PAMEKASAN - Koordinator Daerah (Korda) Nahdlatul Ulama (NU) Madura menggelar halaqah fiqih peradaban dengan tema Ijtihad Ulama NU dalam bidang sosial dan politik di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Sumber Anom, Pamekasan, Jawa Timur, Ahad, dan menghasilkan delapan poin yang menjadi pedoman politik organisasi keagamaan itu.
"Pedoman politik NU yang dihasilkan dari halakah ini tidak ada kaitannya dengan Pemilu atau Pilpres 2024," kata Ketua NU Pamekasan KH Taufiq Hasyim dalam keterangan disampaikan kepada media di Pamekasan, Jawa Timur, Ahad malam.
Kesembilan poin yang menjadi kesepakatan dan akan menjadi pedoman politik warga itu, tersendiri dari, pertama, berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD1945.
Kedua, politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
Ketiga, politik adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Keempat, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Selain itu, berpolitik haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama," kata Taufiq.
Poin keenam, bahwa berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Berikutnya, bahwa berpolitik bagi NU dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
Kedelapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.
Terakhir, bahwa berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Selain menghasilkan sembilan pedoman politik, halakah NU Se-Madura itu menyampaikan delapan rekomendasi.
Pertama, negara dan bangsa lahir melalui Ijtihad Ulama Nahdlatul Ulama. Kedua, tentang definisi negara-bangsa. Negara ini didirikan bukan berdasarkan agama jadi tidak ada kewajiban mendirikan negara Islam.
Ketiga, Nahdlatul Ulama lebih mendukung berdirinya bangsa dan negara dengan mengacu kepada banyak kasus yang ada pada saat sebelum kemerdekaan Indonesia antara lain lahirnya resolusi jihad dan penerimaan Pancasila sebagai asas Tunggal negara.
Keempat, dalam bidang sosial politik, warga NU hendaknya lebih mengutamakan nilai-nilai persatuan dan perdamaian dari pada sekedar perebutan kekuasaan.
Kelima, warga NU harus peka terhadap setiap potensi perpecahan antar bangsa,. Perpecahan itu harus dilawan karena perpecahan bisa muncul kapan saja seiring perkembangan zaman.
Keenam, pesantren adalah lembaga yang mampu mengkomunikasikan Islam damai di Indonesia. Selain itu, pesantren bisa mengembangkan peradaban manusia di Indonesia
Ketujuh, dalam hal politik, warga NU wajib berpedoman kepada 9 pedoman politik NU yang dihasilkan pada Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta:
Kedelapan, pentingnya pendistribusian kader NU sesuai dengan kebutuhan di semua lini.
Hadir dalam acara tersebut seluruh ketua PCNU se-Madura beserta pengurus harian, dan 3 narasumber yakni KH. Miftah Fakih selaku Ketua PBNU, KH. Hodri Arif selaku Ketua Rabithah Ma'ahid Al Islamy PBNU dan Prof. Dr. KH. Abd A'la Basyir, pengasuh pondok pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep. I tar