WANHEARTNEWS.COM - Terdapat sejumlah kejanggalan putusan MK buka peluang Gibran Rakabuming Raka maju di Pilpres 2024 sebagai cawapres.
Putusan MK tersebut adalah mengabulkan gugatan mahasiswa Solo terkait batas usia capres cawapres. Putusan MK itu sendiri diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari 4 Hakim Konstitusi.
Yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selain dissenting opinion, juga ada 2 Hakim Konstitusi yang menyampaikan alasan berbeda atau concurring opinion.
Yakni Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Hakim Konstitusi Saldi Isra mengaku heran dengan putusan MK hari ini.
Di mana dari 9 Hakim Konstitusi, terdapat 5 Hakim yang sepakat dengan dalil permohonan Pemohon, sementara 4 orang sisanya menolak.
"Baru kali ini saya mengalami peristiwa 'aneh' yang 'luar biasa' dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar," ungkap Hakim Saldi.
Saldi mengatakan, keanehan itu karena adanya perbedaan putusan perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan perkara 90/PUU-XXI/2023.
Dalam ketiga putusan sebelumnya, kata Saldi, para hakim MK menyebut gugatan pemohon merupakan ranah pembentuk undang-undang.
Dia juga mengungkap bahwa Mahkamah Konstitusi berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.
"Apakah mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari," kata Saldi.
Kejanggalan lainnya adalah, bahwa sidang perkara ata gugatan tentang batas usia capres cawapres ini terkesan diulur-ulur dan tidak konsisten.
Saldi membeberkan, ada belasan permohonan gugatan soal batasan usia capres cawapres. Yakni dalam norma Pasal 169 huruf q UU 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Gelombang pertama 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang diputus pada 19 September 2023. Saat itu, Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara tersebut.
Hasilnya, 6 Hakim Konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.
Sementara pada gelombang kedua, yakni perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman ikut memutus.
Tidak hanya itu, adik ipar Presiden Jokowi atau paklek-nya Gibran Rakabuming Raka itu turut mengubah posisi Hakim Konstitusi dalam gelombang pertama dari menolak menjadi mengabulkan.
Kejanggapan putusan MK juga diungkap Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang melihat setidaknya ada 3 kejanggalan.
Kejanggalan pertama, penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda-tunda. Tidak itu saja, penundaan sidang bahkan terjadi hingga 1 sampai 2 bulan lamanya.
Menurut Hakim Arief, penundaan itu adalah sebuah ketidaklaziman selama 10 tahun dirinya menjadi Hakim Konstitusi.
Kejanggalan kedua, terjadi saat para Hakim Konstitusi menggelar rapat untuk membuat putusan perkara. Dimana saat itu Anwar Usman tidak ikut memutus perkara.
"Menurut Wakil Ketua, ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan," ungkap Hakim Arief.
Akan tetapi pada 2 perkara selanjutnya, tiba-tiba Anwar Usman ikut membahas dan memutus 2 perkara tersebut. Padahal isu konstitusionalnya sama dengan perkara gelombang pertama.
"Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar," ucap Hakim Arief.
Kejanggalan ketiga, adalah bahwa perkara 90/PUU-XXI/2023 sejatinya sudah dicabut oleh pemohon melalui kuasa hukumnya. Akan tetapi pencabutan perkara itu kemudian dibatalkan hanya selang sehari.
"Perkara 90 dan 91 telah dinyatakan dicabut oleh kuasa hukum pemohon pada tanggal 29 September 2023, akan tetapi pada pada 30 September 2023 pemohon membatalkan penarikan," beber Arief.
Sumber: PojokSatu