Pakar politik, Prof Ikrar Nusa Bhakti, menyebut ada perbedaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dulu dengan sekarang. Menurutnya, Jokowi saat ini dinilai bak “raja”.
Prof Ikrar Nusa Bhakti menyampaikan pernyataan itu, merujuk sikap Presiden Joko Widodo di penghujung masa baktinya sebagai kepala negara yang seakan mulai menunjukkan haus kekuasaan.
Mulai dari upaya presiden tiga periode yang kemudian gagal, hingga keterlibatan adik ipar Jokowi, Anwar Usman, yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara gugatan uji materiil batas usia capres-cawapres.
Putusan itu yang kemudian seolah memberi karpet merah bagi anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres diusianya yang belum 40 tahun.
“Saya melihat Jokowi ini yang tadinya ‘Jokowi Adalah Kita’ sekarang sudah menjadi ‘Jokowi seperti Raja’. Itu yang saya pikir nggak benar ini,” kata Prof Ikrar saat wawancara khusus dengan News Manager Tribun Network, Rachmat Hidayat, di Studio Tribunnews, Kompleks Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta pada Senin (13/11).
Sikap Jokowi tersebut, kata Prof Ikrar, membuat banyak pihak mengkritiknya. Termasuk dirinya yang sebelumnya mendukung Jokowi, berbalik ikut mengkritik. “Jadi itulah yang kemudian orang melihat, wah ini bisa bahaya nih.
Kalau MK saja suatu lembaga yudikatif tertinggi di republik ini bisa di mainkan oleh presiden, apalagi kemudian badan-badan lain,” ujarnya mengkritisi.
Prof Ikrar pun mengaku sebenarnya berharap Presiden Jokowi dalam mengakhiri jabatannya dapat meninggalkan legacy positif atas capaian dan kinerjanya memimpin Indonesia, bukan justru memainkan perannya di Pilpres 2024.
Prof Ikrar yang dulu turut mengawal langkah Presiden Jokowi, juga merasa kecewa dan khawatir.
Dia menyinggung bagaimana hukum dan aturan dipermainkan di era akhir masa pemerintahan Jokowi.
Dia juga mengingatkan soal ancaman yang mungkin saja terjadi di masa akhir Presiden jika kondisi politik dan ekonomi saat ini tak bisa diselesaikan dengan baik.
Tak lupa, dia juga menyinggung soal netralitas aparat TNI-Polri serta perangkat negara lainnya. Sebab, ada dugaan bahwa seluruh alat negara itu bisa dipergunakan untuk memuluskan pasangan Prabowo-Gibran.
Terlebih, saat ini, Presiden Jokowi tengah di kelilingi orang-orang dekatnya yang merupakan “genk Solo”.
Berikut petikan wawancara dengan Prof. Ikrar Nusa Bhakti dengan News Manager Tribun Network, Rachmat Hidayat, terkait kondisi politik, serta kritikan terhadap Presiden Jokowi di akhir-akhir masa pemerintahannya:
Prof Ikrar sangat khawatir dengan Pak Jokowi, takut endingnya setelah usai pemerintahannya Pak Jokowi malah tidak baik. Atau mungkin Prof juga bisa menangkap atau melihat orang di lingkarannya Pak Jokowi memiliki sudut pandang yang berbeda, kemudian Jokowi bersikap tidak konsisten atau pernyataannya sendiri?
Ya, jadi begini. Ada beberapa poin yang menjauhkan saya menjadi orang yang sangat kritis. Satu, saya juga enggak ingin, ya, Pak Jokowi itu apa namanya itu mengakhiri masa jabatannya dengan yang saya katakan hard landing atau bahkan crash landing. Makanya ketika beliau bicara mengenai ada drama Korea dan sebagainya, saya jadi ingat itu film Crash Landing On You.
Jadi hal ini yang saya enggak mau terjadi, karena buat buat kami, buat saya pribadi, Pak Jokowi itu tahun 2014 itu adalah seorang calon presiden yang idealkan dengan moto “Jokowi Adalah Saya” dan kemudian beliau menjadi presiden dan kita harapkan inilah presiden yang ideal bagi Indonesia pada saat itu bahkan sampai 2019 itu.
