Pemberian tanda kehormatan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha dari Presiden Joko Widodo kepada Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, dan Wali Kota Medan, Bobby Nasution, memicu kontroversi.
Beberapa pihak menilai ada unsur nepotisme di balik penyerahan penghargaan tersebut lantaran keduanya merupakan anak dan menantu Presiden.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, mengatakan kalau merujuk pada dasar penilaian yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri terhadap 15 kepala daerah yang dianggap berkinerja baik—sehingga dianugerahi penghargaan—memang tidak ada yang salah.
Akan tetapi, penilaian itu sebetulnya tidak cukup karena hanya sebatas angka-angka administratif.
Padahal pelayanan suatu daerah semestinya juga memuat masukan dari publik atau penerima layanan.
Menanggapi polemik ini, Istana menegaskan Jokowi tidak dijadwalkan menghadiri acara di Surabaya.
"Besok Presiden tidak ada agenda kunjungan kerja ke Surabaya," kata Plt Deputi Protokol Pers dan Media, Yusuf Permana, kepada wartawan, Rabu (24/04).
Siapa saja kepala daerah yang menerima?
Presiden Joko Widodo disebut akan memberikan penghargaan sekali seumur hidup Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha kepada 15 kepala daerah pada Kamis (25/04).
Mereka adalah kepala daerah berprestasi dengan kinerja tertinggi berdasarkan hasil Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EPPD) Tahun 2022 terhadap Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Tahun 2021
Ke-15 kepala daerah itu terdiri dari satu gubernur dan 14 bupati/wali kota.
Mereka di antaranya adalah Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa; Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka; Wali Kota Medan, Bobby Nasution; Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi; dan Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani Azwar Anas.
Kemudian Wali Kota Bogor, Bima Arya; Wali Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara; Wali Kota Banten, Syafrudin; dan Bupati Konawe, Sulawesi Tenggara, Kery Saiful Konggoasa.
Selanjutnya ada Bupati Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Achmad Fikry; Bupati Badung, Bali, I Nyoman Giri Prasta; Bupati Bojonegoro, Anna Mu'awanah; Bupati Wonogiri, Joko Sutopo; Bupati Kulon Progo, Sutedjo; dan Bupati Sumedang, Dony Achmad Munir.
Pemberian penghargaan itu akan dilangsungkan Kamis (25/04) di Surabaya bertepatan dengan peringatan Hari Otonomi Daerah (Otda) ke-28.
Tanda kehormatan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha ini diberikan melalui Keputusan Presiden dan diserahkan kepada penyelenggara pemerintah daerah atas jasa besar atau prestasi kinerja yang sangat tinggi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Sesuai PP nomor 35 tahun 2010, lencana tersebut hanya diberikan sekali seumur hidup.
Ada unsur nepotisme?
Presiden Jokowi akan memberikan tanda kehormatan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha kepada 15 kepala daerah yang berprestasi.
Dua di antaranya adalah Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan, Bobby Nasution.zoom-in-white
Tapi di media sosial X pemberian tanda kehormatan ini memicu polemik.
Sebab, dua penerima penghargaan tersebut adalah anak dan menantu Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution.
Akun @DoankWarto misalnya mencurigai adanya unsur nepotisme dengan berkata, "Supaya tidak kelihatan adanya unsur nepotisme, pemberian Satyalancana kepada Gibran dan Bobby oleh Presiden Jokowi dibarengi dengan 15 kepala daerah lainnya."
Lalu akun @toplevel juga bilang, "Sayang anak mantu, korupsi, kolusi dan nepotisme sudah menjadi hal lumrah di negeri ini."
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, berkata bisa memahami kerisauan warganet itu.
Tapi dia menjelaskan kalau melihat tolok ukur yang digunakan Kementerian Dalam Negeri dalam memberikan penilaian terhadap kinerja kepala daerah, maka ke-15 nama-nama itu memang layak mendapatkan.
