TERLALU tenggelam dan larut dalam puji-pujian sekelompok orang yang sama sekali asing mengenali dunia spiritual, bahkan terlalu asing mengenai alam dunia ghaib, selain hanya menerima cerita fiktif yang masuk dalam angan-angan di otaknya.
Sang presiden terbuai dengan cerita Jawa bahwa Sukarno dan Suharto memiliki kekuatan linuwih karena laku spiritual yang telah dijalaninya.
Sukarno konon anti tembak dan tongkat pusakanya selalu melindungi dirinya dari bahaya. Suharto anti tenung, santet, dan serangan ghaib hitam lainnya.
Kedua tokoh tersebut dalam cerita Jawa menilik cerita mistis tersendiri, sehingga mampu menjalani kekuasaan yang cukup lama dan semua rintangan dilewati dengan aman.
Di samping kedua tokoh tersebut riil memiliki karisma , wibawa, kecerdasan, kecakapan, kelebihan dan kemampuan memadai sebagai seorang pemimpin.
Berbeda dengan generasi presiden sesudahnya, terseok seok ketika harus tampil sebagai presiden dalam mengendalikan dan mengelola negara terkesan asal asalan.
Muncullah seorang presiden lebih norak dan fatal, dengan kecakapan, kecerdasan dan kemampuan yang minim bernasib malang perannya sebagai pemimpin harus menerima stigma masyarakat hanya sebagai pemimpin boneka.
Ketika negara menjadi berantakan, carut marut bahkan amburadul. Sang presiden tidak mengenali diri akan kekurangan dan kelemahannya.
Sering tampil seolah olah sebagai pemimpin besar dan sakti yang memiliki kekuatan spiritual yang hebat dengan penampilan yang aneh aneh
Dipakainya kuluk Sultan Amangkurat 1 lengkap dengan pakaian Raja Jawa dengan kebesarannya. Lagi lagi presiden tidak paham sejarah buruk Sultan Amangkurat 1 yang bernasib malang sebagai boneka Belanda harus melarikan diri dari kerajaan karena diserbu masyarakat karena kebengisan dan kekejamannya kepada rakyatnya.
Setelah Sultan Agung wafat, Raden Mas Sayyidin naik takhta dengan gelar Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama atau biasa disebut Amangkurat I.
Amangkurat I berusaha meneruskan kejayaan Kesultanan Mataram yang diraih pada masa kekuasaan ayahnya.
Akan tetapi, sifatnya sangat bertolak belakang dengan Sultan Agung, bahkan disebut sebagai raja yang bengis, dan sebagai raja boneka Belanda.
Akhirnya harus meninggal dalam pelariannya dan berakhir dalam catatan sejarah hitam kerajaan Jawa sebagai raja yang buruk dan kejam.
Mungkinkah dalam sejarah kepemimpinan di tanah air presiden kita akan mengalami nasib yang sama harus berakhir dengan sejarah hitam kelam, karena stigma masyarakat sebagai pemimpin boneka tidak akan hilang dan bisa dihapus kecuali dari diri presiden sendiri yang harus mengubahnya.
Tampaknya akan sulit dirubah atau merubahnya karena Presiden sendiri terkesan sudah tidak mengenali dirinya.
Larut dalam simbol simbol kebesaran yang didefinisikan sendiri dan tenggelam dalam puja puji dari para pembantunya, termasuk para menterinya yang gombal, yang hanya akan mencelakakan presiden sendiri. ***
Oleh: Sutoyo Abadi
Koordinator Kajian Merah Putih
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.