Tapi, kalau kemudian beliau kemudian ingin mengangkat anaknya menjadi calon wakil presiden dan kemudian dengan memaksakan dengan berbagai cara atau itu apa namanya, itu pokoknya dengan cara-cara yang tidak benar, itu yang kemudian menjadikan kami beberapa orang yang pernah menjadi pendukung keras beliau itu kan menjadi sangat kritis.
Anda lihat saja ada Mas Goenawan Muhamad di situ, ada kemudian juga budayawan juga, beberapa juga apa namanya tokoh-tokoh agama yang baru saja membuat suatu pernyataan di rumah Gus Mus, kemarin.
Itu juga sebenarnya sama intinya, bahwa apa namanya tuh, janganlah anda berbuat begitu, karena saya melihat Jokowi ini yang tadinya “Jokowi Adalah Kita” sekarang sudah menjadi “Jokowi seperti Raja”. Itu yang saya pikir enggak benar ini karena ini berarti saya teringat oleh puisinya Gus Mus “Kok Ini Republik Rasa Kerajaan”.
Jadi itulah yang kemudian membuat banyak orang itu marah, banyak orang itu mengkritik. Kenapa demikian, karena lagi-lagi kalau dia misalnya mengajukan Gibran menjadi calon presiden ketika anaknya itu sudah berusia 40 tahun, fine. Ketika dia tidak lagi berkuasa, fine, tidak ada persoalan apa namanya itu bangunan dinasti yang akan dipersoalkan oleh masyarakat.
Jadi tapi kalau anda lihat ya ini sudah melanggar hukum, kemudian dilakukan ketika beliau masih menjadi presiden, karena saya yakin, bukan lagi saya menduga, saya yakin akan terjadi abuse of power yang katalog lauge action itu ya apa namanya itu “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.
Sekarang, walaupun Presiden Jokowi itu tidak berkuasa secara absolute, tetapi tidak ada kekuatan politik apa pun, tidak ada tokoh-tokoh politik apa pun, tidak ada institusi bangunan dari trias politika apa pun, ya yang bisa menjadi penyeimbang dari kekuasaan eksekutif yang dimiliki oleh Jokowi.
Not even parlemen, not even di badan-badan yudikatif karena badan yudikatif juga sudah menjadi kaki tangan dari Presiden itu sendiri. Jadi itulah yang kemudian orang melihat, wah ini bisa bahaya nih. Kalau MK saja suatu lembaga yudikatif tertinggi di republik ini bisa dimainkan oleh presiden, apalagi kemudian badan-badan lain seperti polisi, juga KPK, dan juga kemudian juga Kejaksaan Agung dan sebagainya dan sebagainya.
Prof, sekarang saya mau tanya sudut pandang Prof, netralitas saat rakyat akan berdemokrasi. Dari aparat. Apakah kemudian Prof merasa khawatir akan netralitas yang akan dilakukan oleh para aparat, termasuk penyelenggara pemilu?
Ya, persoalan penyelenggara pemilu atau khusus KPU dan Bawaslu ini kan menjadi satu pertanyaan besar. Kenapa demikian, ya, karena waktu kemarin menyisir misalnya partai-partai yang layak menjadi partai yang berhak ikut pemilihan umum itu pun juga ada persoalan.
Kedua, KPU sendiri waktu itu juga tidak mendesak supaya KPU kemarin tuh kan begitu putusan MK nomor 90 itu keluar langsung dia membuat suatu surat-surat tanpa membuat PKPU yang baru.
Itu kan kemudian kita tanyakan, kemudian, sebetulnya sadar enggak sih, tanpa PKPU yang baru itu enggak bisa ini dan anda jangan lupa lho ya, masuknya diterimanya Gibran menjadi cawapres itu dilakukan sebelum PKPU yang baru itu diterbitkan.
Nah, kalau ini terjadi, bukan mustahil ada orang yang mempertanyakan juga, loh legitimasinya gimana, belum ada PKPU yang baru, kok tiba-tiba sudah lolos bisa masuk menjadi cawapres saja, sudah diterima oleh KPU di Jalan Imam Bonjol.
Jadi itulah pertanyaan-pertanyaan.
