Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menyesalkan banyaknya barang impor
dengan harga murah yang membanjiri e-commerce di Indonesia.
Menurut dia, hal itu membuat Indonesia terkena kolonialisme di era modern
atau dijajah secara ekonomi oleh negara lain.
Hal tersebut disampaikan Jokowi saat memberi arahan kepada peserta PPSA XXIV
dan alumni PPRA LXV Lembaga Ketahanan Nasional di Istana Negara, Gambir,
Jakarta Pusat pada Rabu (4/10/2023).
"Harus saya ingatkan karena potensinya tadi Rp 11.250 triliun, hati-hati.
Kita tidak boleh hanya menjadi pasar saja, ada potensi tapi kita hanya jadi
pasarnya saja, oleh sebab kita harus jadi pemain," kata Jokowi dikutip dari
Kompas.com.
Jokowi memaparkan, potensi ekonomi digital Indonesia berada di angka 44
miliar dollar AS pada 2020, 77 miliar dollar AS pada 2022, 146 miliar dollar
AS pada 2025, dan 360 miliar dollar AS atau Rp 5.000 triliun pada 2030.
Ia menyebutkan, angka itu dapat bertambah apabila negosiasi mengenai Digital
Economy Framework Agreement di antara negara-negara ASEAN dapat rampung pada
2025.
"Angka yang terakhir tadi yang 360 billion US dollar itu akan lipat jadi 2
kali. Artinya 720 miliar US dollar, kalau dirupiahkan Rp 11.250 triliun
potensi ekonominya sangat besar sekali," kata Jokowi.
Ia menjelaskan, Digital Economy Framework Agreement akan mengatur soal
perdagangan digital, pembayaran digital, dan keamanan data.
Menurut dia, hal ini harus menjadi perhatian karena terdapat laporan bahwa
ada 123 juta orang yang tercatat masuk ke sebuah aplikasi hanya dalam waktu
satu bulan.
"Artinya perilaku konsumen kita sudah dipegang, mood-nya mau ke mana sudah
dipegang, arahnya mau ke mana sudah bisa ditebak dan kita terlambat," kata
Jokowi.
Jokowi menambahkan, Indonesia juga hanya punya waktu dua tahun untuk bisa
menguasai pasar ekonomi digital.
"Bagaimana kita menyiapkan talenta-talenta digital kita, ini bukan barang
yang mudah, dan kita tidak boleh hanya menjadi konsumen saja," ujar mantan
gubernur DKI Jakarta itu.
Pernyataan Jokowi pun ditanggapi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti.
Lewat status twitternya @susipudjiastuti pada Kamis (5/10/2023), dirinya
menilai sangat sulit melakukan impor barang, baik bagi perorangan ataupun
perusahaan.
Namun, hal yang menjadi pertanyaan adalah kenapa begitu banyaknya barang
impor masuk Indonesia.
Susi pun mempertanyakan siapa dalang di balik maraknya impor barang
tersebut.
"Pak Presiden @jokowi Impor di Indonesia sebetulnya secara general untk umum
perorangan maupun perusahaan sangatlah sulit," ungkap Susi Pudjiastuti.
"Menjadi Pertanyaan: kok bisa begitu banyaknya barang impor masuk ? Siapa yg
melakukan impor dan bagaimana caranya?" tanyanya.
Pak Presiden @jokowi Impor di Indonesia sebetulnya secara general untk umum perorangan maupun perusahaan sangatlah sulit. Menjadi Pertanyaan: kok bisa begitu banyaknya barang impor masuk ? Siapa yg melakukan impor dan bagaimana caranya ? https://t.co/oIHUMe9dep pic.twitter.com/TAHQ3ZpHQ4
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) October 5, 2023
Pernyataan Susi pun disambut ramai masyarakat.
Beragam pendapat pun mengisi kolom komentara status Susi Pudjiastuti.
Zulkifli Hasan Larang e-commerce Jual Barang dengan Harga di Bawah Rp 1,5
juta
Guna melindungi produk dalam negeri, pemerintah tengah menggodok aturan baru
yang akan mengatur larangan importasi barang dengan nominal di bawah Rp1,5
juta di platform ecommerce.
Adapun, larang tersebut akan diberlakukan melalui revisi Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha,
Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik.
Selanjutnya, pemerintah akan mengatur batas minimum harga untuk produk impor
yang diperdagangkan dalam marketplace.
Pemerintah menetapkan produk impor dengan harga di bawah US$100 atau sekitar
Rp1,5 juta dilarang dijual oleh pedagang luar negeri di platform online
e-commerce maupun social commerce.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Mendag Zulhas) mengungkapkan, revisi
Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan,
Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Ham
(Kemenkumham).
Dalam beleid aturan tersebut Mendag Zulhas menuturkan pihaknya melarang
penjualan barang impor sebesar di bawah 100 juta dollar AS atau di bawah Rp
1,5 juta efektif hanya untuk produk yang dikirim secara cross border atau
melalui perdagangan lintas batas.
