Nasional Corruption Watch (NCW) menyoroti rentetan kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kabinet Indonesia Maju.
NCW menyebut badai korupsi Indonesia terjadi dari tingkat terbawah di daerah hingga pejabat tinggi negara seperti menteri-menteri dari Presiden Jokowi, termasuk Prabowo.
Ketua Umum NCW, Hanifa Sutrisna menyinggung kasus-kasus korupsi yang melibatkan para menteri di Kabinet Jokowi.
Menurutnya hal itu menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan dalam mencegah praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dari para pembantu presiden.
“Terlihat tidak bisa mengendalikan. Jangankan untuk memberantas, untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terjadinya korupsi di kementerian dan lembaga yang di bawahinya sangat lemah sekali,” ujar Hanifa Sutrisna dalam Konferensi Pers di kantor DPP NCW, Senin (9/10/2023).
Sejauh ini telah lima menteri Jokowi dari dua periode kabinetnya yang tersandung kasus korupsi. Empat di antaranya telah menerima vonis yakni, Juliari Batubara, Edhy Prabowo, Imam Nahrawi, dan Muhammad Idrus Marham.
Sementara Johnny G. Plate masih menjalani persidangan. Terbaru, Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo ditetapkan sebagai tersangka.
Kendati terdapat penegakan hukum pada sejumlah menteri, Hanifa Sutrisna menuturkan bahwa NCW memandang bahwa penegakan hukum di lingkaran kekuasaan masih kental akan nuansa tebang pilih.
“NCW melihat praktek tebang pilih masih terjadi dan pembiaran oknum-oknum yang terlibat korupsi terlihat jelas,” tegasnya.
Dalam dua periode Presiden Jokowi, jelas Hanifa, tampak jelas akan tumpulnya penegakan hukum kepada sejumlah oknum menteri.
Sejumlah kasus yang sempat mencuat ke publik terkait indikasi korupsi mereka, hingga kini tak jelas nasib penyelesaiannya.
“Saat ini tidak ditindaklanjuti. Setelah dilakukan pemeriksaan, habis itu tidak dilakukan penyidikan lebih lanjut,” tutur Hanifa.
Hanifa lantas menyebut nama-nama menteri beserta kasus dugaan korupsi yang sempat mencuat ke publik.
Menteri menteri itu di antaranya; Menteri BUMN Erick Thohir, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi/ BKPM Bahlil Lahadalia.
Serta Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo.
Dia meminta KPK untuk memeriksa nama menteri-menteri tersebut.
“Erick Thohir dan kakaknya Boy terseret kasus uang rekayasa industri yang berpotensi dan berpeluang besar kasusnya hilang, nilai dari kasus ini sampai menyentuh angka Rp2 triliun, ini akan memicu masalah terkait laporan dan pencatatan keuangan Kementerian BUMN.” ujarnya.
Sementara terkait Airlangga Hartarto, Hanifa menyinggung kasus masuknya 10 juta ponsel ilegal dan dugaan korupsi persetujuan ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya, termasuk minyak goreng.
“Akan tetapi kasus dan penanganan perkara ini tidak tau seperti apa keberlanjutannya. Keburukan penanganan perkara dan diduga adanya pembiaran kasus dalam perkara ini, menjadi fokus utama,” tegasnya.
Lebih lanjut, NCW juga menyinggung sosok Menteri Investasi/ BKPM Bahlil Lahadalia yang diduga turut berperan dalam kasus dugaan penyalahgunaan jabatan terkait dengan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) dan pelarangan ekspor nikel.
Hanifa menjelaskan, pemberian IUP oleh BKPM memberikan manfaat kepada negara dan bertujuan untuk menghadirkan pengelolaan pertambangan yang efisien dan berkeadilan kepada masyarakat, namun kenyataannya banyak pemegang IUP tidak menjalankan usahanya sebagaimana diatur di dalam konstitusi.
“Potensi terjadinya Korupsi dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Bahalil akan sangat berpeluang untuk dilakukan oleh para oknum Kementerian dan bekerjasama dengan Pemilik IUP.
Terkait Rempang, Hanifa turut menyebut potensi dugaan pengaturan proyek pulau Rempang juga sangat berpeluang dilakukan oleh Bahlil.
Pasalnya Bahlil yang mengorkestrasi proyek Pulau Rempang dan yang paling bertanggung jawab atas Investasi yang masuk ke Indonesia.
Di samping itu, Hanifa turut menyinggung pengadaan jet tempur Mirage di kementerian Pertahanan.
Menurutnya, pengadaan tersebut sangat kuat akan indikasi korupsinya.
“Pada Zaman Juwono Sudarsono pernah ditawarkan hibah pesawat yang sekarang sekarang dibeli itu, karena dikatakan biaya perawatannya sangat mahal. Kenapa sekarang tiba-tiba dibeli?” ujarnya.
Terakhir, Hanifa membahas kasus pembangunan BTS Kominfo yang menyeret nama Menpora Dito Ariotedjo.
Ia memandang sangat janggal nama Dito telah berulang kali disebut dalam persidangan namun statusnya tetap ditetapkan sebagai tersangka.
Menurutnya, pengembalian uang Rp27 miliar oleh Dito tidak serta-merta bisa menghentikan kasus yang menjeratnya itu.
“Kecenderungannya kepentingan politik di atas segala-galanya, di atas kepentingan memberantas korupsi yang ada di Indonesia,” tutur Hanifa.
“Ini preseden yang buruk bagi anak bangsa. Seolah korupsi ini masih bisa ditoleransi jika ada kedekatan politik,” tutupnya.***
Sumber: pojoksatu
Foto: NCW minta KPK periksa sejumlah menteri (ist)