Kedua, anda juga tahu ada persoalan juga ya KPU dan Bawaslu itu punya satu MoU dengan kepolisian RI mengenai bahwa KPU kalau punya CCTV dengan high distinction, dengan ketepatan yang tinggi bahkan juga katanya suara juga harus masuk ke situ dan ini nanti ada linknya dengan polres di seluruh Indonesia.
Anda bisa bayangkan kalau itu terjadi, walaupun itu katanya hasil dari sebuah MoU. Kalau itu memang dibuat setelah pemilihan umum terjadi selesai, fine.
Tapi kalau itu terjadi pada era menjelang pemilu bahkan menjelang kampanye pemilu, apakah itu bukan berarti akan ada ada suatu proses yang berpengaruh yang dilakukan oleh polisi terhadap KPU dan dan Bawaslu itu sendiri. Jadi hal-hal semacam itu mungkin ini mungkin orang yang mengatakan “ah itu biasa, kenapa semuanya dicurigai”.
Nggak bisa, bung, karena persoalan di sini adalah persoalan bagaimana institusional namanya Polri itu akan benar-benar netral di dalam pelaksanaan pemilu ini. Karena terus terang kenapa itu banyak kecurigaan orang, karena memang terus terang Kapolri orang yang sangat dekat dengan presiden pada saat ini.
Nanti, Panglima TNI yang baru yang sedang diproses di DPR dan kemudian KSAD yang baru ini juga memiliki hubungan dekat dengan presiden. Baik dirinya sendiri atau mertuanya.
Jadi itulah yang kemudian mengatakan this like all the presidentment, ini semuanya orang presiden. Dan kalau Anda nonton film All The President Man, kasus presiden yang kemudian mengambil data-data dari kantor Partai Demokrat, apakah itu enggak sama kalau kemudian polisi bisa aja mengambil data-data dari KPU dan Bawaslu ketika proses-proses ini sedang berlangsung.
Apakah data itu bukan berarti bisa menjadi data intelijen, yang terjadi yang kebetulan terbuka karena kebetulan ada hubungan MoU yang di situ. Tapi ada jangan lupa ya, namanya data, data-data yang seperti itu kan bisa digunakan baik untuk kepentingan yang positif ataupun kepentingan yang negatif.
Prof mungkin ada pesan yang ingin disampaikan kepada Pak Presiden Jokowi?
Saya sudah berkali-kali mengatakan bahwa saya tidak ingin presiden itu mendapatkan apa yang disebut dengan impeachment atau pemakzulan, karena proses-proses seperti ini.
Karena saya juga enggak mau ini menjadi presiden yang keempat, yang turun karena persoalan-persoalan politik, saya beri contoh Bung Karno kan juga ada intervensi dari luar, ada demonstrasi dari dalam negeri, juga persoalan konflik antara PKI dengan TNI AD. Kemudian Pak Harto juga ada demonstrasi yang besar dan ada juga institusi internasional, yaitu IMF yang menyebabkan beliau jatuh.
Dan jangan lupa, ya masa hadir pemerintahan Jokowi khususnya menjelang pemilu ini, ini adalah masa yang paling sulit. Kenapa saya katakan sebagai sulit, di tengah gonjang-ganjing perang di Ukraina dan Palestina, di Gaza, ini akan menyebabkan itu berarti perekonomian internasional juga terganggu.
Anda tahu bahwa harga minyak dunia ada yang kemudian mengingatkan bisa menjadi 150 dollar AS per barel. Kalau itu terjadi, Anda bisa bayangkan berapa harga minyak atau BBM di Indonesia.
Dan kalau itu naik, berapa lagi uang yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga setiap rumah tangga di Indonesia untuk kemudian bisa survive lah. Karena sekarang saja ya, itu banyak rumah tangga yang sudah mengurangi penggunaan listrik, bahkan listriknya cuma 900 watt.
Pengeluaran untuk makan juga dikurangi yac karena memang harga bahan-bahan pangan menanjak. Bukan cuma beras, tapi juga bahan-bahan yang lain ya, termasuk sayuran dan daging dan ikan.
Dan anda lihat juga, gara-gara ekonomi internasional yang boleh dikatakan terganggu, itu mengakibatkan ekspor-impor terganggu dan kemudian apa artinya kalau kemudian impor dari negara luar dari produk Indonesia khususnya yang dari kalangan manufacture industry city berkurang, berapa jumlah orang yang akan kena PHK akibat dari persoalan ekonomi internasional ini.
