Konflik agraria yang menyertainya istilah "memindahkan ibu kota" ke Kalimantan semakin menjadi sorotan.
Masyarakat yang terdampak merasa tidak mendapat ganti rugi atas lahan mereka yang digusur secara paksa pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN.
Bahkan, tidak ada dialog yang diberikan kepada mereka terkait dengan kompensasi yang seharusnya mereka terima.
Pada tanggal 18 Maret 2024, lima Kelurahan, yaitu Rico, Maridan, Jenebora, Gersik, dan Pantai Langgo, menerima himbauan untuk tidak melakukan apapun di tanah nenek moyang mereka sendiri.
Masyarakat merasa terpinggirkan karena tidak ada kesempatan untuk berdialog dengan pemerintah terkait ganti rugi pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN yang seharusnya mereka terima.
"Tanah kami ini mau dipindahkan ke tanahnya orang lain lagi di sana, saya bilang saya tidak mau, tidak mau saya dipindahkan." ungkap Yusni, kepala adat suku Dayak Paser Besar, dikutip dari channel youtube Tempodotco pada 30 Maret 2024.
Yusni mengungkapkan bahwa mereka bahkan belum pernah mendapat tawaran ganti rugi atas lahan mereka.
Patok-patok dari badan bank tanah bahkan telah ditancapkan di lahan mereka tanpa izin.
Mereka merasa pasrah dan hanya bisa berharap agar ada kompensasi yang sesuai dengan kerugian yang mereka alami.
"Kami ini kan sudah pasrah, kalau ada sekarang yang mau ganti rugi dengan sesuai, istilahnya di sini kami siap angkat kaki," kata Yusni.
Pemerintah menilai bahwa rumah-rumah yang dihuni oleh masyarakat adat tidak sesuai dengan tata ruang pembangunan IKN.
Namun, masyarakat adat merasa bahwa mereka telah lama mendiami tanah tersebut dengan bukti-bukti konkret seperti makam, silsilah, dan peninggalan sejarah lainnya.
Mereka merasa bahwa tanah tersebut bukanlah tanah negara yang belum pernah diinjak oleh masyarakat.
"Kenapa bilang ada tanah negara? yang dikatakan tanah negara belum pernah diinjak oleh masyarakat adat, termasuk tanah kayak rumah Bupati, rumah kapolres, rumah dinas-dinas ASN, Itulah tanah negara. Disini sudah ada kuburan kami, sudah lama di situ Kok", ungkap Noriah, salah satu masyarakat adat dayak balik.
Konflik agraria di IKN telah mencatat angka yang mengkhawatirkan, dengan luas konflik mencapai 38 persen dari total kasus di Indonesia.
Masyarakat adat menjadi pihak yang lemah secara hukum meskipun memiliki bukti-bukti yang kuat tentang klaim atas tanah tersebut.
Hingga saat ini, masyarakat adat di lima Kelurahan yang terdampak terus berjuang untuk mempertahankan tanah mereka atau setidaknya mendapatkan kompensasi yang layak dari pemerintah.
Tanpa solusi yang memadai, konflik agraria ini akan terus menjadi penghalang bagi ambisi pemerintah dalam memindahkan ibu kota ke Kalimantan.
Sumber: ayobandung
Foto: Perampasan Lahan di IKN, Kepala Adat Suku Dayak/Net