Direktur Eksekutif Amnesty Usman Hamid mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan sosok pemimpin yang menggunakan pendekatan politik populisme. Dia menilai hal ini pula yang ingin dibangun Jokowi lewat dua anaknya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Hal itu disampaikan Usman di hadapan sejumlah rektor perguruan tinggi, pengamat, dan aktivis demokrasi di Indonesia yang diselenggarakan di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (14/11).
Hadir sebagai narasumber yaitu pakar hukum dari UGM Prof. Zaenal Arifin Mochtar, pakar politik Ikrar Nusa Bhakti, Direktur Eksekutif Amnesty Usman Hamid, pakar tata hukum negara Bivitri Susanti, dan Refly Harun. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menjadi moderator acara.
"Apa saja gejala-gejala demokrasi kita mengalami resesi. Mobilisasi populisme. Jokowi sangat kental dengan ini. Sekarang yang dibangun dengan Kaesang dan juga dengan Gibran bukan hanya politik dinasti tetapi membangun populisme. Seolah-olah ada seorang penyelamat anak muda yang akan memperbaiki Indonesia dari segala ancaman-ancaman itu," kata dia dalam diskusi bertajuk Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik.
Usman Hamid mengatakan demokrasi Indonesia tentang kebebasan sedang mengalami resesi. Demikian juga demokrasi secara ekonomi tentang kesejahteraan dan keadilan sosial, sedang mengalami resesi.
Karena itu, dia meragukan pelaksanaan Pemilu 2024 nantinya akan berjalan jujur dan adil.
"Mungkin pemilu tahun depan menjadi pemilu pertama di era reformasi yang tidak jujur dan tidak adil. Karena itu kita harus menghentikan kemungkinan itu terjadi," kata dia.
Dia juga mengutip temuan Freedom House yang menyebutkan skor kebebasan Indonesia mengalami penurunan sejak 2017 hingga 2023. "Ini sudah kami ingatkan dari tahun pertama Jokowi berkuasa," tambah Usman.
Usman juga menyoroti hukum represif yang terjadi di Indonesia. Menurut dia, hal itu sebenarnya bukan karena kultur kekerasan atau aparat yang arogan. Namun, aparat dipaksa harus melaksanakan agenda pembangunan atau mengamankan investasi.
"Tentara-polisi jadi instrumen pemerintah yang berkuasa, kembali menjadi instrumen pembangunan, bukan alat negara di sektor pertahanan," kata Usman.
Usman Hamid juga mengutip temuan Dosen University of Sydney Thomas Power yang menyebutkan menguatnya penyalahgunaan kekuatan hukum sebagai senjata untuk mengendalikan kekuasaan berbasis partai.
Dalam tulisan Thomas Power, lanjut Usman, 5 tahun pemerintahan Jokowi banyak sekali yang menunjukkan aparat hukum sebagai senjata untuk mengendalikan parpol. Hal ini pun terjadi pada Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
"Jadi, kejaksaan dipakai untuk menekan Golkar, men-drill ketua umumnya Airlangga dengan ancaman proses hukum dan kalau ia tidak tunduk pada pemerintah diproses hukum lebih lanjut. Tetapi karena dia kemudian secara mendukung rencana Jokowi, misalnya mencalonkan Prabowo dan Gibran maka proses hukum itu dihentikan. Jadi, saya kira sekarang bukan hanya polisi dan jaksa yang sekarang digunakan sebagai senjata untuk mengendalikan oposisi tetapi juga KPK," kata dia.
Sumber: jpnn
Foto: Direktur Eksekutif Amnesty Usman Hamid. Foto: Source for JPNN