Dan kalau itu terjadi, bagaimana nasib dari anak-anak Indonesia. Dan kemudian kalau kita perhatikan lagi bagaimana nilai tukar Dollar terhadap Rupiah. Sekarang akhir pekan ini agak lumayan naik, dari misalnya Rp15.900 atau Rp15.800 sekarang kalau enggak salah hari ini tuh Rp15.600 dan pernah Rp15.500.
Tapi Anda tahu untuk menstabilkan nilai Rupiah terhadap Dollar itu, berapa Bank Indonesia kemudian menggunakan cadangan devisa negara. Kalau kemudian cadangan devisa negara itu dipakai, anda tahu bagaimana menggunakan devisa negara ini bisa digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain, buat rakyat Indonesia.
Dan Anda tahu, kalau ini kemudian perang di Ukraina dan di Palestina berlangsung langsung terus, just in chase problem ekonomi internasional naik, kalau kemudian dinilai itu ke Rupiah mencapai di atas Rp16.000, anda bisa bayangkan atau bahkan seperti yang terjadi pada tahun 97, di mana nilai dollar itu mencapai Rp10.000 per US Dollar, langsunglah orang pasti akan menjual dollarnya atau membeli dollar banyak-banyak, akibatnya ekonomi Indonesia akan runtuh seperti pada kasus 97-98.
Kalau itu terjadi, tidak bisa tahu kan, kira-kira apa yang terjadi pada Presiden Jokowi saat ini. Jadi itu yang harus diperhatikan. Dan karena itu, menurut saya, gunakanlah cadangan devisa negara, uang tabungan negara untuk sebaik-baiknya untuk kemaslahatan umum, ketimbang digunakan anggaran tersebut untuk kemudian membeli suara dari masyarakat untuk kemenangan pasangan Prabowo-Gibran.
Sebab, kalau itu terjadi, saya bisa membayangkan, anda bisa membayangkan berapa triliun rupiah yang dikeluarkan oleh APBN hanya untuk menjadikan seorang anak presiden menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Sumber: tribunnewsFoto: Profesor Ikrar Nusa Bakti/Net
http://dlvr.it/SysLN4
Prof Ikrar Nusa Bhakti menyampaikan pernyataan itu, merujuk sikap Presiden Joko Widodo di penghujung masa baktinya sebagai kepala negara yang seakan mulai menunjukkan haus kekuasaan.
Mulai dari upaya presiden tiga periode yang kemudian gagal, hingga keterlibatan adik ipar Jokowi, Anwar Usman, yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara gugatan uji materiil batas usia capres-cawapres.
Putusan itu yang kemudian seolah memberi karpet merah bagi anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres diusianya yang belum 40 tahun.
“Saya melihat Jokowi ini yang tadinya ‘Jokowi Adalah Kita’ sekarang sudah menjadi ‘Jokowi seperti Raja’. Itu yang saya pikir nggak benar ini,” kata Prof Ikrar saat wawancara khusus dengan News Manager Tribun Network, Rachmat Hidayat, di Studio Tribunnews, Kompleks Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta pada Senin (13/11).
Sikap Jokowi tersebut, kata Prof Ikrar, membuat banyak pihak mengkritiknya. Termasuk dirinya yang sebelumnya mendukung Jokowi, berbalik ikut mengkritik. “Jadi itulah yang kemudian orang melihat, wah ini bisa bahaya nih.
Kalau MK saja suatu lembaga yudikatif tertinggi di republik ini bisa di mainkan oleh presiden, apalagi kemudian badan-badan lain,” ujarnya mengkritisi.
Prof Ikrar pun mengaku sebenarnya berharap Presiden Jokowi dalam mengakhiri jabatannya dapat meninggalkan legacy positif atas capaian dan kinerjanya memimpin Indonesia, bukan justru memainkan perannya di Pilpres 2024.
Prof Ikrar yang dulu turut mengawal langkah Presiden Jokowi, juga merasa kecewa dan khawatir.
Dia menyinggung bagaimana hukum dan aturan dipermainkan di era akhir masa pemerintahan Jokowi.
