Majunya Gibran dalam Pilpres 2024, bukan sebagai calon PDIP, tanpa meminta persetujuan PDIP, bahkan maju menjadi pesaing PDIP, adalah puncak pengkhianatan Jokowi kepada PDIP.
Mungkin saja, PDIP masih maklum kenapa Jokowi lebih mengakomodir Golkar dengan posisi 2 (dua) Menko, membiarkan Luhut Panjaitan secara de facto sebagai Presiden Republik Indonesia, tapi tidak soal Gibran.
Demi Gibran, PDIP telah mengacak-acak konstitusi partai. Kader yang sejak lama membina karir di partai, ingin maju menjadi Walikota Solo, sekelebatan dihempas dan akhirnya Gibran yang menduduki posisi Walikota Solo.
Untuk melayani Jokowi, Gibran di PDIP kan, dan langsung didapuk menjadi Calon Walikota Solo, dan dimenangkan oleh kerja keras mesin partai.
Kemenangan Gibran, bukan karena elektabilitasnya. Melainkan, karena dukungan dan kerja mesin partai.
Mau sehebat apapun, jika tidak diusung partai, Gibran tak akan menjadi apa-apa. Sama seperti Jokowi. Jika bukan karena Surat Ketum PDIP, dirinya tidak akan menjadi Presiden RI.
Gibran, bukan hanya maju Pilpres menjadi pesaing Calon PDIP yang mengusung Ganjar-Mahfud. Bahkan, Gibran maju diusung Partai Golkar.
Sebentar lagi, Gibran menjadi Kader Golkar, dan menanggalkan baju banteng yang telah mengantarkannya menjadi Walikota Solo.
Sayangnya, respons PDIP terhadap pengkhianatan ini hanya mengeluh, hanya curhat, tak ada reaksi 'banteng ketaton' yang ditampakkan.
Puan Maharani hanya bisa bertanya-tanya, masak iya saudara, teman, bahkan keluarga PDIP sekarang menjadi musuh? Yang dahulu bersama menjadi mitra, sekarang menjadi lawan?
Padahal, ini ujian bagi PDIP. Jika masih ada Megawati saja, petugas partai tidak bisa ditertibkan, apalagi setelah Mega tiada?
Kendali partai pasti hancur berantakan, karena tidak adanya ketaatan pada komando pimpinan. Semua kader, akan berubah menjadi celeng, bukan kader banteng.
Sebenarnya, sejak lama gelagat pengkhianatan Jokowi terendus PDIP. Mega, dalam berbagai forum partai, berulangkali menyindir Jokowi bukan apa-apa tanpa dukungan PDIP.
Sayangnya, Mega hanya curhat seperti emak-emak. Mega, mungkin saja sudah kehilangan powernya menghadapi Jokowi.
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan PDIP, Mega harus mengutuk Jokowi menjadi batu karena durhaka terhadap PDIP.
Mega harus me-malin kundangkan Jokowi. Caranya, dengan mengaktivasi pemakzulan dan mengumumkan perang bubat dengan Jokowi.
Tapi sayang, nampaknya Mega sudah kehilangan power. De facto, Mega ibarat bebek lumpuh dihadapan Jokowi.
De Facto, Jokowi masih Presiden RI yang dapat setiap saat menyalahgunakan kekuasaannya untuk melumpuhkan lawan politiknya. Jika diaktivasi, akan banyak kader banteng masuk kandang KPK.
Sampai disini, kita bisa paham mengapa PDIP hanya bisa curhat dan mengeluh tanpa mengambil tindakan nyata kepada Jokowi.
Apakah, ini juga bagian dari tragedi NGUNDUH WOHING PAKERTI? Penulis kira, hanya PDIP yang bisa menjawabnya. ***
Oleh: Ahmad Khozinudin, SH
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.