Pasalnya skor yang diberikan statusnya tinggi. Tolok ukur yang dijadikan penilaian Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EPPD) itu, kata Herman, antara lain: indeks pembangunan manusia, penurunan angka kemiskinan, penurunan angka pengangguran, pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, dan ketimpangan pendapatan.
Ada juga indikator soal kinerja penyelenggaraan urusan pemerintah yang terdiri dari 32 urusan, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan seterusnya.
"Jadi kalau berdasarkan EPPD itu memang 15 kepala daerah tersebut patut dapat [penghargaan]," kata Herman kepada BBC News Indonesia.
Hanya saja, menurut Herman, penilaian berupa angka-angka atau secara administratif itu tidak cukup untuk dijadikan patokan bahwa kepala daerah tersebut berkinerja baik.Perlu ada standar tambahan.
Terutama terkait bagaimana kepala daerah menjamin prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dalam seluruh proses perencanaan, penganggaran, penyusunan kebijakan dan pelayanan publiknya.
"Contoh infrastruktur jalan, yang dilihat kan berapa panjang jalannya. Tapi kalau dimasukkan unsur tata kelola sebenarnya yang dilihat seberapa cepat respons pemda kalau mendapat pengaduan jalan itu rusak."
"Kan beda tuh... dengan penilaian pertama yang cuma melihat angka saja."
"Kalau mau komprehensif, harus ada penilaian dari sisi masyarakatnya, akan berimbang."
Bagaimana kinerja ke-15 kepala daerah itu?
Herman mengaku tak memantau seluruh kepala daerah yang bakal menerima penghargaan tersebut. Namun dia mengamati beberapa.
Untuk Surabaya, misalnya, dia bilang Wali Kota Eri Cahyadi sebetulnya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan pendahulunya, Tri Rismaharini, dalam hal pelayanan.
Begitu pula dengan Kota Medan yang disebutnya telah memiliki infrastruktur pelayanan digital yang baik—sehingga membuatnya bisa bekerja prima.
Termasuk, katanya, Kota Surakarta yang kebanjiran proyek dari pemerintah pusat sehingga mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
Banyaknya proyek infrastruktur di Solo yang disebut bersumber dari APBN pemerintah pusat bertebaran di lini masa media sosial.
Dalam dua tahun terakhir dikatakan setidaknya ada 16 proyek yang digeber di sana. Mulai dari rel layang, revitalisasi taman, hingga bantuan transportasi bus besar-besaran.
Itu mengapa kalau melihat secara umum, menurut Herman, kinerja dua kepala daerah itu yakni Bobby dan Gibran "sebenarnya tidak terlalu perform".
"Karena anak dan menantu Presiden ini setidaknya mendapatkan privilege-privilege [keistimewaan] tertentu. Banyak program atau kegiatan pusat yang dibuat di Solo."
"Itu memberikan kontribusi tersendiri kepada perputaran uang, pertumbuhan investasi yang akan berpengaruh terhadap kinerja dari kepala daerah yang diuji."
"Tapi kalau untuk level kabupaten, menurut kami, kepala-kepala daerah yang dapat penghargaan besok, cukup perform."
Apa saja tanda kehormatan yang diberikan presiden?
Dilansir dari situs Kementerian Sekretaris Negara, presiden berhak memberikan tanda kehormatan kepada seseorang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi atas perannya terhadap bangsa dan negara.
Hal ini sesuai dengan UU nomor 20 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2010.
Tanda kehormatan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Bintang, Satyalancana, dan Samkaryanugraha.
Bintang merupakan tanda kehormatan tertinggi berbentuk bintang yang diberikan kepada warga sipil dan militer. Tanda kehormatan ini terdiri dari 14 macam.
Tertinggi adalah Bintang Republik Indonesia. Bintang tersebut diberikan kepada orang yang diakui luas berjasa demi keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan negara.
Kemudian Bintang Mahaputera diberikan kepada orang yang yang berjasa demi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara di bidang yang besar manfaatnya.