Dia juga mengingatkan soal ancaman yang mungkin saja terjadi di masa akhir Presiden jika kondisi politik dan ekonomi saat ini tak bisa diselesaikan dengan baik.
Tak lupa, dia juga menyinggung soal netralitas aparat TNI-Polri serta perangkat negara lainnya. Sebab, ada dugaan bahwa seluruh alat negara itu bisa dipergunakan untuk memuluskan pasangan Prabowo-Gibran.
Terlebih, saat ini, Presiden Jokowi tengah di kelilingi orang-orang dekatnya yang merupakan “genk Solo”.
Berikut petikan wawancara dengan Prof. Ikrar Nusa Bhakti dengan News Manager Tribun Network, Rachmat Hidayat, terkait kondisi politik, serta kritikan terhadap Presiden Jokowi di akhir-akhir masa pemerintahannya:
Prof Ikrar sangat khawatir dengan Pak Jokowi, takut endingnya setelah usai pemerintahannya Pak Jokowi malah tidak baik. Atau mungkin Prof juga bisa menangkap atau melihat orang di lingkarannya Pak Jokowi memiliki sudut pandang yang berbeda, kemudian Jokowi bersikap tidak konsisten atau pernyataannya sendiri?
Ya, jadi begini. Ada beberapa poin yang menjauhkan saya menjadi orang yang sangat kritis. Satu, saya juga enggak ingin, ya, Pak Jokowi itu apa namanya itu mengakhiri masa jabatannya dengan yang saya katakan hard landing atau bahkan crash landing. Makanya ketika beliau bicara mengenai ada drama Korea dan sebagainya, saya jadi ingat itu film Crash Landing On You.
Jadi hal ini yang saya enggak mau terjadi, karena buat buat kami, buat saya pribadi, Pak Jokowi itu tahun 2014 itu adalah seorang calon presiden yang idealkan dengan moto “Jokowi Adalah Saya” dan kemudian beliau menjadi presiden dan kita harapkan inilah presiden yang ideal bagi Indonesia pada saat itu bahkan sampai 2019 itu.
Tapi, kalau kemudian beliau kemudian ingin mengangkat anaknya menjadi calon wakil presiden dan kemudian dengan memaksakan dengan berbagai cara atau itu apa namanya, itu pokoknya dengan cara-cara yang tidak benar, itu yang kemudian menjadikan kami beberapa orang yang pernah menjadi pendukung keras beliau itu kan menjadi sangat kritis.
Anda lihat saja ada Mas Goenawan Muhamad di situ, ada kemudian juga budayawan juga, beberapa juga apa namanya tokoh-tokoh agama yang baru saja membuat suatu pernyataan di rumah Gus Mus, kemarin.
Itu juga sebenarnya sama intinya, bahwa apa namanya tuh, janganlah anda berbuat begitu, karena saya melihat Jokowi ini yang tadinya “Jokowi Adalah Kita” sekarang sudah menjadi “Jokowi seperti Raja”. Itu yang saya pikir enggak benar ini karena ini berarti saya teringat oleh puisinya Gus Mus “Kok Ini Republik Rasa Kerajaan”.
Jadi itulah yang kemudian membuat banyak orang itu marah, banyak orang itu mengkritik. Kenapa demikian, karena lagi-lagi kalau dia misalnya mengajukan Gibran menjadi calon presiden ketika anaknya itu sudah berusia 40 tahun, fine. Ketika dia tidak lagi berkuasa, fine, tidak ada persoalan apa namanya itu bangunan dinasti yang akan dipersoalkan oleh masyarakat.
Jadi tapi kalau anda lihat ya ini sudah melanggar hukum, kemudian dilakukan ketika beliau masih menjadi presiden, karena saya yakin, bukan lagi saya menduga, saya yakin akan terjadi abuse of power yang katalog lauge action itu ya apa namanya itu “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.
Sekarang, walaupun Presiden Jokowi itu tidak berkuasa secara absolute, tetapi tidak ada kekuatan politik apa pun, tidak ada tokoh-tokoh politik apa pun, tidak ada institusi bangunan dari trias politika apa pun, ya yang bisa menjadi penyeimbang dari kekuasaan eksekutif yang dimiliki oleh Jokowi.
