun monumen dan mendirikan patung di ruang publik sebagai bagian dari upaya meneguhkan kekuasaan personal maupun kelompok dengan mengatasnamakan kepentingan publik (Huda, 2023).

Sistem kekuasaan bersembunyi di balik karya-karya patung di ruang publik dengan bermacam dalih seperti pewarisan nasionalisme, penghormatan kepada pahlawan, maupun peneguhan ideologisasi. RK menyebut pembangunan patung ini menjadi wujud kecintaannya kepada BK.

Sebelumnya ia menamai jalan di sebelah Gedung Merdeka. tempat pelaksanaan Konferensi Asia Afrika sebagai Jalan Sukarno. Ia juga membangun patung Bung Karno Museum Penjara Banceuy, dan memugar makam Marhaen di Batununggal. Ia pernah mengajak siswa SMA/SMK memasak mengikuti resep masakan Nusantara buku Mustikarasa susunan Bung Karno. RK juga mendirikan Klinik Inggit Garnasih yang digratiskan khusus untuk kaum lansia.

Seturut Schreiner (2005), potret-potret yang "diciptakan" ini menunjukkan sekumpulan wajah serupa yang kokoh sebagai sekumpulan lambang yang didepersonalisasi dan distereotipkan untuk menjadi emblem-emblem negara (baca: kekuasaan).

Dikeramatkan

Seturut Windarto (2020), BK tidak hanya pahlawan bangsa yang layak dihormati, tapi juga tokoh zaman yang "diperlakukan" seperti barang antik. Ia "dikeramatkan" dengan beragam ritual penghormatan. Berbagai petuah dan aporismanya diagungkan, tapi hanya menjadi jargon belaka, tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan bersama.

Fosilisasi BK itu hingga kini menjadi formulasi yang digemari para politisi. Mereka menjadikan BK sebagai medan magnet yang menarik pihak mana pun, yang merasa telah kehilangan sosok sekarismatik BK. Dengan cara itulah, segala kenangan akan BK dikontekstualisasi dalam hal apapun dan dibingkai sebagai semacam "jimat".

Menurut Windarto, metode ini cukup efektif dan berguna untuk meraih dukungan ketika politik menggalang suara sedang dikontestasikan. Panggungnya terkerangkakan di berbagai pesta demokrasi, baik lokal maupun nasional, selama lima tahun sekali. Di situlah fosilisasi yang membaku-bekukan mitologi terhadap BK dipertontonkan secara telanjang dan membujuk-rayu siapapun untuk selalu berefleksi pada jasa Bung Besar.

Maka sudah seharusnya kita awas dan waspada atas moda komunikasi kekuasaan gaya (orde) baru ini. BK sebagai pendiri bangsa jelas telah meletakkan fondasi tuntunan bagi tujuan dan harapan menuju kehidupan bersama bagi bangsa multikultural ini. Beliau mengajarkan nilai persatuan dan kesatuan yang merupakan dasar dan intisari makna Pancasila, yang diwujudkan dalam semangat kegotongroyongan. Inilah legasi nilai-nilai humanisme sosio-komunal BK, semangat yang masih penting dan relevan untuk selalu diperjuangkan dan dikontekstualisasi dalam berbagai aspek kehidupan bersama.

Dengannya, diharapkan pembuat kebijakan mampu membangun bangsa dengan sistem pemerintahan bersih dan bertanggung jawab, berinfrastruktur memadai, dan kehidupan masyarakat yang sejahtera untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Para intelektual publik perlu meningkatkan kesadaran pemahaman akan esensi nilai dari BK dalam sebuah kebijakan publik yang kontekstual, tepat sasaran, dan bisa dipertanggungjawabkan. Agar negeri ini tidak dikuasai para penyamun yang lihai menyamar sebagai penyambung lidah dan suara rakyat, yang kerap muncul di sekitar kita saat ini.

Purnawan Andra bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek, penerima Cultural Management Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan

Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
×
Berita Terbaru Update
close