Ratusan ribu demonstran pro-Israel memadati area National Mall di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (14/11). Sembari membawa bendera kedua negara, mereka menyerukan solidaritas kepada Israel atas pertempurannya dengan Hamas dan mengecam kaum antisemit.
Aksi solidaritas pro-Israel terbesar di Washington sejak 7 Oktober ini dihadiri sekitar 200 ribu orang — mereka mendukung kebijakan AS yang menolak diadakannya gencatan senjata di Jalur Gaza.
Dikutip dari Reuters, salah seorang demonstran benerma Ariel Ben-Chitrit (33) berpendapat gencatan senjata hanya memberi manfaat sepihak untuk Hamas.
"Gencatan senjata adalah jeda yang memungkinkan Hamas untuk mempersenjatai diri," ujar Ben-Chitrit. Ia kemudian menyalahkan Hamas atas penderitaan warga Palestina dan krisis kemanusiaan di berbagai rumah sakit di Jalur Gaza.
Menurut Ben-Chitrit, satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik itu adalah dengan menumpas habis Hamas. "Hamas telah membuktikan bahwa mereka tidak tertarik pada perdamaian," tutup dia.
Namun, di balik demo besar-besaran di Washington tersebut media sosial dikagetkan oleh informasi memalukan — kaum zionis diduga memberi 'sogokan' agar para mahasiswa AS hadir dan berpartisipasi.
'Disogok' Rp 3,9 Juta per Orang
Morocco World News melaporkan, sebuah screenshot postingan di Facebook mengumumkan Koalisi Kampus Israel (Israel on Campus Coalition/ICC) menawarkan bayaran sebesar USD 250 (Rp 3,9 juta) kepada mahasiswa di AS jika mereka menghadiri demo tersebut.
Dalam postingan Facebook yang diunggah seorang wanita bernama Shaine Phillips satu minggu sebelum aksi demo berlangsung, tertulis bahwa sekitar 1 juta orang diharapkan bakal berpartisipasi pada demonstrasi 14 November kemarin.
"ICC menawarkan USD 250 bagi para mahasiswa untuk menghadiri aksi tersebut, yang diperkirakan akan menjadi salah satu aksi pro-Israel terbesar dalam sejarah," tulis dia.
"Unjuk rasa ini disponsori oleh Jewish Federations of North America dan Conference of Presidents of Major American Jewish Organizations," tambahnya.
Dikatakan bahwa bagi setiap mahasiswa yang ingin bergabung dan menerima penggantian uang jalan — mereka hanya perlu mengisi sebuah formulir online. "Sekali lagi, ICC menawarkan USD 250 per mahasiswa untuk mengikuti demo di Washington DC," demikian bunyi postingan tersebut.
Postingan yang menunjukkan keputusasaan zionis Israel ini memicu berbagai komentar pedas dari netizen. "Jadi sekarang Israel begitu 'putus asa' untuk mengadakan 'demonstrasi pro Israel' sehingga mereka siap untuk mengumpulkan 'massa' di Washington DC dan siap untuk menyuap para mahasiswa untuk menghadiri demonstrasi tersebut," tulis salah seorang netizen.
"Ini hanya membuktikan bahwa Israel mungkin telah memenangkan pertempuran namun kalah dalam perang," tambahnya.
Sejumlah netizen lain juga berpendapat serupa. "ICC menawarkan USD 250 kepada para mahasiswa untuk mengajak mereka menghadiri demonstrasi pro-Israel di Washington DC — bicara tentang tindakan putus asa," tulis dia.
Adapun strategi memalukan Israel ini muncul pada pekan yang sama, ketika lembaga think-tank Brookings Institutions mempublikasikan laporan terbaru perihal menurunnya tren pendukung Israel di AS.
Penurunan dukungan terhadap Israel dan Presiden Joe Biden terjadi, di tengah serangan yang semakin intensif di Jalur Gaza.
"Hasil voting terbaru kami, yang diambil 4 minggu setelah serangan itu, selama periode ketika perhatian nasional dan internasional telah bergeser ke serangan-serangan Israel berikutnya di Jalur Gaza, menunjukkan bahwa Israel telah kehilangan sebagian besar dukungan awal, terutama di kalangan kaum Demokrat," demikian bunyi laporan Brookings Institutions tertanggal 8 November.
Hasil voting juga menunjukkan, pendukung Partai Demokrat — terutama kaum muda di AS, memandang Biden sudah terlalu 'pro-Israel' dibandingkan ketika awal konflik Oktober lalu.
Sumber: kumparan
Foto: Warga Amerika Israel dan pendukung Israel berkumpul dalam solidaritas dengan Israel dan memprotes antisemitisme, di tengah konflik yang berlangsung antara Israel dan kelompok Palestina Hamas, selama rapat umum di National Mall di Washington (14/11). Foto: Leah Millis/REUTERS