Babak Baru Polemik Putusan MK Soal Batas Usia Capres dan Cawapres, Polisi Kini Terlibat! -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Babak Baru Polemik Putusan MK Soal Batas Usia Capres dan Cawapres, Polisi Kini Terlibat!

Minggu, 19 November 2023 | November 19, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-11-19T08:52:43Z


WANHEARTNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang berujung pada pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua MK kini menjumpai babak baru.


Kepolisian kini terlibat, dengan memproses laporan nomor LP/B/356/XI/2023/SPKT/ Bareskrim Polri tertanggal 8 November 2023 dengan pelapor pihak Pengacara Pembela Pilar Konstitusi (P3K).


Polri tengah menyelidiki kasus dugaan kebocoran informasi Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK terkait putusan capres dan cawapres tersebut.


Sebab informasi RPH yang harusnya menjadi rahasia negara justru bocor dan diberitakan salah satu media massa lewat informan.


"Laporan sudah kita terima dan saat ini kami sedang melaksanakan penyelidikan," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro saat dikonfirmasi, Jumat (17/11/2023).


Saat ini, Polri sudah menyelidiki lima saksi. Namun belum diketahui pasti siapa saja saksi-saksi yang diperiksa di Mabes Polri.


Berawal dari putusan MK


Adapun informasi kebocoran RPH yang dimaksud adalah RPH dalam penanganan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.


Dalam perkara tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.


Catatannya, selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui Pemilu.


Putusan MK ini lantas menuai kontroversi. Sebab sebelum menyidangkan putusan, di hari yang sama, MK telah lebih dulu menolak tiga putusan batas usia minimal capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.


Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 pun, tampak empat hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dua hakim di antaranya adalah Saldi Isra dan Arief Hidayat.


Dalam dissenting opinion-nya, Saldi Isra mengaku bingung atas putusan itu.


Ia mengaku baru pertama kali mengalami peristiwa aneh yang luar biasa sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah Konstitusi pada 11 April 2017, atau sekitar 6,5 tahun lalu.


Pasalnya, MK bisa berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.


Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023 yang diputuskan ditolak di pagi hari, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya.


Namun, keputusan di hari yang sama pada siang menjelang sore hari, MK mengabulkan bahwa kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres selama memiliki pengalaman menjadi kepala daerah.


"Baru kali ini saya mengalami peristiwa "aneh" yang "luar biasa" dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Sadar atau tidak, ketiga putusan (tadi pagi) tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," kata Saldi Isra saat membaca pendapat berbeda (dissenting opinion) di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).


Sementara Arief Hidayat, mengaku merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres.


Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya. Salah satu keganjilannya adalah soal penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda dalam perkara lain yang sama.


Bahkan, prosesnya memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK, dan 1 bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.


Ia mengakui, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan.


"Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila," bebernya.


Disebut langgengkan politik dinasti


Putusan MK ini seolah melanggengkan politik dinasti, sebab membuka jalan lebar bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang belum genap berusia 40 tahun, melenggang dalam kontestasi Pilpres 2024.


Tak lama, Koalisi Indonesia Maju (KIM) benar-benar memilih Gibran sebagai bakal calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.


Polemik putusan MK ini lantas menjadi perhatian publik, hingga diberitakan berbagai media massa termasuk Majalah Tempo.


Dalam reportase Majalah Tempo edisi 22 Oktober 2023 bertajuk "Skandal Mahkamah Keluarga", beberapa hari setelah perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus, diduga terjadi kebocoran RPH.


Pasalnya, laporan itu mengurai secara rinci peristiwa yang terjadi dalam RPH. Salah satu narasumbernya disebut merupakan petinggi MK.


9 hakim dinyatakan melanggar kode etik


Buntut kebocoran laporan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) lantas menyatakan sebanyak 9 hakim konstitusi melanggar kode etik karena membiarkan kebocoran informasi mengenai RPH.


Sembilan hakim itu diberi sanksi teguran lisan secara kolektif lewat sidang pengucapan putusan MKMK di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023). Sidang ini juga memutus Anwar Usman dicopot dari Ketua MK, namun tidak diberhentikan menjadi hakim konstitusi.


"Para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip kepantasan dan kesopanan," ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan.


MKMK meyakini kebocoran informasi boleh jadi terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja dilakukan hakim MK, meski tidak ada hakim MK yang mengetahui siapa sosok yang membocorkan RPH.


Hakim MK dinilai secara kolektif punya kewajiban hukum dan moral untuk menjaga agar informasi rahasia yang dibahas supaya tidak bocor. Di sisi lain, sembilan Hakim MK juga dinilai MKMK secara bersama-sama membiarkan konflik kepentingan terjadi.


Kini, kebocoran RPH ini diusut oleh Polri. Aparat menyatakan masih mempelajari perkara lebih lanjut.


"Saat ini kami sudah mengklarifikasi lima orang saksi dan kami sedang mempelajari perkara ini lebih lanjut," ujar Brigjen Djuhandhani.


Sumber: Kompas

×
Berita Terbaru Update
close