PERNYATAAN mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo soal Presiden Jokowi intervensi KPK, kurang ngefek. Heboh satu-dua hari, lalu sepi. Tahu-tahu, Ketua DPR RI, Puan Maharani mengaitkan itu dengan hak interpelasi DPR. Apakah ini suatu pancingan?
Jawabnya, bisa ya, bisa tidak. Pancingan, untuk mengetahui reaksi anggota DPR. Tapi bisa juga itu bukan pancingan, melainkan ajakan agar anggota DPR menggunakan hak interpelasi terkait pernyataan Agus Rahardjo.
Disebut pancingan, sebab pernyataan Puan itu bersifat samar. Bersayap-sayap. Tidak tegas, mengajak anggota DPR menggunakan hak interpelasi. Kalimat Puan kepada wartawan di Gedung DPR, Rabu, 6 Desember 2023, begini:
"Kami menjunjung supremasi hukum yang ada. Jadi yang kami ke depankan adalah bagaimana menjalankan supremasi hukum itu secara dengan baik-baik dan benar. Bahwa kemudian nantinya ada wacana atau keinginan dari anggota untuk melakukan itu (interpelasi), itu merupakan hak anggota.”
Hak interpelasi, salah satu dari tiga hak istimewa anggota DPR. Berdasar Pasal 79 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014, tiga hak itu adalah hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Disebutkan di situ, hak interpelasi DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah terkait kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mekanisme diatur di Pasal 194. Bahwa hak interpelasi setidaknya diusulkan oleh minimal 25 orang dari anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi. Untuk mengajukan hak interpelasi, DPR harus menyertakan sejumlah dokumen yaitu:
Materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah yang akan dimintai keterangan. Juga, alasan permintaan keterangan kepada Pemerintah. Selanjutnya:
Pengajuan hak interpelasi diserahkan oleh pengusul ke pimpinan DPR, lalu diumumkan dalam rapat paripurna DPR di depan seluruh anggota. Pengusul diberi kesempatan untuk menjelaskan alasan terkait usul interpelasinya secara jelas dan ringkas.
Selama usul interpelasi belum disetujui dalam rapat paripurna, pengusul masih bisa mengubah dan menarik usul tersebut. Jika terjadi perubahan, maka seluruh pengusul wajib menandatangani dan menyampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis.
Jika dalam rapat paripurna DPR usul hak interpelasi disetujui, pimpinan lembaga atau presiden dapat hadir dan memberikan penjelasan terkait materi interpelasi dalam rapat paripurna selanjutnya.
Tapi pernyataan Puan seperti ragu-ragu. Kalimat dia berikutnya berbunyi demikian:
"Kami juga akan mencermati, apakah hal itu diperlukan atau tidak. Yang penting bagaimana supremasi hukum itu bisa berjalan secara baik dan benar.”
Di situ kelihatan Puan ragu, apakah pernyataan Agus soal bentakan Presiden Jokowi terhadap Agus pada 2017 (ketika Agus Ketua KPK) itu bisa diinterpelasi atau tidak. Keraguan Puan sengaja diucapkan ke publik, karena siapa tahu ada pakar hukum yang menyatakan: Itu bisa diinterpelasi.
Jadi, intinya Puan memancing sambil menjaring pendapat publik. Lalu dia akan menunggu, apakah ada reaksi publik yang signifikan, atau sepi lagi.
Setidaknya, itulah serangan politik Puan terhadap Jokowi yang membelot dari PDIP. Serangan yang tidak kelihatan sebagai serangan. Publik sebagai penonton, menganggap pernyataan itu tidak seru. Sebab tidak menohok (Jokowi).
Publik media sosial, atau warganet, selama sebulan terakhir ini gencar menyerang Jokowi. Mulai dari masuknya Kaesang Pangarep ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan dua hari kemudian Kaesang diumumkan sebagai Ketua Umum PSI menggantikan Giring Ganesha.
