Bukan Dia yang Berubah, Kacamatamu yang Berganti Warna -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Bukan Dia yang Berubah, Kacamatamu yang Berganti Warna

Rabu, 04 Oktober 2023 | Oktober 04, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-10-04T05:04:36Z

GENERASI baby boomer (lahir 1946-1964) sampai Gen-X (lahir 1965-1980) Indonesia yang suka nonton komedi, pasti lawakan Srimulat adalah pilihan utamanya. Saya tidak akan menulis tentang sejarah grup lawak yang berdiri sejak 1950 ini. Yang menarik untuk dibahas di sini adalah salah satu adegan lawakan yang sekalipun diulang berkali-kali, tapi tetap membuat penonton terpingkal-pingkal.

Adegan itu sebagai berikut:

Di sebuah ruang tamu, seorang juragan laki-laki sedang membela diri di depan istrinya, bahwa dia tidak menggoda pembantu perempuannya. Sementara pembantu laki-lakinya melakukan akting sedemikian rupa yang membuat suasana lucu terbangun.

Anak laki-laki si juragan kemudian masuk dengan gaya sok "modern" sambil pakai kacamata hitam. Kemudian, si anak sok itu bertanya dengan nada heran, "Kok ruangannya gelap?" Spontan, ayah, ibu (biasanya digambarkan sebagai orang tua tradisional, kurang terdidik, tapi kaya), dan pembantu (biasanya digambarkan sebagai orang desa, miskin, tidak terdidik dan tidak berakhlak) menjelaskan ke anak sok dengan gaya kemplinthi itu, bahwa bukan ruangannya yang gelap, tapi karena kacamata hitam yang dipakainya.

Jika saya gagal menarasikannya secara lucu, percayalah ketika adegan itu dimainkan oleh orang-orang semacam Asmuni, Jujuk, Tesi, Nunung, Gogon, Kadir, dan lainnya, penonton generasi "pra-stand up commedy" pasti akan terpingkal-pingkal sambil gemas dengan si anak yang sok modern tapi bloon itu.

Jika cerita Srimulat di atas masih kurang, saya tambahi dengan cerita lucu yang lain. Alkisah, ada seorang petani yang kebingungan karena sapinya tidak mau makan rumput yang disediakan. Bukan tanpa alasan mengapa si sapi boikot makan, karena rumput yang disiapkan tuannya adalah rumput yang warnya telah menguning-kering.

Mengetahui hal itu, si petani tidak menggantinya dengan rumput segar berwarna hijau. Karena, mau mencari ke mana, toh musim sedang kemarau panjang dan semua rumput yang ada telah meranggas kuning. Tak kurang akal, si petani kemudian memasang kacamata hijau pada sapi. Alhasil, si sapi melihat semua rumput yang disediakan tuannya berubah menjadi hijau dan segar. Sapi pun makan dengan lahap.

Dua kisah di atas tentu saja hanya cerita gurau. Tapi dua lelucon itu bisa menjelaskan cara orang membuat kesimpulan. Kesimpulan yang ada dalam kepala kita bukan kenyataan itu sendiri. Bahkan, kesimpulan bisa betul-betul berbeda dari kenyataan.

Dalam teori ladder of inference (tangga penyimpulan), manusia sejak awal telah melakukan seleksi data atas sebuah realitas yang kompleks. Data-data yang sudah diseleksi ini kemudian diberi makna. Dari sini, dia membangun asumsi-asumsinya. Berdasarkan asumsi inilah manusia membuat kesimpulan.

Tangga ini terus naik. Setelah kesimpulan diambil, ia menjadi keyakinan yang dipegang sebagai kebenaran. Berikutnya adalah mengambil tindakan tertentu. Tindakan seseorang lahir berdasarkan keyakinannya.

Teori ladder of inference bisa dicontohkan seperti ini. Dalam dunia nyata, orang berasal dari etnis manapun memiliki sifat dan perilaku baik maupun buruk. Tiba-tiba ketika kita bertemu dengan seseorang dari etnis tertentu kita mulai memilah-milah kompleksitas sifat dan perilakunya. Data-data yang sudah kita seleksi ini kemudian kita beri makna. Misalnya, bahwa orang dengan etnis liyan adalah pelit dan semuanya diukur serba uang.

