WANHEARTNEWS.COM - Saat kunjungan kerja ke AS, Presiden Jokowi bertemu Chairman and Chief Executive Officer Freeport-McMoRan Inc, Richard Adkerson.
Dalam pertemuan ini, Jokowi janjikan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI/Freeport) selama 20 tahun (2041-2061).
Keputusan Jokowi, menurut pakar ekonomi energi UGM, Fahmy Radhi, sangat merugikan pemerintah Indonesia.
"Bahkan Jokowi ngebet, perjanjian perpanjangan kontrak itu, harus sudah diteken pada akhir November 2023," papar Fahmy, Jakarta, Sabtu (18/11/2023).
Imbalan perpanjangan kontrak itu, kata mantan Tim Reofrmasi Tata Niaga Migas itu, Freeport setorkan 10 persen saham kepada pemerintah, sehingga kepemilihan pemerintah di PTFI naik dari 51 persen, menjadi 61 persen.
Selain itu, pemerintah mensyaratkan pembangunan smelter baru di Papua Barat (Fakfak) untuk perpanjangan IUPK 2041-2061.
"Keputusan memperpanjang IUPK Freeport hingga 2061 sesungguhnya tidak sepadan dengan imbalan penambahan saham hanya 10 persen, apalagi penambahan saham itu baru diberikan setelah 2041," kata dia.
Memang, lanjut Fahmy, setelah tambahan saham 10 persen resmi menjadi milik pemerintah, memperkuat Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas hingga 61 persen. Tetapi itu tidak berarti apa-apa.
"Karena, pemegang saham mayoritas tidak otomatis menjadi pengendali operasional tambang Freeport. Pasalnya, berdasarkan perjanjian pada 2018, Freeport-McMoRan yang mengelola dan mengontrol manajemen operasi Freeport," terang Fahmy.
Sedangkan syarat pembangunan smelter di Papua Barat sesungguhnya bukan sebagai imbalan perpanjangan IUPK 2041-2061, tetapi sudah menjadi kewajiban Freeport untuk membangun Smelter di Indonesia berdasarkan Perjanjian 2018.
Pada saat keputusan perpanjangan IUPK 2021-2041, salah satu syaratnya adalah Freeport harus membangun smelter untuk hilirisasi di Indonesia.
Namun, lanjut Fahmy, hingga kini pembangunan smelter tidak kunjung selesai sehingga Freeport McMoran selalu minta izin relaksasi ekspor konsenterat, yang selalu diizinkan pemerintah.
Perpanjangan IUPK hingga 2061, menurut Fahmy, semakin menjauhkan impian Indonesia untuk mengembalikan Freeport sepenuhnya ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Pemerintah juga tidak dapat mengoptimalkan pengelolaan Freeport untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seperti amanah konstitusi.
"Pemerintahan Jokowi seharusnya berfikir ulang untuk membatalkan rencana perpanjangan IUPK Freeport 2041-2061," tuturnya. [Democrazy/Inilah]