Dilanjut, putusan Mahkamah Konstitusi pimpinan Anwar Usman, adik ipar Jokowi yang membuat Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka bisa maju sebagai Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto. Itu menimbulkan heboh istilah Politik Dinasti. Kemudian, Walikota, Bobby Nasution menyatakan mendukung pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Gibran, yang berarti otomatis Bobby keluar dari PDIP.
Rombongan keluarga Jokowi berbondong keluar dari PDIP. Bedhol keluarga Jokowi dari PDIP. Menyitir istilah bedhol desa, atau berpindahnya penduduk sedesa ke tempat lain, karena suatu masalah.
Pasti, PDIP melawan. Dengan aneka pernyataan. Perlawanan PDIP, sebagai partai pemenang Pemilu 2019, tentu saja dahsyat. Mulai dari yang halus sampai yang kasar. Mulai di media massa sampai media sosial, lengkap dengan buzzer. Menggoyang opini publik menyerang Jokowi.
Sebaliknya, elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran tidak merosot oleh itu. Malah cenderung naik. Kepercayaan publik terhadap Jokowi terlanjur kuat. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan 1-8 Juli 2023, diumumkan 11 Juli 2023, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi 81,9 persen. Sangat kuat.
Pemegang saham Majalah Tempo dan Jawa Pos, Goenawan Mohamad sampai nangis-nangis di TV, menyatakan kecewa terhadap Jokowi. “Saya kecewa,” ujarnya mewek. Pun, tidak ngefek juga. Bisa jadi, karena Goenawan kini ditagih hak saham dan deviden mantan karyawan Jawa Pos yang tak pernah dibagikan total Rp 1,7 triliun. Sehingga, meweknya Goenawan tidak sinkron dengan sahamnya di Jawa Pos. Meskipun meweknya itu memelas.
Terbaru, soal pernyataan Agus itu. Dalam wawancara dengan Rosiana Silalahi (sama seperti ketika Goenawan Mohamad mewek) di Kompas TV. intinya: Agus mengaku pada 2017 dipanggil sendirian (temu berdua dengan Jokowi). Begitu Agus masuk ruangan, langsung dibentak Jokowi: “Hentikan…,” teriak Agus menirukan bentakan Jokowi, kepada Rosiana Silalahi.
Ternyata yang disuruh hentikan Jokowi adalah proses hukum tersangka korupsi e-KTP Setya Novanto di KPK. Agus menolak, sebab KPK terlanjur mengeluarkan Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) dan mengumumkan Novanto tersangka korupsi, waktu itu. Sementara, KPK tidak punya perangkat hukum SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) seperti Polri dan Kejaksaan.
Pernyataan inilah, meskipun sudah dibantah pihak Istana Kepresidenan, yang disoal Puan Maharani. Dengan pernyataan bersifat pancingan itu.
Apakah kesaksian seseorang (dalam hal ini Agus Rahardjo) cukup alasan bagi Anggota DPR menggunakan hak interpelasi? Memanggil Presiden Jokowi ke DPR untuk menjelaskan pernyataan Agus itu?
Bukankah, berdasar pasal di atas yang bisa diinterpelasi adalah kebijakan presiden? Sedangkan di kasus itu ucapan orang (Agus) soal perkataan presiden. Apalagi pertemuan cuma berdua, Jokowi dan Agus.
Maka, pancingan Puan itu merupakan serangan politik tipis-tipis. Spekulatif. Siapa tahu, ada pakar hukum yang menyatakan: Itu bisa diinterpelasi. Atau, mendadak Anggota DPR ramai-ramai (dalam pasal itu disebut minimal 25 orang dan lebih dari satu fraksi) menyatakan: Interpelasi.
Seumpama pancingan Puan sukses, maka ‘jadilah itu barang’. Tapi, Jokowi bakal mengatakan (ke DPR) hal sama dengan yang sudah diumumkan. Tidak mungkin tidak. Atau, pancingan tipis itu tanpa reaksi, maka sepi lagi.
Pemilu tinggal dua bulan. Sebaiknya situasi tenang. Terpenting, ‘kan membikin makmur wong cilik. ***
OLEH: DJONO W OESMAN
Wartawan Senior
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.