Dari sini, kita membuat asumsi tentang orang yang sedang kita hadapi dan menyimpulkan bahwa apapun yang dilakukan orang ini pasti motifnya uang. Kita meyakini bahwa tidak ada nilai-nilai kemanusiaan pada orang ini selain kalkulasi ekonomis untung rugi. Keyakinan ini menentukan bagaimana cara kita mengambil tindakan.

Pertanyaannya adalah bagaimana bisa begini cara rasio kita bekerja? Jawabannya adalah karena kita memiliki apa yang disebut sebagai bias kognitif. Bias kognitif atau prakondisi kognitif adalah suatu kondisi tertentu di alam bawah sadar yang karena alasan tertentu menyebabkan proses berpikir yang salah sehingga penyimpulannya juga salah.

Bias kognitif ini seperti kaca mata yang digunakan seseorang dapat melihat realitas. Gambaran dunia yang kita tangkap tergantung warna kaca mata kita. Bukan dunianya yang berubah menjadi gelap, tapi kacamata yang kita pakai berwarna hitam.

Salah satu dari bias kognitif itu adalah egocentic hypocrisy (kemunafikan egosentris). Egosentris jenis ini adalah kecenderungan untuk mengabaikan inkonsistensi antara perkataan dengan tindakan, antara standar di ruang publik dengan perilaku di ruang privat.

Egosentris jenis ini mengeram dalam kepentingan seseorang untuk mendapatkan keuntungan atau menghindari hal-hal yang membahayakan dirinya. Orang dengan kepentingan tertentu cenderung melihat dunia dari kaca mata kepentingannya. Bisa jadi tidak disadari. Juga bisa disadari tapi ditekan ke dalam bawah sadar, karena ada jenis egosentrisme lain, yaitu egocentric blindness.

Egocentric blindness adalah kecenderungan untuk mengabaikan atau menolak data-data yang tidak mendukung pendapat kita. Misalnya, kita akan mengabaikan sebanyak apapun data kecerdasan seorang perempuan dan mengambil satu data perempuan bodoh. Ini karena kita telah meyakini bahwa perempuan adalah makhluk emosional, bukan rasional.

Adakah manusia yang bisa lolos dari kutukan bias kognitif ini? Jawabannya: Tidak. Bias kognitif adalah bawaan kodrati manusia. Setiap kita selalu menarik kesimpulan melalui tangga-tangga seperti itu. Oleh karenanya, yang diperlukan adalah melakukan reflexive loop (putaran reflektif).

Reflexive loop adalah melakukan refleksi atas proses berpikir kita tangga demi tangga. Refleksi ini akan meminimalisasi bias kognitif yang tidak kita sadari mengeram dalam diri kita. Melalui proses reflexive loop, kita terus-menerus mempertanyakan asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan kita dengan mengecek kembali pada realitas.

Proses refleksi ini penting. Manusia dibedakan dari binatang salah satunya karena kemampuannya melakukan refleksi. Refleksi itu seperti memecah diri kita menjadi dua. Ibarat orang bercermin, kita meletakkan diri kita sendiri sebagai objek untuk diinterogasi, ditantang apakah pandangan dan tindakannya sudah tepat atau belum.

Jadi, kalau kita melihat ada seorang tokoh yang dulu dipuja-puja dan disanjung-sanjung, dianggap sebagai teladan, kemudian saat ini diolok-olok dan namanya dihancurkan untuk dijadikan musuh bersama, maka jawabannya adalah soal kaca mata. Pun, jika ada seorang tokoh yang dulu diolok-olok dan dianggap sebagai manusia berbahaya sehingga ramai-ramai dimusuhi, kemudian saat ini disembah-sembah, jawabannya juga ada pada kacamata.

Sekali lagi, yang berubah bukan pada si tokohnya. Karena, orangnya ya sama. Sikap dan kelakuanya pun tidak berubah. Bukan dia yang berubah. Yang berganti adalah kacamata yang kita pakai.

Tapi, bagaimanapun juga, kita adalah manusia. Ada perbedaan antara si anak sok dalam adegan Srimulat dengan sapi si petani. Jika yang pertama sanggup untuk melepas kacamatanya, maka yang kedua tidak akan pernah sanggup melepas kacamatanya sekalipun dia diingatkan ribuan kali. Jangan berharap si sapi akan mendapatkan nasihat dari sapi lain, karena sapi lain juga sudah dipasangi kacamata hijau oleh pemiliknya.

Ahmad Zainul Hamdi
(Penulis adalah Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam Kementerian Agama)

Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
×
Berita Terbaru Update
close