Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie angkat bicara mengenai MK yang dipelesetkan menjadi Mahkamah Keluarga buntut permohonan uji materi terkait batas usia capres-cawapres. Menurut Jimly, sebaiknya Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus permohonan tersebut untuk menghindari tudingan tersebut.
"Iya makanya lebih baik sebetulnya, ketua itu lebih baik mengundurkan diri dari penanganan perkara, 8 aja. Jadi dia nggak ikut-ikut memeriksa, nggak ikut memutus, gitu. Ya mudah-mudahan begitu. Jadi tidak bisa dituduh bahwa ini ada kaitan keluarga," kata Jimly kepada wartawan, Minggu (15/10/2023).
Jimly menyarankan agar permohonan uji materi terhadap UU Pemilu itu hanya diputus oleh delapan hakim konstitusi selain Anwar Usman. Dia pun meyakini perbedaan pendapat nantinya akan mewarnai putusan itu.
"Nah selebihnya itu diserahkan aja pada 8 orang. Belum tentu sama pendapatnya kan. Jadi kayaknya seru ada dissenting. Kalau putusan ada dissenting berarti ada perdebatan substansial secara internal. Hakim dengan independensinya masing-masing, dengan keyakinannya masing-masing untuk memutus perkara ya harus kita hormati," ujarnya.
Lebih lanjut, Jimly menegaskan menghormati apapun putusan para hakim konstitusi terhadap uji materi tersebut. Menurutnya, apapun putusan yang dikeluarkan besok tidak akan bisa memuaskan seluruh rakyat Indonesia.
"Jadi harus kita terima aja apa yang diputuskan besok. Meskipun tidak sesuai dengan pendapat kita gitu. Nah tapi ya begitulah sistem kita bernegara meskipun undang-undang dibuat oleh 570 orang yang dipilih melalui pemilu, bersama dengan presiden yang dipilih mayoritas rakyat Indonesia, artinya undang-undang itu produk mayoritas, tapi bisa dibatalin oleh 5 orang gitu lho. Kita memang sudah ngatur nya kayak gitu. Jadi pendapat 5 orang itu belum tentu memuaskan rakyat Indonesia, bisa ngamuk semua. Tapi ya sudah kita kita kita hormati aja terserah besok. Yang penting ada dissenting supaya kita tahu ada perdebatan internal, gitu," papar Jimly.
Kendati demikian, Jimly mengatakan jika masih menjadi hakim konstitusi, dia akan menolak permohonan tersebut. Sebab, menurutnya, persoalan syarat usia minimal merupakan bagian dari persyaratan pekerjaan.
"Ya kan ada juga yang bilang bahwa ini bukan kewenangan MK. Bukan begitu cara ngomongnya. Kewenangan MK, MK berwenang untuk menilai, gitu. Ya tapi kan kalau you tanya saya, saya hakimnya, saya akan menolak perkara ini. Mengapa? Karena urusan usia itu, itu namanya official requirement, persyaratan pekerjaan. Yang masing-masing pekerjaan, masing-masing jabatan, itu beda-beda. Nah ada yang usianya sekian sampai sekian," beber dia.
"Saya kasih contoh, jadi TNI, pensiun umur 58 atau 56 gitu. Ya kan? Tapi kalau PNS mungkin lebih tua, 58 apa 60 kalau di Eselon 1. Misalnya ada tentara yang mengajukan judicial review 'wah ini tidak adil, ini diskriminasi. Padahal saya masih sehat, masih kuat', misalnya gitu. Nah itu nggak bisa begitu. Itu kalau apa yang kayak begitu itu, iya kan, mesti ditolak. Tapi menolak itu sesudah memeriksa substansinya dulu dengan pembuktian, ya kan. Jadi kalau saya hakimnya kayak begitu," lanjut Jimly.
Namun, lantaran sudah tidak lagi menjabat sebagai hakim konstitusi, Jimly pun menyerahkan sepenuhnya putusan itu kepada MK. Meskipun sekali lagi dia menyarankan agar Anwar Usman tidak ikut memutus perkara tersebut, mengingat sebelumnya muncul isu bahwa permohonan itu dilayangkan untuk memfasilitasi putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres di Pilpres 2024. Sebagai informasi, Anwar Usman merupakan adik ipar Jokowi.
"Tapi saya kan bukan hakim lagi. Jadi kita harus menghormati apapun keputusan mayoritas mereka ini, gitu loh. Yang penting kalau bisa ketua jangan ikut-ikut karena dia kebetulan ada hubungan keluarga, gitu," kata Jimly.
Sumber: detik
Foto: Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie/Net