“Tuan-tuan…………, sedangkan seekor cacing kalau disakiti akan menggeliat dan berbalik-balik. Begitu pun kami. Tidak berbeda dari pada itu,” pidato Soekarno mengancam dalam Indonesia Menggugat, 1930.
Sebuah bangunan tua letaknya tak jauh dari Balai Kota Bandung sekarang ini. Pada mulanya hanya sebuah rumah tinggal yang dibangun pada 1907. Cukup besar sehingga disebut gedung. Mungkin semacam rumah dinas bagi pejabat tinggi Hindia Belanda kala itu. Bangunan tersebut pada 1917, dialihfungsikan menjadi Landraad atau Kantor Pengadilan Pemerintah Kolonial.
Di gedung itu pada 93 tahun silam, saya membayangkan seorang pemuda tinggi besar memasuki ruangan, dikawal satu regu tantara kolonial. Meskipun tampak dekil dan kumal dengan rambut awut-awutan, namun sorot matanya tajam menantang. Sebelum duduk di kursinya, ia sejenak memandang sekeliling. Lalu di sudut bibirnya, tampak senyum kecil mengejek tanpa rasa takut.
Hari itu, pemuda yang kelak ditakdirkan sebagai proklamator republik ini, sedang menghadapi sidang pengadilan pemerintah kolonial dengan tuduhan makar. Tentu tuduhan itu dibuat-buat sebagai dalih untuk membungkamnya. Sebab apapun alasannya, pemuda itu sama sekali tak memenuhi syarat untuk dapat menggulingkan penguasa kolonial ketika itu.
Tetapi bagi pemerintah kolonial, apa yang dilakukan pemuda itu dinilai tak kalah berbahaya dari pada upaya makar. Sebab melalui Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan bersama kawan-kawannya, ia menyebarkan virus kemerdekaan secara masif untuk membangunkan kesadaran rakyat bangsanya yang sedang terjajah.
Soekarno, pemuda itu, di depan sidang pengadilan hari itu benar-benar “berontak”. Tersirat dalam pidato pembelaannya yang diberi judul, “Indonesia Menggugat,” ia menuntut kesejahteraan, kebebasan, kesetaraan, serta keadilan sosial, ekonomi, dan hukum bagi rakyat bangsanya.
Tuntutan Indonesia Menggugat tersebut, kelak dituangkan secara eksplisit di dalam pembukaan UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi Republik Indonesia, sekaligus merupakan tujuan dari negara ini didirikan.
Hampir seabad kemudian, tepatnya, 08 Oktober 2023, di Gedung Indonesia Menggugat, Anies Rasyid Baswedan bermaksud hendak mengingatkan kembali tuntutan Indonesia Menggugat. Dari Gedung bersejarah itu, Anies ingin mengajak untuk kembali pada cita-cita proklamasi dengan memanfaatkan momentum Pilpres.
Sebab baginya, Pilpres adalah peristiwa lima tahunan yang merupakan momentum terbaik dan strategis, untuk melakukan kalibrasi terhadap arah perjalanan bangsa ini, yang diyakini sedang tak berada pada jalur yang seharusnya.
Namun, apa yang terjadi? Pintu gedung bersejarah itu digembok oleh rezim. Mereka tak ingin Anies selaku Bacapres mendapatkan efek elektoral dari Gedung keramat itu. Mereka takut pada Anies yang setia pada cita-cita proklamasi itu memenangkan Pilpres, sehingga harus dijegal dengan berbagai cara.
Terutama, takut pada ide perubahan yang ditawarkan Anies - Muhaimin, yang dipikirnya merupakan bencana bagi mereka. Padahal Anies tak sekali dua kali menjelaskan bahwa yang dimaksud perubahan, bukan mengecilkan yang besar. Tetapi membesarkan yang kecil sembari tetap membesarkan yang besar.
Apakah Anies membual? Tidak. Sebab, sebagai sosok yang paham ilmu ekonomi, Bacapres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan itu sadar betul, bahwa untuk membangun negeri ini diperlukan kolaborasi dari semua komponen bangsa, tak terkecuali dengan mereka sekelompok kecil penguasa modal yang berlindung di balik rezim.
Tetapi mereka sudah terlanjur menikmati kondisi Indonesia hari ini yang sedang tak baik-baik saja, tak rela kenikmatannya terusik, tetap tak peduli. Sehingga, melalui tangan-tangan kelompok oportunis penikmat kekuasaan, hamba rezim, penjegalan itu terus saja dilakukan terhadap Anies, dan juga Muhaimin.
Masih ingat sebelum ini? Pada 29 Juli 2023 di Kota Bekasi, Anies dijegal. Izin penggunaan Stadion Patriot Candrabhaga tiba-tiba dicabut oleh Pj. Walikota Bekasi, Tri Adhianto, yang merupakan kader PDI-P, sehari sebelum kegiatan “Senam Bareng Rakyat” berlangsung.
Tak kalah menyakitkan adalah penjegalan dialami oleh Muhaimin di Tanah Laut, Kalsel, pada 05 September 2023. Cak Imin, begitu ia sapa, tiba-tiba tak diperkenankan membuka acara MTQ Internasional di Tanah Laut, padahal ia sudah berada di lokasi, dan, Cak Imin diundang khusus untuk itu.
Masalahnya adalah tiga hari sebelumnya, 02 September 2023, Cak Imin telah resmi berpasangan dengan Anies sebagai Bacapres – Bacawapres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan.
Cara-cara tak beradab semacam itu, sebaiknya tidak diteruskan. Sebab tidak hanya menyakiti Anies dan Cak Imin, tapi juga menyakiti puluhan juta massa pendukungnya. Mungkin Anies dan Cak Imin bisa menerima dengan jiwa besar, tetapi massa pendukungnya?
Itu sebabnya penggalan pidato pembelaan Bung Karno, “Indonesia Menggugat”, sengaja penulis kutipkan di depan, untuk mengingatkan bahwa massa pendukung Anies dan Cak Imin, bukanlah seekor cacing yang hanya bisa menggeliat dan berbolak-balik ketika disakiti (ym).
Makassar, 11 Oktober 2023.
Oleh Yarifai Mappeaty
Pemerhati Sosial Politik
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.