Perdamaian hanya akan menjadi sekadar utopia bagi Timur Tengah, meski Israel telah membinasakan Hamas sekali pun. Perdamaian baru bisa terjadi jika rakyat Palestina diberikan haknya untuk mendapat negara yang berdaulat.
Begitu kiranya yang disampaikan oleh Profesor Emeritus dari Universitas Tennessee, Brian K. Barber lewat tulisannya bertajuk "Gaza Interrupted" yang diunggah di counterpunch.org dan MEMO pada Senin (23/10).
"Bahkan jika (Benjamin) Netanyahu berhasil dalam misinya saat ini untuk membunuh semua anggota Hamas (tentu saja mustahil), hal itu tidak akan memberikan kontribusi apa pun bagi perdamaian," kata Barber, yang juga peneliti di Institut Studi Palestina.
Dalam tulisannya, Barber menyoroti bagaimana Gaza ditaklukkan oleh Israel selama Perang Enam Hari pada tahun 1967, bersama dengan Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Golan, dan Sinai.
Meski begitu, Israel tidak mencaplok Gaza dan menjadikan penduduknya sebagai warga negara Israel. Mereka juga tidak menyerahkan Gaza kembali ke Mesir, seperti yang terjadi pada Sinai.
Sebaliknya, Israel secara resmi menetapkan Gaza sebagai Wilayah Pendudukan yang akan dikuasai oleh militernya. Alih-alih mendorong pembangunan ekonomi di wilayah tersebut, Israel secara sistematis malah melemahkan wilayah tersebut. Kontrol militer Israel atas Gaza semakin diperketat sejak saat itu.
Kehidupan warga Gaza memprihatinkan. Akses air dibatasi. Warga Gaza hanya diizinkan menggunakan air dari lapisan atas akuifer yang sudah sangat asin, sementara pemukim Yahudi menggunakan air segar dari sumur.
Dengan situasi ini, Barber menilai, pemberontakan akan terjadi di Gaza, meski bukan Hamas yang melakukannya. Itu karena warga Gaza terus menerus mendapat ketidakadilan di tengah semakin eratnya kontrol Israel.
"Hal (Perdamaian) ini hanya bisa terjadi jika jutaan warga Palestina di Jalur Gaza, Yerusalem Timur, dan Tepi Barat diberikan martabat, kesempatan, dan hak asasi manusia yang layak diterima oleh semua umat manusia," pungkas Barber.
Sumber: rmol
Foto: Ilustrasi/Net