Konflik antara Israel dan Palestina semakin menunjukkan eskalasi, kali ini
membawa medan perang ke ranah digital. Laporan terbaru dari platform
keamanan siber, FalconFeedsio menunjukkan keikutsertaan 100 kelompok aktif
dalam perang siber ini, dengan 77 kelompok mendukung Palestina, 20 kelompok
berpihak pada Israel, dan tiga lainnya memilih untuk netral. Menariknya,
terdapat kelompok peretas asal Indonesia yang ikut berpartisipasi, yaitu
Anonymous Indonesia, Islamic Cyber Team Indonesia dan Hacktivism Indonesia
serta beberapa nama dari daerah seperti Aceh dan Jatim.
Perang siber ini tak hanya melibatkan Israel dan Palestina, tetapi juga
hacker dari negara lain seperti Bangladesh, Pakistan, Maroko, dan Rusia.
Menurut peneliti keamanan siber Equinix Threat Analysis Center, Will
Thomas, serangan-serangan ini telah melumpuhkan lebih dari 60
situs web Israel dan menimbulkan peretasan di lima situs lainnya.
Tracking the Cyber Frontlines: Israel vs. Palestine 🌍🔍
— FalconFeedsio (@FalconFeedsio) October 10, 2023
We have identified 100 active groups participating in the ongoing cyber warfare between Israel and Palestine. Of these, 20 groups align with pro-Israel sentiments, 77 support the Palestinian side, and 3 remain neutral.… pic.twitter.com/dCTWyX8Zbo
Hacker Indonesia Beraksi
Kelompok peretas Indonesia, Anonymous Indonesia dan Hacktivism Indonesia,
turut serta dalam aksi ini. Meskipun belum ada keterangan resmi mengenai
serangan yang dilakukan oleh kelompok ini, keterlibatan mereka menunjukkan
kepedulian global, termasuk dari Indonesia, terhadap konflik
Israel-Palestina.
Serangan ini dianggap sebagai sebuah bentuk "hacktivism", yaitu aktivisme
digital yang dilakukan dengan tujuan politik. "Ini adalah bentuk baru dari
perlawanan digital dengan berbagai aktor internasional terlibat," kata
Thomas.
Kelompok peretas asal Rusia, Killnet, bahkan telah secara terbuka menyatakan
dukungan mereka untuk Hamas, menargetkan sistem pemerintahan Israel sebagai
bentuk protes atas "pertumpahan darah yang terjadi."
Selain kelompok aktivis dan politik, adanya operator layanan kejahatan siber
yang ikut serta menambah kompleksitas dari dinamika perang siber ini. Mereka
menawarkan layanan untuk serangan DDoS atau sebagai broker akses awal yang
menargetkan baik Israel maupun Palestina.
Direktur Keamanan Siber dari Badan Keamanan Nasional AS (NSA), Rob Joyce,
membenarkan adanya serangan ini tetapi menegaskan belum ada indikasi adanya
negara yang ikut terlibat. Komite Internasional Palang Merah (ICRC) juga
baru-baru ini mengeluarkan aturan yang mengatur peran "hacktivist",
menekankan agar tidak menargetkan sasaran sipil.
The Jerusalem Post, salah satu media Israel, telah mengonfirmasi mengalami
gangguan akibat serangan ini. Ini menandakan bahwa perang informasi ini juga
telah menyebar ke sektor media, memperlihatkan betapa seriusnya ancaman ini
terhadap infrastruktur informasi.
Dengan masuknya berbagai aktor dari dunia siber, perang antara Israel dan
Palestina semakin kompleks namun juga menunjukkan adanya dukungan yang
semakin kuat dan luas terhadap Palestina. Ini mempertegas pentingnya
keamanan dan perlindungan siber dalam konteks stabilitas dan keamanan global
dan nasional.
Foto: Ilustrasi. Perang Siber Israel-Palestina (Foto: FalconFeedsio)