JEMBER-Pakar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman Prof. M. Fauzan mengemukakan bahwa putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi berpengaruh terhadap legitimasi putusan MK tentang syarat calon presiden dan calon wakil presiden.
"Kondisi Mahkamah Konstitusi berada di titik nadir setelah peristiwa putusan MK 90 (putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023) yang mengubah syarat umur capres-cawapres," kata Fauzan dalam webinar series yang digelar Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dengan topik "Menakar Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi" pada Rabu.
Menurutnya, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini telah mengguncang prinsip negara hukum Indonesia dan putusan MKMK menunjukkan dengan terang benderang adanya problem serius di balik putusan MK 90.
"Dibentuknya Majelis Kehormatan MK merupakan respons atas berbagai pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim MK dalam memutus perkara syarat capres-cawapres," tutur Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman itu.
Hal senada juga disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Lampung Prof. Rudy yang menyatakan bahwa putusan MKMK berpengaruh terhadap putusan MK 90 mengenai syarat capres/cawapres.
"Bahwa putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 menjadi tidak legitimate. Putusan tersebut tidak sah sebab dibalik putusan 90 tersebut terdapat pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman," katanya.
Hal itu menjadi fakta hukum yang terungkap dalam putusan MKMK sehingga Anwar Usman dipecat dari jabatan Ketua MK.
"Perkara 90 telah membawa dampak buruk bagi MK karena terlihat lembaga itu di bawah tekanan dalam memutus perkara syarat capres-cawapres. Dugaan intervensi pihak-pihak luar dalam putusan 90 terlihat dari putusan MKMK," ujarnya.
Pakar hukum tata negara Universitas Riau Kepulauan Dr. Emy Hajar Abra menjelaskan putusan MKMK dapat menjadi landasan moral bagi hakim konstitusi dalam memutus perkara yang saat ini sedang ditangani berkaitan dengan syarat umur capres-cawapres, misalnya Perkara Nomor 141 Tahun 2023.
Hal sama juga disampaikan oleh akademisi FH Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya Dr. Hufron yang menekankan bahwa UU Kekuasaan Kehakiman juga berlaku bagi MK.
"Fakta terdapat persoalan etik di balik putusan 90, mestinya menjadi alasan agar putusan 90 tersebut ditinjau ulang berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman," ujarnya.
Bahwa semestinya perkara putusan MK 90 dapat diperiksa ulang karena telah melanggar asas konflik kepentingan dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Namun, sangat disayangkan MKMK tidak menyentuh hal tersebut.
Para pembicara webinar sepakat bahwa seharusnya putusan MKMK dijadikan dasar untuk melakukan reformasi di tubuh MK. Bahwa MK sebagai anak kandung reformasi yang diberikan tugas berat menjaga konstitusi, sudah seharusnya diisi oleh hakim-hakim negarawan yang tidak tercela.
Webinar APHTN-HAN itu menyimpulkan agar MK dapat memeriksa perkara-perkara yang sejenis (perkara syarat capres-cawapres) yang saat ini ditangani dengan betul-betul berdasarkan pertimbangan konstitusional. Misalnya, perkara nomor 141/2023 karena ada harapan besar agar proses demokrasi pemilu didudukkan kembali pada jalur konstitusional. I tar