Fenomena partai politik kaum muda seperti yang terjadi di Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan terpilihnya Kaesang Pangarep menjadi ketua umumnya menjadi sorotan. Publik mempertanyakan kiprah partai muda yang ternyata tak bisa lepas dari sisi konservatifnya. Hanya bajunya saja muda namun ‘dalemannya’ masih konservatif.
Partai yang awalnya dibentuk dalam pertemuan di sebuah kafe itu kini malah menjadi pembicaraan di warung-warung kopi dan warung tegal. Betapa tidak, partai baru yang seringkali bikin heboh kini membuat kejutan baru yang membuat publik terperangah.
Hal ini tidak terlepas dari keputusan partai yang berdiri resmi pada 16 November 2014 itu mengangkat ketua umum baru yakni Kaesang Pangarep yang tidak lain adalah putra bungsu Presiden Joko Widodo. Kaesang didapuk jadi pimpinan tertinggi partai hanya kurang dari tiga hari setelah mendapat kartu anggota partai.
Sontak saja peristiwa ini mulai menimbulkan pergunjingan. Banyak pihak menilai PSI hanya mendompleng ketenaran Presiden Joko Widodo untuk mendapat tuah atau kebaikan dengan mengangkat Kaesang. Juga untuk mendongkrak suara partai yang masih belum bisa menempatkan perwakilannya di DPR, partai ini seperti mencari jalan pintas untuk meraup suara.
Upaya jalan pintas mendompleng popularitas dengan menarik Kaesang merupakan aksi terakhir dan terheboh yang dipertontonkan PSI. Sebelumnya upaya mengangkat popularitas partai sudah dilakukan beberapa kali, salah satunya yang cukup ramai adalah ketika PSI mengusung Ganjar Pranowo yang saat itu masih menjabat Gubernur Jawa Tengah sebagai calon presiden untuk Pilpres 2024.
Ganjar merupakan kader PDIP. Sedangkan partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut saat itu belum menentukan kandidat capresnya. Megawati sempat menyindir partai politik yang mendompleng kader dari partai lain. Dalam pernyataannya saat ulang tahun PDIP ke-50, ia menyebut langkah tersebut menimbulkan kesan parpol tidak memiliki kader sendiri. PSI pun meminta maaf kepada Megawati.
Kaderisasi dan Rekruitmen Partai
Seharusnya sebuah partai politik modern apalagi partai yang mengaku sebagai partainya anak-anak muda, selain menjunjung tinggi demokrasi sebagai salah satu fungsi parpol, juga harus memiliki pola rekruitmen dan kaderisasi yang baik. Pengurus dan kadernya sebaiknya menjadikan parpol seperti sebuah sekolah, tempat di mana para kadernya dididik dan dilatih menjadi calon pemimpin. Bukan ujug-ujug mengangkat seseorang yang baru kurang dari tiga hari memegang kartu anggota kemudian dipilih menjadi ketua umumnya.
Juga memberikan teladan dan pendidikan kepada masyarakat terutama kalangan muda tentang politik yang benar, memberikan inspirasi, ide-ide serta inovasi yang terkait dengan politik. Pada akhirnya menarik minat kaum muda untuk berpolitik dan mengambil peran dalam demokrasi. Termasuk kapan seseorang pantas dicalonkan untuk menjadi kader terpilih untuk calon legislatif, para pengurus terasnya di pusat hingga daerah atau layak mencalonkan sebagai kepala daerah.
Selain itu, parpol anak muda harus mampu menjalankan kegiatan yang efektif dan efisien dengan petugas parpol yang profesional serta mempunyai sumber-sumber dana yang memadai.
Partai ini memperoleh dana untuk kegiatan dari sejumlah pengusaha salah satunya adalah Jeffrie Geovanie, pengusaha mantan politikus Golkar yang kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah yang saat ini lebih banyak bermukim di Singapura. Ia merupakan pendiri partai dan menjabat Ketua Dewan Pembina PSI. Tak ada yang secara terbuka mengungkapkan berapa dana yang dikucurkan Jeffrie Geovanie untuk partai ini serta siapa saja yang menjadi donatur besarnya.
Dan yang lebih penting, untuk mendukung karakter pengelolaan manajemen parpol kaum muda tentu harus adanya ideologi partai yang tepat. Ini yang belum terlihat secara jelas. Yang terlihat di mata publik adalah ideologi yang seiring sejalan dengan pemerintahan Jokowi. Atau lebih spesifik lagi, apa kata Jokowi secara personal. Kalau masih menggantungkan kepada sosok atau tokoh, apalagi mengandalkan dinasti politik Jokowi yang kini tengah mencorong tentu tak ada yang baru yang dilakukan partai baru ini.
Sepak Terjang Partai
Sebagai partainya kaum muda tentu yang diharapkan adalah sikap progresif. Sejak awal PSI ingin terlihat progresif namun yang muncul ke permukaan adalah lontaran isu-isu yang terkesan ‘ganjil’ dan receh. Dari mulai mempersoalkan ketidaksetujuannya terhadap poligami dan Perda Syariah hingga menyerang kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan secara personal.
Seperti dalam kesiapan perhelatan Formula-E di Jakarta, Giring Ganesha, Ketum PSI saat itu sidak lokasi balap bahkan sampai sepatunya kejeblos lumpur. Demikian pula pernyataan Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Sigit Widodo yang memunculkan kontroversi terkait pengalaman kurang menyenangkan yang dialaminya saat mudik lebaran yakni jajan di rest area yang dinilainya kemahalan. Lontaran isu-isu ini menimbulkan kontroversi, blunder hingga berbalik menjadi isu negatif bagi PSI.
