WANHEARTNEWS.COM - Diperlukan gerakan dari kalangan terpelajar untuk menghentikan gerakan oligarki Presiden Joko Widodo.
Demikian penegasan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah merespons pernyataan Presiden Joko Widodo terkait dinasti politik setelah putra sulungnya, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming, menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.
Menurut Jokowi bahwa hasil dari pemilihan umum akan ditentukan dari pilihan rakyat. Sebab, rakyatlah yang punya hak untuk memilih pemimpin mereka lewat pemilihan umum.
"Perlu ada gerakan kelas terpelajar untuk menghentikan gerakan oligarki Jokowi. Rakyat hanya menerima hasil, rakyat Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh rakyat penerima hasil, bukan rakyat yang menentukan hasil,” kata Dedi lewat keterangannya, Jumat (17/11).
Belum lagi, kata Dedi, dengan kekuasaan yang dimiliki, Presiden Jokowi bisa saja mempergunakan perangkat negara.
“Soal netralitas aparatur negara yang kian diragukan, artinya Gibran juga Jokowi pada dasarnya sedang mempermainkan konstitusi. Mereka tidak memberikan jalan terbaik, tetapi memanfaatkan nama rakyat untuk memaksa mendapatkan legitimasi yang untungkan keduanya saja,” kata Dedi.
Menurutnya, pernyataan Jokowi soal dinasti politik tersebut hanya sekedar untuk menutupi pelanggaran konstitusi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jokowi dan Gibran secara teknis benar, memang semua tergantung rakyat. Hanya saja rakyat itu mereka tafsir sebatas kertas suara, dan kertas suara sepanjang kekuasaan oligarki memimpin, punya akses yang mendapatkan kertas suara lebih dulu sebelum sampai ke tangan rakyat yang sesungguhnya,” demikian Dedi.
UU di Rezim Jokowi Memang Didominasi Kepentingan Oligarki
Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky setuju dengan pendapat Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti yang mengatakan pembentukan Undang-undang (UU) pada tiga tahun rezim Joko Widodo didominasi oleh kepentingan oligarki.
“Faktanya memang UU di era rezim Jokowi selama beberapa tahun terakhir ini memang didominasi oleh kepentingan oligarki,” tuturnya.
Indikasinya, menurut Wahyudi, dapat dilihat dari UU yang dibentuk sangat merugikan rakyat bahkan merugikan negara.
“Contohnya apa? UU Minerba No 3 tahun 2020, UU Omnibus Law yang ditolak oleh hampir semua lapisan masyarakat, baik kalangan intelektual, kalangan dosen, kalangan akademisi, mahasiswa, buruh, kalangan ulama bahkan kalangan emak-emak menolak UU itu,” jelasnya.
Meskipun mendapatkan penolakan yang begitu besar, UU tersebut tetap jalan terus karena memang pro terhadap oligarki.
Menurut Wahyudi, lahirnya berbagai regulasi yang pro oligarki meskipun merugikan rakyat banyak disebabkan karena sistem pemerintahan di negeri mayoritas Muslim ini menggunakan sistem demokrasi yang begitu mahal.
Pesta demokrasi merupakan tempat bertemunya antara oligarki bisnis (yang punya uang) dengan oligarki politisi yang ingin meraih kekuasaan.
“Akhirnya saling ketergantungan dan ujungnya ketika duduk mereka membuat kebijakan maupun undang-undang yang bisa menguntungkan bisnis mereka dan bisa menguntungkan posisi jabatan mereka baik oligarki politik maupun oligarki ekonomi,” ungkapnya.
Dalam demokrasi, menurut Wahyudi, memang regulasi tidak bisa steril dari kepentingan oligarki.
Karena, justru regulasi maupun UU itu dibentuk karena kepentingan oligarki yang ingin mempertahankan kekuasaannya bahkan ingin memperbesar kekuasaannya dalam konteks politik.
“Ini karena sistem demokrasi memang memproduksi regulasi yang pro oligarki,” pungkasnya. [istr]