Lalu, Bintang Jasa diberikan kepada orang yang berjasa bagi keselamatan, kesejahteraan, dan kebesaran bangsa dan negara.
Bintang Kemanusiaan diberikan kepada orang yang berjasa besar dalam suatu bidang demi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, serta hak asasi manusia.
Satyalancana merupakan tanda kehormatan berkedudukan di bawah bintang berbentuk bundar.
Satyalancana diberikan untuk warga sipil maupun anggota militer. Sebanyak 20 tanda kehormatan ini ditujukan untuk sipil dan 13 untuk militer.
Samkaryanugraha adalah tanda kehormatan berbentuk ular-ular dan patra yang berupa bintang berpita selempang atau kalung.
Samkaryanugraha diberikan oleh Menteri Pertahanan kepada warga sipil maupun anggota militer seperti diatur dalam Permenhan nomor 7 tahun 2017.
Bagaimana sejarah pemberian penghargaan di Indonesia?
Sejarawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asvi Marwan Adam, mengatakan dalam hierarki penghargaan, tanda kehormatan Satyalancana sebetulnya gelar yang tidak terlalu tinggi.
Itu kenapa penyerahan Satyalancana kepada kepala daerah, biasanya dilakukan oleh wakil presiden atau menteri. Jarang diberikan langsung oleh presiden.
Jika kali ini Presiden Jokowi memberikan langsung tanda kehormatan tersebut kepada kepala daerah, maka akan menjadi catatan sejarah, sekaligus memunculkan pertanyaan apakah ada alasan di baliknya.
"Ya menjadi pertanyaan, sebelumnya cukup wapres dan mendagri, tapi apakah karena ini anak presiden yang dapat, jadi perlu presiden sendiri yang menyerahkan?" ujar Asvi kepada BBC News Indonesia.
Tapi selain itu, kata Asvi, telah lama terjadi praktik 'tidak biasa' bahkan terkesan nepotisme dalam pemberian tanda kehormatan oleh presiden.
Di era Orde Baru, lanjutnya, pemberian penghargaan tertinggi yakni Bintang Republik Indonesia maupun Bintang Mahaputera Adipradana jatuh kepada istri-istri presiden, wakil presiden, bahkan menteri.
Padahal sedianya gelar itu ditujukan kepada orang-orang yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
"Semestinya yang dapat penghargaan itu sosok yang sangat besar jasanya untuk negara dan bangsa.
"Tapi praktiknya selama ini, sejak Orde Baru pemberian Bintang Mahaputera juga dibagikan selain kepada pahlawan nasional, juga istri-istri menteri."
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto tercatat pernah menyematkan Bintang Republik Indonesia Adipradana kepada Ibu Tien Soeharto pada 1973.
Pada masa Presiden Jokowi, sambung Asvi, 'kebiasaan' tersebut berlanjut dengan diberikannya Bintang Republik Indonesia Adipradana kepada Iriana, istri Presiden Jokowi pada tahun 2023.
Di saat yang bersamaan, Presiden Jokowi juga menyematkan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Wury Estu Handayani yang merupakan istri Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin.
Menurut Asvi, 'kebiasaan' seperti itu harus dicermati kembali dan dipertimbangkan dengan benar apakah seseorang memang layak atau tidak menerima penghargaan. Jangan sampai menimbulkan prasangka negatif.
"Kebiasaan itu sebetulnya sudah berkurang pada era reformasi, tapi dimulai lagi pada masa akhir pemerintahan Presiden Jokowi. Dia mengulang apa yang sudah dilakukan Orde Baru."
"Persoalannya adalah jasa dari sang istri ini apa? Apakah cuma mendampingi atau dulu sejak masa muda ikut berjuang?"
"Atau apakah seorang istri menteri yang memegang jabatan organisasi dianggap juga sebagai perjuangan dan merupakan jasa besar?"
Sumber: bbc
Foto: Ilustasi Gibran-Bobby/Net