Hubungan Israel-Palestina kembali memanas. Kelompok Hamas yang berjuang atas kemerdekaan Palestina melancarkan serangan bersenjata terbesar ke Israel dalam beberapa tahun terakhir pada akhir pekan lalu.
Militer Israel pun membalas serangan tersebut dalam skala besar dan mendeklarasikan perang terhadap kelompok Hamas. Pertempuran pun tak terelakkan yang membuat korban jiwa di kedua pihak saling berjatuhan.
Aksi ini lantas menambah panjang catatan konflik berdarah di kawasan tersebut yang sudah terjadi sejak 70 tahun silam. Sekaligus membuat orang tergerak membantu masing-masing pihak, salah satunya dilakukan oleh pengusaha kaya raya Palestina bernama Bashar Masri.
Sempat Ditahan
Bashar Masri berasal dari keluarga al-Masri yang lahir di Nablus, Palestina, tahun 1961. Dia masih satu keluarga dengan Munib al-Masri, pengusaha yang kini jadi orang terkaya di Palestina.
Bashar tumbuh besar di arena konflik. Di usia enam tahun, dia sudah menjadi saksi mata kebengisan militer Israel dalam peristiwa yang kini disebut Perang Enam Hari (1967).
Ketika itu, Israel secara mendadak dan sepihak menguasai wilayah Palestina meliputi Tepi Barat, Yerussalem Timur, Jalur Gaza dan Dataran Tinggi Golan. Militer Israel juga mengusir 750.000 penduduk Palestina termasuk menghancurkan tempat tinggalnya.
Atas dasar inilah, kepada Time Bashar mengaku dan percaya saat kecil kalau kekerasan adalah satu-satunya cara menyelesaikan konflik. Dari sinilah bibit-bibit pemberontak mulai muncul di dalam dirinya.
Dia bercerita saat masih aktif sekolah dia kerap merencanakan demonstrasi dan menulis surat protes kepada berbagai pihak atas penindasan yang selama ini dialami oleh warga Palestina. Salah satunya ditunjukkan kepada Sekjen PBB Kurt Waldheim, meski surat itu tak diketahui sampai atau tidak.
Bergerak melawan arus membuat hidup Bashar penuh resiko. Sebab, peluang dia ditangkap oleh otoritas Israel begitu besar. Namun, layaknya aktivis sejati, dia tidak takut atas hal itu.
Hingga akhirnya dia benar-benar ditangkap otoritas Israel usai melempar batu ke tentara saat demonstrasi. Tepat di usia 14 tahun dia resmi bermalam di balik jeruji besi. Namun, tindakan itu tak menyurutkan langkah Bashar.
Setelah bebas, dia kembali berjuang. Lalu dua tahun kemudian, tepat di tahun 1975 atau di usia 16 tahun, dia harus masuk penjara untuk kedua kalinya. Dia ditahan karena melawan pemerintah Israel dan harus menjalani ujian sekolah di dalam sel.
Usai masa tahanan habis, orang tuanya lantas menyekolahkan Bashar ke Kairo, Mesir. Di sana dia kemudian sekolah secara serius hingga berhasil kuliah di Amerika Serikat dan Inggris. Sejak itulah pandangan soal kekerasan sebagai cara terbaik melawan Israel mulai berubah.
Gaya Baru Perjuangan
Ketika tinggal di luar negeri sejak tahun 1990-an, Bashar mulai merintis karir. Dia diketahui kerja di banyak perusahaan manajemen dan konsultan yang berbasis di Arab Saudi, Amerika Serikat dan Inggris.
Tak cuma itu, mengutip Bloomberg International, dia juga mempunyai perusahaan sendiri yang bergerak di sektor real estate di Maroko, Libya, Yordania dan Mesir. Dari sini dia mulai memupuk kekayaan.
Meski begitu, kesuksesan tak membuat Bashar lupa tanah air. Dia beberapa kali ingin pulang kampung, tetapi selalu gagal. Pada 1991 dia sempat dideportasi Israel karena dianggap sosok berbahaya.
Barulah, pada 1994 pintu masuk ke Palestina mulai terbuka lebar. Dia langsung terbang ke Tel Aviv dan mengunjungi Nablus. Di sana dia terkejut melihat nasib warga Palestina yang begitu sengsara. Bahkan ada teman sekolahnya yang dulu pintar kini menjadi pengangguran akibat tak ada lapangan kerja.
"Sejak itu saya bertekad untuk membantu membangun bangsa dan memberikan kesempatan kepada rakyat Palestina," kata Bashar.
Tekad itu kemudian terwujud lewat pembangunan kota modern pertama di Palestina bernama Rawabi. Rawabi diproyeksikan bakal menghabiskan dana US$ 1,4 miliar atau Rp 22 triliun yang semuanya murni mengandalkan investor di bawah naungan perusahaan investasi besutan Bashar, Massar International Ltd.
Selama pembangunan, Rawabi bakal memperkerjakan masyarakat lokal. Bagi Bashar, ini adalah perjuangan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, pendidikan dan pembangunan bangsa. Dengan hadirnya lapangan kerja, maka Palestina bisa tumbuh. Jika itu semua tercapai, maka masyarakat Palestina bisa menemui kemerdekaannya.
Semua itu pada akhirnya membuat Palestina kembali 'hidup' meski berulangkali dihajar habis-habisan oleh zionis Israel
Pemimpin Berpengaruh
Meski begitu, upaya pembangunan ini juga menuai kritik oleh kelompok pro-Palestina. Mengutip Insider, kritik muncul karena Bashar terbukti menjalin kerjasama juga dengan pihak Israel.
Bashar memang mengakui adanya kerjasama, tetapi dia berargumen bahwa itu semua untuk kemaslahatan rakyat Palestina. Pasalnya, kerjasama itu dibutuhkan untuk menarik perhatian dunia internasional. Kepada The Guardian, Bashar menyebut jika Rawabi berhasil ini akan menjadi kebanggaan nasional, sekaligus memberi pesan bahwa Palestina bisa membangun negara.
Alhasil, proyek tersebut terus berjalan sejak tahun 2000 dan kini mulai terlihat hasilnya. Selama pembangunan, Rawabi telah memperkerjakan 10.000 warga Palestina. Beberapa hari sebelum perang Hamas Vs Israel berlangsung media lokal meliput dirinya sedang memantau proyek investasi manufaktur di sana.
Tak cuma mengurusi Rawabi, kini Bashar sejak 2021, juga membangun proyek Lana di Yerussalem Timur. Lana adalah kota mandiri modern kedua di Palestina.
Selain itu dia juga menjadi CEO perusahaan investasi PADICO yang sudah mengelola dana US$ 815 juta atau Rp 12,7 Triliun untuk pembangunan sektor finansial, energi, industri hingga properti. Semua keuntungan itu dialihkan untuk kemaslahatan rakyat Palestina.
Berkat upaya itu semua, Bashar sempat dinobatkan Fortune sebagai pemimpin dunia berpengaruh di dunia pada 2018 silam.
Sumber: cnbcindonesia
Foto: Ilia Yefimovich/Getty Images.