Not even parlemen, not even di badan-badan yudikatif karena badan yudikatif juga sudah menjadi kaki tangan dari Presiden itu sendiri. Jadi itulah yang kemudian orang melihat, wah ini bisa bahaya nih. Kalau MK saja suatu lembaga yudikatif tertinggi di republik ini bisa dimainkan oleh presiden, apalagi kemudian badan-badan lain seperti polisi, juga KPK, dan juga kemudian juga Kejaksaan Agung dan sebagainya dan sebagainya.
Prof, sekarang saya mau tanya sudut pandang Prof, netralitas saat rakyat akan berdemokrasi. Dari aparat. Apakah kemudian Prof merasa khawatir akan netralitas yang akan dilakukan oleh para aparat, termasuk penyelenggara pemilu?
Ya, persoalan penyelenggara pemilu atau khusus KPU dan Bawaslu ini kan menjadi satu pertanyaan besar. Kenapa demikian, ya, karena waktu kemarin menyisir misalnya partai-partai yang layak menjadi partai yang berhak ikut pemilihan umum itu pun juga ada persoalan.
Kedua, KPU sendiri waktu itu juga tidak mendesak supaya KPU kemarin tuh kan begitu putusan MK nomor 90 itu keluar langsung dia membuat suatu surat-surat tanpa membuat PKPU yang baru.
Itu kan kemudian kita tanyakan, kemudian, sebetulnya sadar enggak sih, tanpa PKPU yang baru itu enggak bisa ini dan anda jangan lupa lho ya, masuknya diterimanya Gibran menjadi cawapres itu dilakukan sebelum PKPU yang baru itu diterbitkan.
Nah, kalau ini terjadi, bukan mustahil ada orang yang mempertanyakan juga, loh legitimasinya gimana, belum ada PKPU yang baru, kok tiba-tiba sudah lolos bisa masuk menjadi cawapres saja, sudah diterima oleh KPU di Jalan Imam Bonjol.
Jadi itulah pertanyaan-pertanyaan.
Kedua, anda juga tahu ada persoalan juga ya KPU dan Bawaslu itu punya satu MoU dengan kepolisian RI mengenai bahwa KPU kalau punya CCTV dengan high distinction, dengan ketepatan yang tinggi bahkan juga katanya suara juga harus masuk ke situ dan ini nanti ada linknya dengan polres di seluruh Indonesia.
Anda bisa bayangkan kalau itu terjadi, walaupun itu katanya hasil dari sebuah MoU. Kalau itu memang dibuat setelah pemilihan umum terjadi selesai, fine.
Tapi kalau itu terjadi pada era menjelang pemilu bahkan menjelang kampanye pemilu, apakah itu bukan berarti akan ada ada suatu proses yang berpengaruh yang dilakukan oleh polisi terhadap KPU dan dan Bawaslu itu sendiri. Jadi hal-hal semacam itu mungkin ini mungkin orang yang mengatakan “ah itu biasa, kenapa semuanya dicurigai”.
Nggak bisa, bung, karena persoalan di sini adalah persoalan bagaimana institusional namanya Polri itu akan benar-benar netral di dalam pelaksanaan pemilu ini. Karena terus terang kenapa itu banyak kecurigaan orang, karena memang terus terang Kapolri orang yang sangat dekat dengan presiden pada saat ini.
Nanti, Panglima TNI yang baru yang sedang diproses di DPR dan kemudian KSAD yang baru ini juga memiliki hubungan dekat dengan presiden. Baik dirinya sendiri atau mertuanya.
Jadi itulah yang kemudian mengatakan this like all the presidentment, ini semuanya orang presiden. Dan kalau Anda nonton film All The President Man, kasus presiden yang kemudian mengambil data-data dari kantor Partai Demokrat, apakah itu enggak sama kalau kemudian polisi bisa aja mengambil data-data dari KPU dan Bawaslu ketika proses-proses ini sedang berlangsung.
Apakah data itu bukan berarti bisa menjadi data intelijen, yang terjadi yang kebetulan terbuka karena kebetulan ada hubungan MoU yang di situ. Tapi ada jangan lupa ya, namanya data, data-data yang seperti itu kan bisa digunakan baik untuk kepentingan yang positif ataupun kepentingan yang negatif.
Prof mungkin ada pesan yang ingin disampaikan kepada Pak Presiden Jokowi?
