PDIP juara Pemilu 2024, meskipun suaranya turun dari perolehan Pemilu 2019. Secara ketentuan UU MD3, Parpol dengan kursi terbanyak otomatis menjadi pimpinan DPR RI.
Namun, ada wacana Golkar akan mendongkel PDIP, persis seperti pasca Pemilu 2014. Saat itu, suara PDIP terbanyak, namun gagal menjadi pimpinan DPR karena Manuver Golkar.
Saat itu, Golkar dan koalisinya mengubah UU MD3. Pimpinan DPR diajukan dalam paket, dan dipilih di paripurna. Otomatis, PDIP lengser, Golkar mengambil posisi ketua DPR RI.
Pemilu 2019 UU MD3 dikembalikan ke norma asal, partai dengan suara terbanyak menjadi pimpinan DPR RI. PDIP, otomatis menduduki kursi ketua DPR RI dengan menempatkan Puan Maharani.
Namun, tidak ada koalisi yang abadi. Golkar & PDIP pada 2019 satu kubu, mendukung Jokowi. Tapi 2024, PDIP Golkar pecah kongsi, Jokowi berkhianat, Golkar suara naik, PDIP suara turun walau masih yang terbesar.
Jika Golkar mengadopsi cara yang ditempuh 2014 lalu, Golkar akan ajukan perubahan UU MD3, dengan mengadopsi kembali paket pimpinan DPR RI yang dipilih di paripurna. PDIP, akan kembali kehilangan kursi ketua DPR RI.
Kalaupun PDIP ngotot dan mengancam akan melakukan perlawanan dan siap berdarah-darah, tapi politik hanya soal kekuasaan. Kalau konsolidasi kekuasaan oleh Golkar solid, bukan mustahil PDIP kembali ditelikung Golkar. Apalagi, instrumen kekuasan hari ini pro ke Golkar, bukan ke PDIP.
PDIP akan kesulitan. Salah satu jalan keluarnya, kemungkinan PDIP akan bernegosiasi dengan Prabowo. PDIP hanya dendam kesumat dengan Jokowi, tidak pada Prabowo.
Prabowo punya memori panjang dengan PDIP, sempat menjadi cawapres Megawati. Meski pernah dikhianati PDIP dengan prasasti Batu Tulis, tapi untuk kepentingan stabilitas bukan mustahil Gerindra akan melakukan konsolidasi dengan PDIP dengan kompensasi sejumlah kursi menteri.
Dulu, PDIP yang menawarkan Prabowo konsolidasi dan mendapatkan 2 menteri. Jika dengan pendekatan yang sepadan, bisa saja PDIP gantian dapat 2 menteri dan mengganjal ambisi Golkar untuk memimpin DPR RI. Secara politik, Gerindra juga tak mau Golkar mendominasi di parlemen.
Intinya, untuk rakyat ga usah merasa difikirkan nasibnya. Rakyat harus siap menjadi penopang ambisi politisi, dengan sejumlah kebijakan yang menyengsarakan. Dari kenaikan BBM, listrik, tarif pajak, dan beban beban lainnya.
Setelah terpilih, politisi fokus pada kekuasaan. Mau partai wong cilik atau suara Golkar suara rakyat, tetap saja yang ada di kepala politisi adalah kekuasan. Rakyat, hanya jadi objek penderitaan. Itulah demokrasi. [].
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.