Gelombang protes menyoroti kondisi demokrasi kembali disuarakan ratusan mahasiswa di Kota Semarang. Bahkan mereka menuntut Presiden Jokowi dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatannya.
Pantauan Suara.com, masa aksi yang tergabung dari beberapa perguruan tinggi di Semarang semula berkumpul di depan Kantor Pos Kota Lama. Setelah itu mereka bergerak menggunakan sepeda motor menuju gedung Gubernur Jawa Tengah.
Sesampainya di lokasi, sekitar pukul 14.00 WIB masa aksi langsung memindahkan kawat berduri yang membentangkan panjang di depan gerbang Gedung Gradika Bakti Praja.
Masa aksi yang berjumlah ratusan orang tersebut juga memasang spanduk berukuran besar serta memilok Jalan Pahlawan dengan tulisan "Rebut Demokrasi, Makzulkan Jokowi".
Salah seorang orator dari UIN Walisongo mengatakan era reformasi telah berakhir. Presiden Jokowi punya adil yang sangat besar atas rusaknya iklim demokrasi yang sudah diperjuangkan sejak zaman orde baru tumbang.
"Hari ini Jokowi sudah mendirikan dinasti keluarga. Semangat perlawanan harus digaungkan bersama. Makzulkan Jokowi," serunya sembari membakar semangat masa aksi.
Orator lainnya dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang turut menyuarakan keresahannya pada penyelanggaran pemilu tahun 2024 ini. Adanya film dokumenter "Dirty Vote" menandakan gelaran pemilu banyak kecurangan dan pelanggaran etika yang dilakukan pejabat publik.
"Aparat negara telah dimobilisasi, para rektor disuruh bikin video apresiasi kinerja Jokowi. Hanya ada satu kata lawan, hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia," katanya.
Setelah beberapa perwakilan masa aksi melakukan orasi. Mereka berusaha masuk ke dalam gedung dan menerabas penjagaan polisi. Mereka juga sampai membakar ban untuk menyulut semangat masa aksi untuk mendobrak gerbang yang dijaga ketat aparat kepolisian.
"Perlu ditegaskan lagi seorang presiden boleh berkampanye ketika dirinya mencalonkan diri lagi jadi calon presiden. Ketika Jokowi mengeluarkan statement presiden boleh kampanye, maka disitu ada ruang-ruang demokrasi yang diciderai," ucap Koordinator Aksi, Akmal Sajid.
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini memaparkan keterlibatan Presiden Jokowi terhadap jalannya pesta demokrasi terlampau jauh. Sehingga terjadi penyelewengan kekuasaan mulai dari politisasi bansos dan mobilisasi aparat di daerah Jawa Tengah.
Akmal memastikan masa aksi yang ikut hari ini tidak ditumpangi kepentingan apapun. Mereka hanya memperpanjang suara-suara yang telah digaungkan sivitas akademika di berbagai perguruan tinggi tanah air.
"Tuntutan kita ada lima, makzulkan Jokowi, hentikan tindakan-tindakan represifitas aparat, tegakkan supremasi hukum dan kadaulatan rakyat, wujudkan demokrasi yang berkeadilan serta yang terakhir wujudkan perlindungan hak asasi manusia," papar lelaki asal Kalimantan.
AJI Semarang Ikut Menyatakan Sikap
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Aris Mulyawan turut berorasi. Jurnalis Suara Merdeka ini memaparkan kondisi demokrasi di era Presiden Jokowi mengalami kemunduran.
Penghormatan terhadap hak asasi manusia diabaikan demi mempertahankan investasi yang menguntungkan oligarki.
Aris juga tak sungkan mengatakan Jokowi seperti anti demokrasi. Hal itu ditunjukkan dengan disahkannya sejumlah Undang-undang yang justru mengancam HAM dan memperlemah institusi demokrasi mulai dari Perpres jabatan fungsional TNI, revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan UU ITE yang masih memuat pasal-pasal berbahaya bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
"Alih-alih mendengarkan aspirasi rakyat, masyarakat sipil yang berunjuk rasa atas berbagai undang-undang yang mengancam itu justru ditindak dengan kekerasan," resahnya.
Di era rezim Jokowi pula, banyak serangan-serangan yang mengintimidasi jurnalis. Pada tahun 2023, terdapat 89 kasus serangan yang menargetkan jurnalis dan media, tertinggi sepanjang satu dekade. Kekerasan demi kekerasan yang terjadi tanpa diikuti penyelidikan yang serius dan imparsial, mengakibatkan siklus kekerasan pada jurnalis tak pernah berhenti.
Presiden Jokowi makin menunjukkan ambisinya melanggengkan kekuasaan dengan cara yang kotor. Mahkamah Konstitusi ditabrak guna melahirkan politik dinasti, menyalahgunakan sumber daya negara dan mengintimidasi oposisi.
Maka dari itu, AJI Indonesia dan 40 AJI Kota lainnya menyampaikan sikap diantaranya, pertama Presiden Jokowi harus berhenti menyalahgunakan kekuasaan karena merusak demokrasi dan integritas pemilu.
Kedua, menghentikan berbagai jenis kekerasan terhadap masyarakat sipil yang menyampaikan ekspresi serta mengawasi integritas pemilu. Terakhir, Memastikan pers dapat bekerja secara independen dan bebas dari kekerasan, kriminalisasi serta intervensi kepentingan politik.
Respon Anggota DPRD Jateng
Salah satu anggota DPRD Jateng dari Komisi D, Danie Budi Tjahyono terlihat menemui masa aksi. Namun, Paman Bete sapaan akrabnya tidak diperkenankan untuk berbicara.
Paman Bete kemudian dipaksa untuk membacakan tuntutan masa aksi. Namun yang bersangkutan menolak, karena tidak punya wewenang untuk memberhentikan Presiden Jokowi.
"Saya siap mendengarkan, tapi urusan pemakzulan Presiden Jokowi saya nggak berani bicara. Itu di luar kewenangan kami," ucap Paman Bete pada awak media.
Sebenarnya Paman Bete ingin berbicara dihadapan masa aksi bukan atas pribadi. Melainkan mewakili anggota DPRD Jateng secara kelembagaan.
Namun, ketika disinggung soal tuntutan pemakzulan Presiden Jokowi. Paman Bete enggan berkomentar apapun, karena dirinya tidak kewenangan terkait hal tersebut.
"Kita kan bagian dari Pemda. Saya dilantik pakai SK Kemendagri, kita anak buah Jokowi, dalam konteks dia presiden. Jadi soal pemakzulan bukan wewenang kami," tukasnya.
Sumber: suara
Foto: Masa aksi menyuarakan kondisi demokrasi era Presiden Jokowi. Senin (12/2/24) [Suara.com/Ikhsan]