Tak heran banyak muncul kekecewaan di internal dengan terus bergugurannya keanggotaan partai. Setelah Muhamad Guntur Romli, kemudian menyusul 6 caleg PSI mengikuti langkah serupa. Sebelumnya ketiga mantan staf Ahok juga mundur dari PSI yakni Sunny Tanuwidjaja, Michael Victor Sianipar, dan Rian Ernest. Beberapa pengurus level top partai juga memilih mundur dari partai berlambang bunga mawar itu.
Meski mengaku-ngaku progresif dengan serangan-serangan isu yang kontroversial, PSI sejak kelahirannya justru konservatif dengan membela penguasa. Terlihat bagaimana sikap dan pandangan partai yang sangat ‘Jokowi’ ketika mengomentari sesuatu atau menyerang pihak-pihak atau partai lain yang mengkritisi sang idolanya.
Tak heran muncul dugaan bahwa PSI akan menjadi partai milik keluarga Jokowi, apalagi kemudian si bungsu Kaesang menjadi ketua umumnya. Memang saat ini Jokowi bersama Gibran dan menantunya Bobby masih menjadi kader PDI Perjuangan namun publik tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang dengan dinasti Jokowi ini apakah masih tetap bertahan di PDIP.
PSI, sebagai generasi politik muda tidak berusaha untuk menjadi political outsider untuk memaksimalkan keuntungan-keuntungan secara politik. Ia malah memilih menjadi bagian dari pemerintahan dan arus politiknya dengan maksud mendapat keuntungan. Justru PSI menjadi partai pragmatis untuk mendapat benefit dan hal itu adalah ciri-ciri yang sering ditampilkan oleh partai-partai kolot alias konservatif.
Belajar dari MFP Thailand
Partai politik kaum muda yang mendorong tujuan-tujuan progresif, di Asia Timur dan Tenggara telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun mereka beroperasi dalam konteks nasional yang sangat berbeda, aktivis dan politisi muda di seluruh wilayah ini berbagi dukungan terhadap demokrasi, sentimen anti-kemapanan, dan politik progresif secara umum.
Jika mereka dapat mengatasi tantangan-tantangan yang mereka hadapi, termasuk penolakan dari partai-partai politik yang sudah mapan, maka mereka dapat menjadi kekuatan penting di kawasan ini dalam beberapa dekade mendatang.
PSI harus banyak belajar dari Moved Forward Party (MFP) Thailand. MFP yang berdiri pada 2014, sama dengan PSI, merupakan partai yang berhasil memenangkan suara terbanyak dalam pemilu Thailand tahun ini. Ia bisa memenangkan pemilu mengalahkan partai konservatif. MFP meraup 36,23 persen suara dan mengamankan 151 kursi parlemen, yang tertinggi dibandingkan Partai Pheu Thai dengan 141 kursi dan Partai Bhumjaithai dengan 70 kursi.
Pemimpin MFP ketika itu, Pita Limjaroenrat yang kini berusia 43, mengatakan partainya sudah berkomunikasi dengan sekutu politik untuk membentuk koalisi pemerintahan. Setidaknya ada tujuh partai yang bergabung dalam koalisi MFP, di antaranya Partai Pheu Thai, Pracharat, Thai Sang Thai, dan Seri Ruam Thai.
Gabungan koalisi ini sebetulnya cukup untuk membentuk pemerintahan karena totalnya 308 kursi. Meski begitu, hasil ini tidak cukup untuk mengamankan posisi perdana menteri (PM). Berdasarkan konstitusi, perdana menteri Thailand mesti dipilih oleh majelis rendah dan senat. Senat sendiri diisi oleh orang-orang yang ditunjuk eks PM Prayuth Chan-o-cha. Pita pun gagal maju sebagai perdana menteri. Pada pemilihan parlemen 13 Juli lalu, Pita gagal mengantongi cukup suara.
Salah satu penyebab MFP dijegal yaitu karena janji mereka untuk mereformasi rezim militer. Selama nyaris satu dekade, pemerintahan Thailand dibayangi kepemimpinan militer. Seolah membawa nafas baru, MFP pun berjanji mengakhiri hal-hal terkait rezim seperti wajib militer dan menghancurkan pusat-pusat "kekuatan monopoli" di Thailand. Dilansir dari The Diplomat, MFP bahkan berani menyerukan perubahan terhadap undang-undang lese-majeste, langkah yang dinilai paling sensitif dan kontroversial.
Undang-undang lese-majeste merupakan UU yang mengkriminalisasi mereka yang mengkritik raja maupun keluarga kerajaan Negeri Gajah Putih. Pada akhir 2020 dan awal 2021, UU ini digunakan untuk menyasar penyelenggara demonstrasi pro-demokrasi. Per 23 September lalu, MFP tak lagi dipimpin oleh Pita. Dalam rapat umum partai di hari yang sama, Chaithawat Tulathon terpilih menjadi pemimpin baru menggantikan Pita.
Yang jelas, perjalanan dan tantangan PSI masih panjang untuk menjadi idolanya kaum muda dan progresif. Bandul politik dan nasib PSI hingga saat ini juga belum bisa diterka ke mana arahnya. Apakah PSI akan menuai tuah dari memilih Kaesang sebagai ketua umumnya? Apakah PSI akan berkibar dan makin menancapkan lebih kuat dinasi Jokowi? Atau malah sebaliknya, PSI malah anjlok demikian pula nama besar, citra dan popularitas yang sudah dibangun Jokowi akan lenyap di tangan PSI. Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Sumber: inilah
Foto: Ilustrasi kebijakan PSI yang mengagungkan Presiden Joko Widodo. (Desain:Inilah.com/Hafiz)