Peradaban politik Indonesia sedang sakit parah menuju sakaratul maut. Betapa tidak, ada seorang Presiden mengaku mendapatkan informasi intelijen dari BIN dan Baintelkam Polri mengenai daleman Partai Politik, yang artinya Presiden telah menyalahgunakan institusi negara untuk kepentingan politik dirinya sendiri, sekaligus melakukan pengancaman politik kepada seluruh parpol agar tidak macam-macam karena kartunya dipegang oleh Presiden, yang setiap saat bisa mengkriminalisasi para pengurus parpol tersebut.
Hal ini juga artinya Presiden telah melakukan premanisme politik, yaitu dengan mengancam secara terbuka parpol-parpol yang ada.
Dan lucunya Parpol-Parpol tersebut justru terkena stockholm syndrome, yaitu merasa diselamatkan oleh Presiden dengan tidak dikriminalisasinya mereka melalui data-data yang dipegang oleh Presiden tersebut.
Padahal seharusnya mereka menggunakan Hak interpelasinya untuk memakzulkan Presiden, karena telah menyalahgunakan wewenangnya dan mengancam secara terbuka kepada seluruh partai politik. Benar-benar sudah sakit parah politik Indonesia saat ini.
Kita ketahui secara terbuka, Jokowi mengaku mengetahui segala rencana parpol dalam menghadapi Pemilu 2024. Ia mengungkap selalu menerima informasi dari intelijen yang berada di BIN, Polri hingga TNI.
“Saya tahu dalamnya partai seperti apa, saya tahu. Partai-partai seperti apa saya tahu, ingin mereka menuju ke mana saya juga ngerti,” kata Jokowi saat membuka Rakernas organ relawan Seknas Jokowi di Bogor, Jabar, Sabtu (16/9).
Bila kita bandingkan dengan skandal watergate, maka jelas-jelas, peradaban politik Indonesia ini sudah benar-benar sakit parah, tidak memiliki etika, penuh dengan skandal namun para pelakunya merasa normal-normal saja.
Perlu kita sampaikan apa itu skandal watergate, agar dapat menilai dimana sakit parahnya peradaban politik saat ini.
Dari laman wikipedia, Skandal Watergate (1972-1974) (atau disebut langsung “Watergate”) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan serangkaian skandal politik di Amerika Serikat yang mengakibatkan pengunduran diri Presiden Richard Nixon dan mengakibatkan krisis konstitusi yang menghebohkan pada tahun 1970-an.
Peristiwa ini dinamakan menurut nama sebuah hotel di Washington, D.C. tempat di mana skandal tersebut terjadi.
Hotel ini merupakan bagian dari kesatuan properti yang terdiri dari berbagai kantor, hotel, dan apartemen.
Peristiwa tersebut dimulai dengan penangkapan lima laki-laki yang berusaha membobol masuk ke kompleks perkantoran Komite Nasional Demokrat untuk memasang ALAT PENYADAP.
Artinya memata-matai Parpol lawan Nixon. Mengumpulkan semua informasi terkait partai Demokrat, selaku oposisi untuk digunakan guna kepentingan politik yang menguntungkan Presiden Nixon.
Insiden yang terjadi pada masa kampanye tersebut, setelah diselidiki dan ternyata dilakukan oleh kelompok pendukung Nixon, Komite untuk Pemilihan Kembali Presiden.
Pada bulan Januari 1973 dua pencuri dan dua orang lain divonis bersalah, tetapi John Sirica sebagai hakim pemimpin sidang, menduga adanya konspirasi politik di balik kegiatan tersebut.
Senat Amerika Serikat kemudian meluncurkan komite untuk melakukan penyidikan lebih lanjut dan akhirnya menemukan hasil bahwa hal tersebut merupakan konspirasi praktik Partai Republik untuk merugikan Partai Demokrat.
Presiden Nixon kemudian meluncurkan catatan pembicaraan yang direkam berkaitan dengan masalah watergate pada April 1974.
Mahkamah Agung kemudian memerintahkan Presiden Nixon untuk menyerahkan semua rekaman tersebut.
Setelah itu, komite yang dibentuk oleh kongres mengeluarkan pemakzulan (impeachment) atau tuntutan untuk berhenti terhadap Presiden.
Dalam peristiwa Watergate ini juga terbongkar fakta mengenai korupsi Partai Republik dalam pengumpulan dana pemilihan, daftar rahasia di Gedung Putih dari lawan-lawan politiknya melalui penyadapan telepon, fitnah yang disebarkan terhadap calon-calon Presiden dari Partai Demokrat, dan fakta-fakta lainnya.
Kalau kita bandingkan apa yang dilakukan Nixon dengan Jokowi adalah sama-sama bentuk dari kejahatan politik.
Bahkan Jokowi lebih parah lagi, yaitu dengan menyalahgunakan Institusi negara yaitu BIN dan Baintelkam Polri untuk memata-matai seluruh aktivitas partai politik, baik partai politik oposisi maupun partai politik koalisi Jokowi sendiri.
Tentu saja, informasi hasil kegiatan mata-mata oleh kedua institusi Intelijen negara tersebut, menjadi sumber daya penting bagi Jokowi untuk digunakan dalam berpolitik untuk melemahkan semua Parpol dan memperkuat posisinya sebagai pemegang informasi.
Apalagi salah satu lembaga intelijen tersebut adalah lembaga intelijen milik institusi yang memiliki kewenangan hukum mentersangkakan setiap orang.
Sungguh celaka, Pejabat Menkopolhukam bahkan dengan bangga mempertegas penyalahgunaan jabatan dan wewenang ini sebagai sebuah kelaziman, bukan sebagai sebuah kezaliman.
Kalau di Amerika Serikat, parlemennya bereaksi dengan membentuk komite penyelidikan, semacam hak angket dan ditindaklanjuti dengan hak Interpelasi, yang berujung pada impeachment Presiden Nixon, walau Nixon menghindari proses Impeachment dengan mengundurkan diri.
Di Indonesia, parpol dan parlemen serta lembaga seperti MK yang bertugas menjaga tegaknya konstitusi malah bungkam seribu bahasa. Sakit, sungguh sudah sakit parah perpolitikan di NKRI ini.
Penyalahgunaan wewenang dan jabatan, korupsi politik berupa penyalahgunaan wewenang dan jabatan, premanisme politik dengan mengancam secara terbuka terhadap semua lawan politik dan kawan koalisi politik, malah dibangga-banggakan sebagai sebuah kehebatan politik. Tunggulah kehancuran yang akan menimpa bangsa ini.
Jakarta, 17 September 2023
Oleh: Tim Kajian API
Advokat Persaudaraan Islam
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.