Saya sudah berkali-kali mengatakan bahwa saya tidak ingin presiden itu mendapatkan apa yang disebut dengan impeachment atau pemakzulan, karena proses-proses seperti ini.
Karena saya juga enggak mau ini menjadi presiden yang keempat, yang turun karena persoalan-persoalan politik, saya beri contoh Bung Karno kan juga ada intervensi dari luar, ada demonstrasi dari dalam negeri, juga persoalan konflik antara PKI dengan TNI AD. Kemudian Pak Harto juga ada demonstrasi yang besar dan ada juga institusi internasional, yaitu IMF yang menyebabkan beliau jatuh.
Dan jangan lupa, ya masa hadir pemerintahan Jokowi khususnya menjelang pemilu ini, ini adalah masa yang paling sulit. Kenapa saya katakan sebagai sulit, di tengah gonjang-ganjing perang di Ukraina dan Palestina, di Gaza, ini akan menyebabkan itu berarti perekonomian internasional juga terganggu.
Anda tahu bahwa harga minyak dunia ada yang kemudian mengingatkan bisa menjadi 150 dollar AS per barel. Kalau itu terjadi, Anda bisa bayangkan berapa harga minyak atau BBM di Indonesia.
Dan kalau itu naik, berapa lagi uang yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga setiap rumah tangga di Indonesia untuk kemudian bisa survive lah. Karena sekarang saja ya, itu banyak rumah tangga yang sudah mengurangi penggunaan listrik, bahkan listriknya cuma 900 watt.
Pengeluaran untuk makan juga dikurangi yac karena memang harga bahan-bahan pangan menanjak. Bukan cuma beras, tapi juga bahan-bahan yang lain ya, termasuk sayuran dan daging dan ikan.
Dan anda lihat juga, gara-gara ekonomi internasional yang boleh dikatakan terganggu, itu mengakibatkan ekspor-impor terganggu dan kemudian apa artinya kalau kemudian impor dari negara luar dari produk Indonesia khususnya yang dari kalangan manufacture industry city berkurang, berapa jumlah orang yang akan kena PHK akibat dari persoalan ekonomi internasional ini.
Dan kalau itu terjadi, bagaimana nasib dari anak-anak Indonesia. Dan kemudian kalau kita perhatikan lagi bagaimana nilai tukar Dollar terhadap Rupiah. Sekarang akhir pekan ini agak lumayan naik, dari misalnya Rp15.900 atau Rp15.800 sekarang kalau enggak salah hari ini tuh Rp15.600 dan pernah Rp15.500.
Tapi Anda tahu untuk menstabilkan nilai Rupiah terhadap Dollar itu, berapa Bank Indonesia kemudian menggunakan cadangan devisa negara. Kalau kemudian cadangan devisa negara itu dipakai, anda tahu bagaimana menggunakan devisa negara ini bisa digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain, buat rakyat Indonesia.
Dan Anda tahu, kalau ini kemudian perang di Ukraina dan di Palestina berlangsung langsung terus, just in chase problem ekonomi internasional naik, kalau kemudian dinilai itu ke Rupiah mencapai di atas Rp16.000, anda bisa bayangkan atau bahkan seperti yang terjadi pada tahun 97, di mana nilai dollar itu mencapai Rp10.000 per US Dollar, langsunglah orang pasti akan menjual dollarnya atau membeli dollar banyak-banyak, akibatnya ekonomi Indonesia akan runtuh seperti pada kasus 97-98.
Kalau itu terjadi, tidak bisa tahu kan, kira-kira apa yang terjadi pada Presiden Jokowi saat ini. Jadi itu yang harus diperhatikan. Dan karena itu, menurut saya, gunakanlah cadangan devisa negara, uang tabungan negara untuk sebaik-baiknya untuk kemaslahatan umum, ketimbang digunakan anggaran tersebut untuk kemudian membeli suara dari masyarakat untuk kemenangan pasangan Prabowo-Gibran.
Sebab, kalau itu terjadi, saya bisa membayangkan, anda bisa membayangkan berapa triliun rupiah yang dikeluarkan oleh APBN hanya untuk menjadikan seorang anak presiden menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Sumber: tribunnewsFoto: Profesor Ikrar Nusa Bakti/Net
http://dlvr.it/SysLN4