"Revisi permendag sudah selesai sekarang tanggal 1 (Agustus) lagi
diharmonisasi berarti hari ini di Kemenkumham," ujar Mendag Zulhas dikutip
dari Kompas.com pada Selasa (1/7/2023).
Revisi Permendag Ditolak Kalangan Pengusaha
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 yang akan
direvisi mendapat penolakan dari kalangan pengusaha di Tanah Air.
Alasannya, regulasi tersebut melarang importir menjual barang dengan nilai
kurang dari US$ 100 atau setara Rp 1,5 juta per unit di marketplace.
Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE), Sonny Harsono, menilai
kebijakan baru ini tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan.
"Sebagai contoh, jika pemerintah menghentikan impor barang-barang seperti
aksesoris ponsel dan atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri,
justru menimbulkan risiko terjadinya kegiatan impor ilegal," ungkap Sonny
dalam siaran tertulis pada Rabu (2/8/2023).
"Sebab secara prinsip ekonomi, jika permintaan masih ada, penawaran pun akan
berlangsung," tambahnya.\
Kondisi ini, lanjutnya, sudah tergambar pada platform e-commerce lokal yang
menunjukkan sebagian besar barang impor ditawarkan oleh penjual
non-importir.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa platform yang memfasilitasi transaksi
cross-border semacam ini tidak hanya ditemukan di Indonesia, melainkan di
berbagai negara.
Namun demikian, di negara-negara lain berlaku pula kebijakan yang sama,
yaitu berupa pengenaan pajak pada harga tertentu, bukan pelarangan di bawah
harga tertentu.
APLE juga menyebut ada platform besar yang melakukan transaksi ekspor
cross-border UMKM ke enam negara dengan volume melebihi angka impor.
"Artinya, transaksi ini sesungguhnya meningkatkan current account, atau
selisih antara ekspor dan impor di suatu negara," ungkap Sonny.
Oleh karena itu, penutupan keran transaksi impor lintas negara tersebut
katanya akan mengancam eksistensi dari pelaku UMKM apabila platform belanja
menghentikan semua transaksi cross-border ke Indonesia.
Sebab dijelaskannya, proses impor cross-border ke Indonesia dewasa ini sudah
mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Dari sisi proses, impor dilakukan seratus persen secara digital dan
terotomatisasi, terlebih bea cukai sudah mengaplikasikan e-catalog agar
pendapatan negara yang berasal dari bea masuk (BM), pajak pertambahan nilai
(PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh) yang besar dapat dipastikan sesuai.
"Oleh karena itu, APLE berharap pemerintah tetap memberikan dukungan bagi
platform belanja untuk menjalankan transaksi cross-border," jelasnya.
Sebab, platform yang tidak melakukan transaksi cross- border justru akan
mengancam eksistensi dari pelaku UMKM tersebut lantaran masih ada barang
eks-impor di sana yang memang boleh diperjualbelikan tanpa harus memenuhi
kewajiban pemberian keterangan asal barang.
"Tentu hal semacam ini malah merugikan negara, karena barang-barang
eks-impor ini tidak dikenai pajak," imbuhnya.
Terkait hal tersebut, APLE pun mengajukan empat solusi terhadap persoalan
ini.
Pertama, pemerintah diharapkan mewajibkan platform pelaku transaksi impor
cross-border untuk memfasilitasi ekspor lintas negara, dengan volume yang
lebih tinggi.
Pemberian insentif bagi platform yang sudah menjalankan hal tersebut juga
penting. Insentif dapat diberikan melalui dukungan layanan dari Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai serta instansi lain yang terkait.
Kedua, pemerintah meningkatkan besaran komponen biaya impor berupa
peningkatan bea masuk dari 7,5 persen menjadi 10 persen ditambah PPN 10
persen dan PPh.
"Dengan demikian, harga barang impor pun tidak terlalu murah, dan barang
dalam negeri bisa semakin bersaing," jelas Sonny.
Ketiga, pemerintah melakukan screening atau penyaringan terhadap e-commerce
lokal yang tidak melakukan transaksi cross-border.
Tujuannya, agar setiap barang yang dijual telah dilengkapi bukti importasi.
Sebut saja barang-barang elektronik lain dan aksesorisnya (casing serta
charger ponsel), kosmetik, obat-obatan maupun suplemen dan vitamin.
Kemungkinan besar, barang-barang yang berasal dari kegiatan impor tersebut
akan sulit untuk diawasi, apakah barang yang dijual tersebut telah memenuhi
formalitas kepabeanan, dengan membayar bea masuk/ pajak sesuai dengan jenis
dan nilai barangnya.
Sebagai dampaknya, negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak.
"Keempat, pemerintah sebaiknya melakukan kunjungan ke kampus-kampus UMKM
yang diprakarsai oleh platform, untuk menjelaskan secara mendalam benefit
dari transaksi ekspor cross-border bagi pelaku UMKM di tanah air," tutupnya.
Foto: Kolase Presiden Joko Widodo dan Susi pudjiastuti/Net